Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita dalam Komik

Mengapa komik Dora Emon sedemikian populer? Melihat realitas Jepang, Dora Emon berhasil merepresentasikan keseharian, ia adalah pemuas ambisi Jepang dengan penemuan-penemuan teknologinya, dan Nobita adalah anak sekolah dengan represi pendidikan dan kemalasan yang diidam-idamkan. Cerminan keseharian lain dalam komik Jepang salah satunya adalah situasi dalam kereta bawah tanah; mereka bermain gameboy, membaca komik dan bahkan tidur sambil berdiri. Satu-satunya yang berbeda dengan kenyataan pada komik Jepang mungkin hanyalah pembesaran mata yang seragam. Namun, hal itu bisa dilihat sebagai representasi harapan masyarakatnya terhadap kondisi fisik mereka.

Komik menjadi lebih baik ketika masyarakat dapat melihat dirinya sendiri di dalamnya. Hal tersebut mewakili harapan, fantasi, kenyataan, atau bahkan kekalahan yang sesuai dengan konteks zamannya, Komik superhero dengan demikian adalah representasi harapan dan fantasi. Realitas superhero pada komik Indonesia di akhir 1990-an sebenarnya sama dengan era R.A. Kosasih dengan Sri Asih pada pertengahan 50-an. Namun, mengapa di masa R.A. Kosasih, komik superhero lebih bergema daripada masa akhir 90-an? Kita dapat mengembalikannya pada konteks zaman tersebut, di mana semangat perjuangan bangsa saat itu sesuai dengan representasi harapan, sekaligus fase penyerapan informasi dari luar. Dari sisi lain, keberadaan komik superhero di masa itu pun ditentangsebagai pengaruh luar. Yang menjadi pertanyaan, apakah ini hanyalah serapan semata, representasi harapan dan fantasi, atau keberhasilannya erat dengan R.A. Kosasih sebagai pionir dalam dunia komik yang sedang tumbuh? Saat ini, ketika zaman berubah dan referensi begitu beragam, dan tak ada lagi pertentangan kebudayaanTimur dan Barat, apakah harapan dalam bentuk fantasi kepahlawanan masih relevan sebagai hubungannya dengan konteks masyarakat? Apakah relevansinya hanya berlaku pada kebangkitan komik itu sendiri, dan hanya menjadi serapan mentah berbagai referensi? Apa yang terjadi sekarang adalah pengulangan yang sama, dengan bentuk visual yang berbeda. 

Setelah sekian tahun eksplorasi —yang sayangnya hanya berkembang secara visual— komik belum tumbuh dengan cerita dalam konteks yang kuat. Kita tentu tak bisa mempertanyakan referensi lagi saat ini. Jika harapan dalam fantasi kepahlawanan tidak tepat sebagai representasi lokal, realitas macam apakah kemudian yang menarik untuk diangkat sebagai komik? Harvey Pekar dengan American Splendor-nya, sayangnya telah melempar kenyataan pahit dengan menjadikan kesehariannya yang "tidak menarik" menjadi sinisme yang berharga. Harvey Pekar mampu memberi pemaknaan lebih terhadap sesuatu yang biasa bagi orang lain, seperti pernyataannya bahwa "Ordinary life is a complex stuff". Dan permasalahan sekarang bukan pada realitas atau tema, tapi pada kepekaan. Sejauh mana komikus mampu memberi makna terhadap keseharian dalam konteksnya (tanpa batasan pencapaian visual), sekaligus sejauh mana eksplorasi mereka pada medium komik itu sendiri?

Menjadi komikus tentu tidak hanya sekadar membaca begitu banyak komik, tapi juga memiliki wawasan luas sekaligus kepekaan terhadapnya. Kita dapat temukan wawasan politik internasional pada Tintin, komik karya Herge yang sempat kontroversial pada edisi "Lotus Biru". Sementara Asterix adalah contoh lain bagaimana celah kosong dalam sejarah, dimanfaatkan untuk menciptakan profil bangsa Galia dengan begitu detail. Pendekatan subjek pada komik dapat diiakukan dengan riset, pengalaman pribadi atau gabungan keduanya dengan kepekaan yang sesuai. Sinisme pada American Splendor adalah pengalaman nyata Harvey Pekar, sedangkan komik-komik Joe Sacco adalah kombinasi jurnalistik dan intensi pribadinya yang membentuk sebuah karakter pada karya.

Mungkin akan lebih mudah jika komik kita bayangkan secara sederhana, seperti ketika kita menceritakan pengalaman, fantasi atau cerita lainnya pada orang lain secara lisan. Komunikasi yang terjadi di sini kemudian tidak hanya sebatas informasi yang sampai, tapi juga memiliki tendensi khusus. Pencerita selalu punya keinginan tertentu dari pendengar, entah apakah itu merasakan hal yang sama dengannya, atau ragam impresi lain yang diinginkan. Di sinilah "struktur dan teknis bercerita" bermain, bagaimana membangun persepsi tertentu dengan medium komik bersama "kemampuan bercerita" yang dimiliki. "Kemampuan bercerita" dengan sendirinya berhubungan dengan kemampuan "membaca" pendengar, sebagai wawasan yang sama berharganya sehingga membuat komik bukanlah keinginan untuk cepat melakukan eksekusi visual pada kertas tanpa strategi. Cerita adalah proses penulisan yang terpisah, seperti profesionalisme industri komik di luar, di mana penulisan dan ilustrasi dikerjakan oleh orang yang berbeda. Mayoritas komikus lokal kita yang bekerja sendirian, seringkali menggabungkan kedua proses tersebut. Padahal dalam proses itulah kaitan antara teks dan gambar dalam sebuah cerita dapat terus digali.

Sulit menilai kualitas gambar dan teks dalam komik tanpa relasi cerita yang kuat. Keduanya tak berdiri sendiri. Kepekaan pada gambar, memiliki hal esensial seperti karakter fisik, gestur, dan sebagainya. Semuanya akan selalu berbeda dari setiap masyarakatnya. Sementara dalam teks, pemecahan bahasa Indonesia yang tepat pun perlu dipecahkan formulanya. Tidak seperti bahasa Inggris yang pada beberapa kejadian atau situasinya, telah memiliki standar kalimat yang diucapkan, bahasa Indonesia memiliki banyak variasi yang sangat ditentukan oleh karakter, lokasi, situasi, waktu dan banyak hal lainnya, yang tentunya akan selalu kembali pada konteks yang ada di dalam cerita. Ini merupakan tantangan yang harus dipecahkan bersama. Seperti, apakah pemecahan bunyi "Bang! Bang!"sudah selesai dengan hanya menjadi "Dor!", atau masih tersimpan potensi bunyi lain?

Hubungan erat antara tiap komponen tersebut dengan cerita, membuat gambar bukanlah semata teknis yang tinggi, melainkan juga gambar yang fasih mendukung cerita. Ada beberapa hal dalam cerita yang dapat dipecahkan oleh teks, tapi tak dapat dipecahkan oleh gambar, dan sebaliknya. Di sinilah kesatuan dari keduanya justru terjalin dari sifatnya yang berbeda. Gambar kemudian juga harus memiliki efektivitas dan bergizi dalam mendukung cerita. Merujuk pada komik-komik populer seperti Dora Emon, Shincan, American Splendor atau komik-komik Joe Sacco, kekuatan mereka justru lebih terletak pada ceritanya. Karena masih lebih baik membaca komik dengan cerita yang bagus daripada membaca komik dengan visual yang menarik tanpa cerita yang bagus.

Gambar sendiri hanyalah komponen kecil dari visualisasi. Sifat medium komik sebagai buku: memiliki halaman, kontinuitas, dimensi dan sebagainya, yang harus dipecahkan agar sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, lebih esensial daripada sekadar eforia visual seperti kumpulan ilustrasi bagus. Kegagapan medium inilah yang menimbulkan banyak persepsi tentang graphic novel, seakan komik yang tamat sekali terbit telah memenuhi sifat bukunya sebagai novel. Padahal pemahaman lebihnya pada cerita, menyeluruh hingga eksekusinya sebagai buku. Akira karya Katsuhiro Otomo —tanpa menyebutnya sebagai graphic novel— adalah contoh sempurna bagaimana memainkan emosi tiap adegan, yang selesai seiring selesainya halaman. Komposisi panel antar-aspeknya yang sangat filmis, mengingatkan kita pada karya-karya komik Tezuka sebelumnya, sebagai kesadaran lebih untuk menggambarkan situasi menjadi lebih emosional, hingga memancing pengalaman tersendiri bagi pembacanya.

Pemahaman medium sebagai "proses mengalami halaman demi halaman", mematangkan kembali olah cerita dari proses penulisan ke dalam olah medium. Pemahaman medium ini jugalah yang mencoba mendefinisikan —jika bukan mempertanyakan— banyak hal. Karena komik memiliki konsep waktu yang berbeda dengan film, komik memiliki potensi untuk lebih kompleks daiam cerita dan karakternya. Karena "kesadaran membaca" sepenuhnya berada di tangan pembaca, komik dapat dibolak-balik lebih leluasa jika ada susunan cerita yang terlupa.

Tentu, jika kini seseorang bertanya tentang cerita apa yang akan kita tulis untuk menjadi komik, itu masih jadi pertanyaan sulit. Namun, kita bisa memulainya dengan sesuatu yang dekat dengan kita. Kepekaan dan intensitas akan bekerja dengan pendekatan analisis apa pun yang akan dilakukan, baik riset, pengalaman pribadi maupun imajinasi. Komik-komik Eko Nugroho, komik-komik Noldi, atau komik Lagak Jakarta dapat dikatakan sebagai pendekatan realitas; mereka berbagi pengalaman. Senyum getir dan tawa satir senantiasa kita lakukan, walau kita tahu bahwa tidak semuanya dibuat untuk melucu. Di sinilah "kedekatan" itu bekerja, menertawakan diri sendiri membutuhkan kejujuran dan kepekaan yang lebih berarti daripada gambar-gambar sarat teknik visual seperti aksi demo software terkini. Kita tentu tak ingin, mereka dari beberapa generasi berikutnya, lebih tertarik menggunting koleksi komik-komik kita dan menjadikannya poster daripada menyimpannya di rak buku. Menurut mereka, dinding adalah tempat bagi visual-visual menarik, sedangkan rak adalah tempat bagi buku-buku yang punya "sesuatu" untuk diceritakan.

Ade Darmawan & Ardi Yunanto, komunitas ruang rupa
Majalah Mata Baca Vol. 3 No. 11 Juli 2005