Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biografi dan Sejarawan yang Malas Berkarya


Andaikata tak ada paksaan dari Asrul Sani (alm.), mungkin hingga hari ini kita tak akan pernah membaca roman biografi karya K.H. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Desakan sineas terkemuka itulah yang membuat semangat menulis K.H. Saifuddin Zuhri terlecut sehingga pada pertengahan tahun 1970-an lahir buku sederhana yang diakui banyak kalangan sebagai satu dari amat sedikit pustaka biografi (di) Indonesia yang mampu tampil fenomenal dan memikat.

Sepenggal kisah tersebut barangkali setali dengan kondisi perbukuan, terutama genre biografi saat ini. Maraknya penerbitan buku-buku biografi akhir-akhir ini, kita yakini juga lahir akibat munculnya desakan tertentu. Hanya saja, desakan tersebut sudah dibungkus oleh beragam motif dan kepentingan yang beraneka rupa.

Sulit ditepis, beragam buku biografi, autobiografi (biografi yang ditulis sendiri) ataupun prosopografi (biografi kolektif) terkini tersaji dengan latar yang berbeda-beda, antara lain latar politik serta —yang paling menonjol— kepentingan bisnis (profit).

Tak terlampau aneh jika para tokoh serta selebriti kita seolah "latah" untuk ikut-ikutan mewarnai tren semacam ini. Kondisi ini dapat dilihat ketika para figur publik beramai-ramai memamerkan sejarah hidup mereka lewat lembar-lembar halaman buku. Mulai artis senior Titik Puspa, Helmy Yahya, Krisdayanti, Hedy Yunus, Ki Manteb Sudarsono, Dorce Gamalama hingga pebulu-tangkis muda Taufik Hidayat.

Di lapangan politik, kondisinya tak jauh beda. Apalagi kondisi ini ditopang oleh konstelasi sosial-politik yang hingar-bingar menjelang digelarnya pemilu tahun ini. Biografi, dalam konteks ini, merupakan senjata ampuh guna memperkenalkan tokoh-tokoh politik pada masyarakat pemilih. Ia pun menjadi iklan politik yang cerdas dan gagas untuk memperkenalkan secara lebih dekat program partai ataupun sosok tertentu kehadapan publik.

Amien Rais dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa disebut sebagai dua tokoh yang banyak menelurkan buku-buku biografis mereka selama ini. Sejarah dan fenomena kepribadian kedua tokoh ini seakan tidak pernah lekang dikupas, dari beragam sisi. Bahkan biografi terakhir Amien "harus" diterbitkan di luar negeri (Singapura).

Di satu sisi, fenomena maraknya buku biografi ini dapat dibaca sebagai kelihaian sebagian pihak dalam membaca pasar buku. Walaupun secara ekonomis, ada beberapa buku yang tak begitu peduli dengan hitungan untung-rugi (misalnya biografi politik), tetapi kejelasan segmen dan pangsa pasar pembaca adaiah suatu jaminan yang menggiurkan.

Dalam buku terbarunya, Metodologi Sejarah: Edisi Kedua (2003), sejarawan Kuntowijoyo pernah menyimpulkan bahwa salah satu faktor laris-manisnya buku biografi adalah terciptanya segmen pembaca yang jelas dan kuat. Tak mengherankan bila pembaca rela merogoh saku lebih dalam, hanya untuk memiliki "panduan" sejarah tentang idola mereka.

Namun, di lain sisi, kemarakan ini serta-merta menimbulkan pertanyaan ihwal mutu dan kelayakan sebuah biografi. Kiranya, hal ini bisa dimaklumi sebab kebanyakan buku biografi yang notabene kisah sejarah itu, justru tidak ditulis oleh para sejarawan. Para penulis biografi umumnya seorang sastrawan serta jurnalis.

Tentu saja premis semacam ini bukan berarti berpretensi mengunggulkan ahli sejarah di atas yang lain. Namun, manakala sejarah itu diracik oleh tangan sejarawan, tentu hasil dan sentuhannya akan berbeda.

Asumsi senada ini lantas berimbas pada kekhawatiran dan kecurigaan akan adanya faktor "proyek" di balik penulisan buku biografi. Hal ini pun sesungguhnya memiliki alasan kuat. Bila John. A Garraty dalam karyanya The Nature of Biography menandaskan bahwa biografi tak lebih adalah "catatan tentang hidup seseorang", patut dipertanyakan jika penulisannya hanya menonjolkan sisi positif (heroisme) dari sang tokoh belaka.

Kendati hal itu nantinya akan berdampak pada "risiko bisnis", pengungkapan sisi hidup seorang tokoh secara lengkap, padu dan utuh (koheren) merupakan tugas utama dari seorang penulis sejarah. Ia semestinya menempatkan diri sebatas partisipan, bahkan sebagai pihak yang sama sekali belum tahu (the unknown). Atau bila perlu "menyamar" sebagai detektif yang penuh selidik. Lain dari itu, biografi sering dimaknai sebagai "merangkai sejarah dengan seni". Karena itu, ia membutuhkan kiat dan trik tertentu guna menyajikan sejarah secara kokoh, mengalir dan featurize.

Kecenderungan seperti itu bisa ditengok dari sedikitnya sejarawan yang sudi menulis biografi. Kita bisa mencatat hanya Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong yang (barangkali) mewakili secuil penulis dari kalangan sejarawan "murni". Sementara nama-nama seperti Moehammad Roem, Ajip Rosidi, Ramadhan KH, Deliar Noor, Rosihan Anwar, A. Makmur Makka, hingga generasi Ninok Leksono, Alberthiene Endah ataupun trio Massardi bersaudara saat ini, tak lebih para sastrawan dan jurnalis andal yang "melancong" kedunia biografi.

Realitas dilematis serupa ini, seharusnya dapat menggugah minat para sejarawan untuk "turun gunung" dan tidak hanya mendekam di atas menara gading dunla akademik. Nama semisal Soebagjo I.N. adalah satu di antara teladan yang pantas mereka tiru. Soebagjo (walaupun bukan sejarawan) hingga kini telah mampu menghasilkan lebih dari sepuluh biografi tokoh nasional. Pada titik ini, ia layak digelari "penyelamat" sejarah yang, dalam terma tertentu, melebih jasa sejarawan sekalipun.

Langkanya buku-buku biografi yang layak-mutu, bila ditelisik lebih jauh, turut dipicu oleh kurangnya keseriusan penulis sejarah dalam upayanya rmenyajikan fakta historis dengan cara yang cakap dan terampil. Di era kini, kita lebih banyak disuguhi oieh aneka biografi yang lebih banyak menawarkan kegemerlapan hidup, pendiskreditan pihak lain (sembari pada saat yang sama menganut pola hero in history), pengaburan fakta sejarah (historical authenticity) serta kebercerai-beraian latar kisah.

Di era kini kita sudah demikian sulit menemukan buku-buku biografi yang turut membuat kesadaran pembaca geram sekaligus terharu-biru sebagaimana dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kisah perjuangan remaja yang hiruk-pikuk dan penuh keringat dalam novel biografis Soekarno, Kuantar ke Gerbang, roman sejarah yang melukiskan kebersahajaan sekaligus keteduhan orang-orang pesantren di pedesaan seperti dituturkan dengan baik oleh Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-Orang dari Pesantren, ataupun feature romantika kekeluargaan yang memilukan seperti pengakuan pribadi mendiang Gandhi dalam An Autobiography-nya. yang terkenal itu.

Kita acapkali menjadi lebih berselera jika membaca biografi yang (justru) ditulis oleh para pengamat luar (Indonesianis). Hal ini disebabkan keyakinan kita yang —boleh jadi— berlebihan terhadap kesungguhan, profesionalitas dan netralitas mereka. Apalagi kondisi tersebut diperparah dengan sikap malas dan abai para sejarawan kita untuk (sekadar) menulis buku-buku sejarah yang terkemas secara populer dan memadai.

Dalam banyak hal, kita sungguh merindukan hadirnya pustaka-pustaka biografi bermutu seperti yang dihasilkan para penulis luar itu. Kita rindu kehadiran buku-buku, seperti Tan Malaka karya Harry A. Poeze, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan-nya Bernhard Dahm atau bahkan Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto-nya O.G. Roeder hingga Biografi Gus Dur-nya Greg Barton.

Di bidang penerjemahan pun kita kesulitan mencari biografi yang betul-betul bagus sekaliber Hayatu Muhammad tulisan Hussein Haykal yang telah diindonesiakan sedemikian baik oleh Ali Audah.

Dari segi kualitas, barangkali kita pantas untuk kurang puas. Namun, hikmah penting yang bisa kita ambil dari meningkatnya kuantitas karya biografi ini adalah kian kuatnya kesadaran untuk melestarikan tradisi tulis dalam komunitas perbukuan kita. Sebagaimana ditengarai banyak kalangan bahwa tradisi keberaksaraan di negeri ini lambat laun telah mulai melunturkan budaya kelisanan yang sedemikian lama menghegemoni kesadaran kolektif masyarakat.

Pada bingkai tersebut, seburuk apa pun "iklan" yang hendak disuguhkan dalam buku-buku biografi (seperti tampak dalam aneka biografi politik), hal itu sewajarnya disikapi sebagai bagian dari simtom dan upaya cerdas jagad literasi kita dalam menembus tradisi lisan yang telah tumbuh "beranak-pinak" di tengah kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya budaya tulis yang dinamis dan kompetitif, kian mendapat respons positif dari khalayak.

M. Ali Hisyam, pustakawan; bermukim di Yogyakarta
Majalah MataBaca Vol. 2, No. 12, Agustus 2004