Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malam Terakhir (Leila S Chudori)

gambar
Rp.75.000,- Rp.60.000 Diskon
Judul: Malam Terakhir
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG, 2018
Tebal: 119 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

Dua puluh tahun sejak memulai karir sebagai jurnalis di salah satu media paling berpengaruh di Indonesia – Tempo, Leila S Chudori akhirnya kembali kepada ruang kreasinya yang telah lama ia tinggalkan, sastra. Hal itulah yang diungkapkannya pada pengantar kumpulan cerita pendek ‘Malam Terakhir’, karyanya yang pernah diterbitkan pada 1989, yang kali ini kembali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2009, dengan perubahan desain sampul dan revisi konten, bersamaan dengan diterbitkannya karyanya yang lain bertajuk ‘9 dari Nadira’.

Hal lain yang juga diungkapkannya ialah bahwa cerita pendek, meskpun Leila adalah seorang pembaca novel yang setia, merupakan ruang kreasinya yang sejati dan bahwa berbagai cerpen karangan penulis besar dunia seperti Virginia Woolf, Ernest Hemingway, dan JD. Salinger, telah menginspirasinya untuk berkarya di dunia sastra, sehingga tak pelak cerpen selalu mendapat tempat tersendiri di hati pengarang novel best-seller ‘Pulang’ ini.

Ia juga melanjutkan bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki fungsi dan ‘nasib’nya masing-masing. Aada kata-kata yang ditakdirkan sebagai bagian dari sebuah cerpen, menjadi bagian sebuah novel, maupun bagian dari reportase jurnalistik. Juga mengutip penyair kenamaan Indonesia, Sutardji Chalzoum Bachri bahwa cerpen menjadi menarik karena sanggup menyediakan ledakan dahsyat dalam ruang yang relatif sempit. Eksplorasi atas penggunaan kata-kata serta ‘ledakan’ alur cerita menjadi begitu tampak pada kumpulan ini.

Sebagian besar cerita pada kumpulan ini mengangkat tema eksplorasi psikologis atas seorang protagonis (yang didominasi oleh karakter perempuan) dalam menghadapi berbagai problematika khas ke-Timur-an seperti norma sopan-santun, kesusilaan, sosial-kemasyarakatan, pernikahan, hingga permasalahan keluarga yang berakhir dengan tragis.

Penjelajahan atas kondisi psikologis karakternya terkadang melibatkan khayalan, yang kadangkala menyentuh batas tipis antara imajinasi dan realita sehingga tampak terkesan metaforistik dan surealistik. Hal ini tampak pada cerpen ‘Adila’ dimana sang protagonis Adila menjelajahi alam fantasinya yang mendukung perangai kritis dan penolakannya akan norma-norma yang umum berlaku di dunia timur. Adila, yang ilustrasinya ternyata menjadi sampul buku kumpulan cerpen ini (Penerbit KPG, 2009), selalu mendapat perlakuan kasar dari ibunya dan tak pernah mendapatkan jawaban memuaskan atas pertanyaan kritisnya. Hingga akhirnya melalui alam khayalnya, Adila menemui ajal setelah meneggak segelas baygon sementara ibunya meraung-raung meratapi berbagai aksesoris yang dikenakan Adila saat menjemput maut.

Pergumulan batin protagonis wanita juga tampak pada cerita ‘Air Suci Sita’ yang terinspirasi dari suatu kisah dalam kitab Ramayana ‘Rama dan Sita’ (atau Shinta yang lebih dikenal secara umum di Indonesia). Sang protagonis Sita mempertanyakan mengapa hanya Raja Agung Rama yang berhak menyangsikan kesetiaan Dewi Sita yang sekian lama bersemayam di istana Raja Berwajah Sepuluh (Dasamuka atau Rahwana) sementara ia tak dapat mempertanyakan kembali kesetiaan Raja Agung selama ia berpisah. Kisah ini terefleksi pada pasangan kekasih yang terpisah jarak dan waktu.

Lain lagi dengan cerpen ‘Keats’ dimana Tami, si narator dan penggerak cerita mempertanyakan paksaan keluarganya untuk menikahi Hidayat karena kedudukan dan status sosialnya yang terpandang sebagai seorang penyair religius, ketimbang sebagai pribadi dan seorang manusia yang juga memiliki perasaan. Pemaknaan atas pernikahan juga tersirat pada cerpen ‘Ilona’. Ayah Ilona yang membesarkannya secara tidak konvensiona ternyata menyebabkan Ilona tumbuh sebagai perempuan yang cenderung bertentangan dengan peraturan-peraturan yang dianggap mengekangnya., hingga akhirnya ia melahirkan seorang putra tanpa melalui pernikahan.

Tema sosial juga beberapa kali mencuat pada kumpulan ini. Salah satunya pada cerita ‘Sepasang Mata Menatap Rain’. Sebuah kisah yang terkesan autobiografis keluarga Leila ini berkisah tentang Rain, gadis cilik berusia dua tahun yang dengan kepolosannya banyak bertanya mengenai permasalahan yang membuat orang dewasa bahkan kehabisan kata untuk menjelaskannya. Rain kemudian menatap sepasang mata pengamen cilik yang dianggapnya mewakili kelaparan dan kesedihan hingga membuatnya tergerak dan mengajak orangtuanya untuk membantu pengamen tersebut.

Sebuah kritik sosial atau barangkali alegori atas keadaan aktual saat ini dapat terlihat pada cerpen terakhir yang juga menjadi judul kumpulan ini, ‘Malam Terakhir’. Cerpen ini menawarkan kisah dengan tema utopia negatif atau distopia, sebuah keadaan kekacauan yang sama sekali jauh dari stabilitas. Tiga orang aktivis demokrasi, Si Gemuk, Si Kurus, dan Si Kacamata dituduh membakar sebuah gerbong kereta hingga dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa. Eksekusi untuk ‘pengacau’ seperti mereka adalah digantung di pusat kota oleh pemerintah berkuasa, serta dinimkati oleh masyarakat mapan sebagai sebuah ‘pertunjukan seni’. Melihat kisah seperti ini sangat mungkin Leila sedkit banyak ingin menyentil dan mengkritisi pemerintahan Orde Baru saat itu yang begitu represif terhadap pergerakan para aktivis kemanusiaan yang tak segan-segan ‘dihilangkan’ dari sejarah tanpa ada jejak tertinggal. Cukup mengejutkan bahwa cerpen dengan tema seperti ini mampu lolos dari gunting tajam sensor Orde Baru yang otoriter.

Berbeda dengan novel ‘Pulang’ yang cenderung deskriptif dan mengedepankan penelusuran sejarah yang ditulis dengan gaya pewartaan khas jurnalis, kumpulan cerpen ‘Malam Terakhir’ lebih menampilkan sisi puitik dari Leila dimana banyak digunakan metafora dan alegori. Karya ini merupakan sebuah kumpulan menarik bagi mereka yang meminati cerpen karya pengarang Indonesia dan bagi mereka yang tertarik untuk membaca lebih lanjut karya-karya Leila S Chudori.
Pesan Sekarang