Toko Buku Ultimus Tak Sekedar Memberi Diskon
Sore menjelang magrib, sepasang suami-istri bergegas memasuki sebuah toko buku tak lama setelah mereka memarkir mobil. Di dalam toko, mereka sejenak asyik melihat dan memilih beberapa judul buku. Setelah menemukan buku yang dicari, mereka pun segera menuju pojok toko buku, tempat pengelola toko buku yang juga bertindak sebagai kasir berada. Di sana, mereka tak langsung membayar, tapi mengobrol. Obrolan yang keluar tidak seperti obrolan antara seorang pembeli dan penjual, melainkan obrolan yang cukup bersahabat antara tiga orang pecinta buku.
Saat obrolan masih berlangsung, beberapa mahasiswa memasuki toko buku, seperti sepasang suami istri tadi. Mereka mulai asyik melihat dan memiiih buku koleksi dari sekitar 40 penerbit yang tertata cukup rapi pada rak buku yang terletak di kiri dan kanan toko.
Itulah sedikit suasana dalam Toko Buku Ultimus saat MATABACA menyempatkan diri singgah ke toko buku yang terletak di tepi Jalan Karapitan, Bandung. Menurut Bilven yang bertugas melayani sekaligus mengelola toko buku ini, sedikitnya ada sepuluh orang dalam sehari membeli buku-buku yang dipajang di Toko Buku Ultimus. Dari kunjungan para pembeli tersebut selama tiga bulan terakhir, toko buku yang dikelolanya memperoleh omzet rata-rata sekitar 25 juta rupiah per bulan. Perolehan ini tiga kali lipat dari perolehan kotor yang pernah dicapai saat pertama kali toko buku dibuka pada pertengahan Januari 2004 yang hanya sekitar 8 juta rupiah.
Diskon
Sepintas tak ada perbedaan antara toko buku ini dengan toko buku pada umunnya. Namun, saat memasuki toko dan "menyelami" lebih dalam, ada beberapa hal yang membuatnya rada beda. Selain menawarkan suasana bersahabat, Toko Buku Ultimus memiliki jadwal buka yang panjang, yakni setiap hari mulai pukul 09.00 hingga larut malam. Toko buku ini pun memberikan diskon nyaris ke seluruh buku yang dipajangnya dengan rate minimal 20 persen. Tak heran, bila toko buku ini berani mengusung jargon "Toko Buku Diskon". Menurut Bilven, diskon menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkan Toko Buku Ultimus lantaran toko buku ini harnya menyediakan buku-buku humaniora yang terdiri dari buku-buku sastra, filsafat, serta sosial-politik. Peminat dari buku-buku ini kebanyakan mahasiswa.
Selain memberikan diskon reguler dengan rate 20 persen, toko buku ini menyajikan "bulan diskon" dengan memberikan rate diskon lebih besar terhadap buku-buku yang diterbitkan penerbit tertentu. "Setiap bulan, kita bekerja sama dengan penerbit-penerbit tertentu untuk membuat 'bulan diskon'. Misalnya, bila reguler, mereka (penerbit—red.) masuk ke kita dengan memberikan rabat 30 persen, saat bulan diskon mereka memberikan rabat sebesar 50 persen. Bulan ini dengan penerbit A, B, dan seterusnya," papar Bilven yang sehari-hari dibantu dua sahabatnya, Tiwi dan Hakim, untuk mengelola Toko Buku Ultimus. Lebih lanjut pria yang saat ini sedang merampungkan tesis S2 di Institut Teknologi Bandung mengungkapkan bahwasanya program ini (bulan diskon—red.) sangat menguntungkan semua pihak. Pembeli diuntungkan dengan diskon yang lebih besar sehingga buku menjadi lebih murah, sedangkan bagi penerbit juga bisa memperoleh keuntungan yang signifikan karena setoran dari hasil penjualan buku meningkat. Sebagai pembanding antara reguler dan bulan diskon, setoran (jumlah uang yang harus disetorkan Toko Buku Ultimus) bisa naik lima sampai sepuluh kali lipat sehingga banyak penerbit yang mau bekerja sama seperti itu.
Perolehan yang meningkat rupanya mengingatkan pengelola toko buku ini untuk menyisihkan sedikit dari keuntungan bersih yang diperoleh. "Sejak April (2004), Toko Buku Ultimus menyisihkan Rp.500 dari setiap buku yang terjual. Hasilnya, setiap bulan diberikan kepada lembaga atau organisasi tertentu. Misalnya, pada April yang memiliki momen hari Kartini, Ultimus memberikannya kepada Institut Perempuan. Harapan kita bukan semata-mata memberi uang, melainkan (uang tersebut) bisa digunakan untuk membuat program-program yang berhubungan dengan literatur, seperti pembuatan booklet. Jadi, semua masih dalam konteks literatur," ujar Bilven.
Sampai Juli 2004, Ultimus baru berusia sekitar tujuh bulan. Toko buku yang dibuka resmi pada 15 Januari 2004 ini didirikan oleh tujuh orang (Bilven, Fenti, Tiwi, Ayunk, Hakim, Hadi, dan Fredo) yang menjalani pendidikan di kampus yang sama, STT Telkom, dan berasal dari tiga angkatan kuliah berbeda (96/97, 97/98, 98/99) yang kebetulan adalah satu kelompok diskusi dan senang membaca buku. Sehari-hari hanya tiga dari tujuh orang yang mengebla toko buku secara langsung, Mereka antara lain Bilven, Tiwi, dan Hakim. Kesepakatan untuk mendirikan usaha ini muncul sekitar satu tahun silam (2003) setelah beberapa di antara mereka telah menyelesaikan kuliah.
"Setelah sepakat (membuat usaha toko buku), kita membuat sebuah business plan (rencana bisnis), kira-kira toko buku seperti apa yang akan kita rintis. Kemudian, kita mulai melihat beberapa toko buku yang ada di Bandung. Salah satu yang diperhatikan adalah buku apa saja yang mereka jual. Dari sana, kita melihat ada satu jenis buku yang belum dipenuhi secara maksimal oleh toko-toko buku yang ada di Bandung. Jenis buku tersebut adalah humaniora," papar Bilven.
Jenis buku ini memang menjadi salah satu ciri dari Toko Buku Ultimus yang diakui Bilven tidak ingin bersaing secara frontal dengan kios-kios buku di kompleks Palasari yang juga sering memberikan diskon terhadap buku-buku yang dijual dan banyak didatangi mahasiswa.
Persaingan memang bukan kendala yang berarti bagi Bilven dkk. karena memang mereka hanya "melengkapi" pangsa pasar yang dianggap belum digarap optimal. Namun, di luar itu, hal berbau teknis kadang membuat mereka agak kerepotan, seperti keharusan membuat laporan untuk penerbit "Penerbit yang memasukkan buku ke Ultimus sekitar ada empat puluh. Mereka memberikan sistem pembayaran konsinyasi (hasil penjualan diberikan setelah buku terjual pada periode tertentu) dan setiap bulan kita harus membuat laporan. Dengan jumlah penerbit sebanyak itu, artinya minimal satu hari kita membuat satu laporan dan itu kadang bikin repot."
Sampai saat ini, selain rutin menggelar diskon, membagikan katalog, menyisihkan keuntungan bersih, dan tentu saja membuat laporan, Ultimus telah beberapa kali menggelar event yang berkaitan dengan buku. Event ini diadakan sedikitnya tiga kali di ruang Toko Buku Ultimus, seperti peluncuran buku dan diskusi; selebihnya sering diadakan di luar toko buku, yakni kampus. Menanggapi hal ini, Bilven mengatakan, "Soal event, Ultimus biasanya bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan penerbit dan kawan-kawan di kampus dan komunitas budaya. Jadi, kerja sama melibatkan tiga pihak, penerbit, Ultimus, panitia pelaksana (kampus/komunitas budaya). Saat kerjasama penerbit menanggung pembicara/penulis, Ultimus menyiapkan publikasi atau pembicara di Bandung sebagai pembanding." Dengan segenap aktivitas dan pencapaian yang belum banyak diraih, memang wajar bila Bilven dkk. berharap dalam waktu dekat bisa segera membuat Ultimus menjadi tempat mangkal yang lebih nyaman bagi para pecinta buku, yakni dengan mendirikan perpustakaan di samping toko, dan membangun "stage" yang lebih permanen sehingga bisa mengoptimalkan beragam kegiatan yang berkaitan dengan dunia buku. Jadi, semakin memperkuat kesan bahwasanya Ultimus tak sekadar memberi diskon.
Agus Setiadi, Pencinta buku tinggal di Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 11/Juli 2004
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 11/Juli 2004