Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Buku Kehidupan: Momen Menakjubkan dan Paradoks

Masih ada kejadian kecil dari Frankfurt Book Fair (Oktober 2003) yang belum dituturkan oleh si empunya cerita. Saat itu, bersama beberapa rekan saya tengah menyusuri sejumlah stan mencari, siapa tahu ada buku Present Moment Wonderful Moment. Mungkin saja ada terselip bagaikan lembaran kertas di tengah gunungan buku di gelanggang akbar tersebut. Memang kami tak dapat mengharap banyak, karena tidak tahu nama penerbitnya, namun kalau ada jodoh atau sinkronitas, apa pun dapat terjadi. Suatu hari kami berhenti iseng, setelah lelah berjalan, di satu stan kecil berukuran 1 x 2 meter persegi: Parallax Press. Sepintas lalu mata mengerling menyapu sejumlah judul buku yang dipamerkan. Tidak begitu banyak, maklum penerbit kecil.

Tiba-tiba rekan Sulaiman Budiman setengah berseru menunjuk, "Bukankah itu buku yang Pak Indra cari-cari?" Si empunya nama datang mendekat. Memang benar di situ terpancang buku hijau tipis Present Moment Wonderful Moment, karangan Thich Nhat Hanh, seorang paderi Zen dari Vietnam. Buku itu sudah lama menarik perhatian saya, setelah James Redfield (Celestine Prophecy dalam bentuk eseinya) beberapa kali mensitirnya. Seperti terjemahan sajak berikut ini:
Menghirup napas,
saya menenangkan tubuhku
Menghembuskan napas,
Saya tersenyum
Mengembara dalam momen
kekinian
Saya tahu ini adalah momen
menakjubkan

Mendekati penjaga stan—sepertinya seorang Vietnam—saya bertanya apa dimungkinkan untuk membeli buku tersebut? Namun, karena buku itu salu-satunya yang dibawa: ia tidak dapat menjualnya. Hanya melihat kegairahan besar yang ada pada diri saya, ia membisiki agar datang pada hari terakhir pameran dan nanti boleh mengambilnya secara cuma-cuma....

Buku tersebut berisi sekumpulan gatha, syair-syair pendek disertai penjelasan dan tafsir oleh penulisnya. Syair-syair itu dapat disenandungkan dalam hati sembari melakukan pekerjaan sehari-hari. Di sinilah letak keindahannya dari "living in the present moment" (hidup dalam momen kekinian). Apa pun yang dilakukan apakah itu membasuh tangan, menyikat gigi, buang air, mencuci piring, menyapu lantai, membaca koran, mendengarkan suara tekukur, menghirup dan mengembuskan napas senantiasa disyukuri dan menjadi kesadaran yang sepenuhnya dihayati. Inilah sikap hidup meditatif yang tenggelam menyadari apa yang terjadi dengan tubuh, pikiran, perasaan dan dunia sekeliling kita. Pekerjaan apapun didekati dengan sikap yang senantiasa baru, seakan-akan baru pertama kali dikerjakan.

Saya kira ajaran Zen ini berbeda dengan sikap hidup yang hedonistis, carpe diem, "tangkaplah hari" mumpung masih ada kesempatan reguk hidup sepuas-puasnya. Umbarlah napsu, karena kesenangan adalah tujuan hidup yang semestinya, Pada Zen, justru kenikmatan dimunculkan dari pekerjaan sehari-hari yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. Tak ada upaya untuk memburu peristiwa yang menghebohkan, yang sensualistis, yang dramatis.

Hal lain yang membuat saya tertarik pada Zen adalah pemahamannya mengenai pencerahan (enlightenment) yang berbeda dengan pencerahan (aufklarung) dari Barat. Pencerahan yang berjaya di Barat (1680-1780) itu terlalu mengagungkan rasionalisme dan kebebasan berpikir. Saat itu ada optimisme, bahwa dengan kecerdasan pikiran (IQ) kemajuan peradaban manusia dengan sendirinya niscaya akan menanjak. Kini pandangan semacam itu hanya mempunyai sedikit pengikut. Sebaliknya, pada Zen yang ditekankan adalah pencerahan batin, pengalaman satori, yang bebas dari abstraksi atau kata-kata muluk. Dengan demikian, apakah pencerahan pada Zen mengarah ke kecerdasan spiritual (SQ) yang holistik, yang menganggap pikiran hanya satu dari sekian banyak komponen?

Juga pada Zen, pencerahan bukan milik orang-orang tertentu yang dapat merenung, meditasi berjam-jam ataupun yang sanggup berpikir besar. Ia adalah pengalaman mendadak seperti sambaran kilatan petir yang membuat diri-sejati tiba-tiba terbuka. Guru-guru dan buku dapat menunjuk arah, tetapi pencerahan merupakan pengalaman yang sepenuhnya personal. Sebenarnya potensi pencerahan itu telah lama mengendap pada diri tiap orang—ia adalah indera di luar pancaindera yang tersembunyi, terabaikan. Atau ada juga yang menyebut pencerahan sebagai peristiwa terbukanya "mata ketiga" (the opening of the third eye).

Orang yang telah menerima pencerahan tidak akan mengaku-ngaku, bahwa ia telah tercerahkan. Ia bekerja seperti sediakala, bertingkah laku biasa, hanya orang lain mungkin tidak mengetahui, bahwa pandangan matanya kini sudah sepenuhnya baru, telah mengalami transformasi, menembus ke inti hakikat, melampaui pikiran.

Peribahasa Zen berikut ini sepenuhnya mewakili aktivitas keseharian ("Zen all the time") dari mereka yang telah menerima pencerahan.

Sebelum pencerahan memotong kayu mengangkut air 
Setelah pencerahan memotong kayu mengangkut air

Dunia luar masih seperti sediakala, hanya dunia dalam, mikrokosmos telah mengaiami transformasi perubahan. Kalau sebelum pencerahan, kerja adalah tugas-kewajiban maka setelah pencerahan kerja bukan lagi beban, melainkan menjadi dharma, panggilan dan amanah. Apakah tidak elok penghayatan seperti itu?

Teka-teki dan Paradoks
Saya kira kalau kita membicarakan Zen, sudah sepatutnya jika Taoisme juga ikut disinggung. Hubungan keduanya erat sekali bahkan Taoisme banyak berpengaruh pada Zen. Sebelum mengetahui perihal Zen, saya sendiri malah telah memiliki beberapa buku mengenai Taoisme. Taoisme adalah salah satu ajaran hidup utama di Tiongkok, selain Konfusianisme. Kalau Konfusianisme lebih banyak bicara mengenai manusia, masyarakat dan penguasa dengan pendekatan etis, bijak dan humanistik (jen dan li), Taoisme lebih tertarik mencermati jalannya Alam Semesta dengan transformasi dan perubahannya. Bagi seorang Taois, intuitive wisdom lebih unggul dari rational knowledge. Herannya penemuan fisika modern—khususnya kuantum—sampai kepada kesimpulan yang membenarkan pengamatan intuitif Taoisme tersebut (baca: The Tao of Physics, Fritjof Capra, 1976). Sepertinya intuitive wisdom yang membuka jalan dulu, kemudian rational knowledge yang menyusul dari belakang, melakukan verifikasi pembenaran.

Begitu saya membuka kitab Tao Te Ching, buah karya Lao Tzu, yang menonjol adalah aphorisme, perumpamaan dan frase-frase yang penuh teka-teki, makna kabur dan paradoks. Misalnya, "Tao yang bersinar tampak samar. Tao yang maju tampak mundur". Atau "Kembali adalah gerakan dari Tao, Menyerahkan adalah fungsi dari Tao". Kita tentu dapat melanjutkan dengan berimprovisasi, seperti "Kekuatan adalah kelemahan. Kelemahan adalah kekuatan". Atau dengar ungkapan seperti ini: "indah tetapi buruk. Buruk tetapi indah". Sepintas lalu frase itu sepertinya mirip permainan teka-teki kata yang omong kosong. Namun, kalau direnungkan, dalam situasi konkret tertentu, hal itu bukannya tak ada kebenarannya. [Sebagai conioh: (Indah muka) tapi buruk (hati). Buruk (rupa) tapi indah (hati)]. Apakah Tao itu sendiri? Banyak penerjemah dan penafsir yang memberi interpretasi yang berbeda-beda, hingga nuansanya menjadi makin kaya dan mungkin malah tambah membingungkan.

Seperti terjemahan Lin Yutang (The Wisdom of Laotse) berikut ini: "Tao itu bejana kosong (tapi......). Manfaatnya tak ada habis-habisnya. Betapa dalamnya! Menyerupai sumber asali dari semua benda" (cuplikan Bab 4). Lalu ada yang menyimpulkan Tao itu bukan hal, bukan proses, bukan zat, tetapi lebih mirip prinsip tunggal Jalan Semesta. Bagaimana sesuatu itu terjadi dan bagaimana sesuatu itu bekerja. Namun, banyak pihak lain yang tak dapat menerima definisi tersebut. Tao sejati itu tak memunyai arti atau nama dan lebih jauh: tak terumuskan. Biarlah para pakar itu berdebat dan menggali terus, sementara kita melanjutkan melihat sisi-sisi lainnya.

Dalam Taoisme yang juga penting dicatat adalah konsep perubahan yang terjadi karena dinamika interaksi antar kutub-kutub berlawanan. Yin dan Yang saling mempengaruhi terus, membuat perubahan tak terhindarkan. Dua-duanya, positif dan negatif, walaupun berlawanan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam hal ini, Lao Tzu sejalan dengan Heraclitus, filsuf Yunani yang terkenal dengan semboyannya panta rrhei, semuanya mengalir, semuanya berubah termasuk perubahan itu sendiri.

Bagaimana kemudian hubungan Zen dengan Taoisme? Ternyata kedua-duanya memiliki persamaan di samping perbedaannya. Zen adalah blending (ramuan) dari tiga budaya yang berlainan. Zen mengambil unsur Buddhisme dari India; Taoisme dan Konfusianisme dari Cina dan Shintoisme dari Jepang. Dari Taoisme ia menerima spontanitas, kewajaran dan cinta pada alam, paradoks dan mengembangkan permainan teka-teki (koan) dengan jawaban intuitif yang tak terduga-mengagetkan! Dari Konfusianisme ia menimba sikap pragmatis dalam menghadapi gaya hidup modern. Sementara dari Buddhisme ia tetap mempertahankan disiplin pencapaian satori, pengalaman pencerahan.

Taoisme lebih merupakan gaya hidup dengan disiplin yang lebih longgar. Seorang Taois umumnya lebih suka hidup bebas, independen, bohemian dan kurang mau terikat dengan konvensi yang kaku. Sementara Zen, karena aspek pragmatismenya dapat bergerak lebih fleksibel. Seorang master Zen tidak harus seorang rahib "gelo" yang muncul dalam film, tetapi dapat juga berupa sosok seorang saudagar yang kaya, santun dan dermawan. Yang penting dalam Zen adalah disiplin dalam meditasi (zazen). Olah dan praktik meditasi sendiri (experiencing) adalah lebih berharga daripada pemahaman berbagai doktrin atau ajaran tertulis, betapapun canggihnya itu.

Dalam perjalanan hidup saya, di samping pelajaran dari Barat (terutama lewat sekolah dan buku-buku wajib), ajaran seperti Taoisme dan Zen ternyata banyak mengimbangi alam pemikiran yang linear dengan yang non-linear; dualistik dengan holistik; mekanistik dengan organik; bivalensi dengan multivalensi.

Tidak Mudah Heran dan Kagetan
Memang Taoisme dan Zen membuka cara pandang baru, seperti kemampuan berpikir yang lebih lateral, melampaui sekadar memilih jawab antara "ya" dan "tidak". Ia coba menukik ke wawasan yang lebih dalam. Namun, sampai seberapa jauh relevansinya dengan pekerjaan manajemen yang saya gumuli? Demikian agaknya pertanyaan yang menyelinap ke benak si empunya cerita.

Hemat saya, cara pandang baru itu juga membawa dampak yang berarti dalam memecahkan persoalan dan mengambil keputusan. Kini muncul faktor X tambahan di mana kita dibiasakan berpikir mencari alternatif baru, dan tidak sekadar berhenti pada jawaban standar. Bukankah itu yang menjadi tugas pokok seorang eksekutif unggulan? Mengadakan diagnosa dari berbagai segi dan kemudian melakukan terapi secara lebih jitu?

Ada ungkapan yang menyatakan, jangan mudah kagetan, jangan mudah terheran-heran. Idiom seperti itu bukannya tak ada betulnya apalagi di zaman yang serba tak menentu dan tak terduga ini. Hemat saya, latihan dan bacaan mengenai Zen dan Tao itu dapat mengantar pribadi untuk lebih bisa memahami peristiwa yang ganjil atau kasus yang sepertinya tidak masuk akal, absurd.

Seperti ucapan Northcote Parkinson (Parkinson's Law, 1957) yang mengutarakan "orang yang paling sibuk, yang paling punya banyak waktu". Untuk mereka yang terbiasa berpikir dengan logika linear, hal itu kurang dapat diterima. Padahal kalau diteliti, bukannya tak ada kebenarannya. Seorang setengah pengangguran misalnya memerlukan waktu satu jam untuk menyelesaikan sepucuk surat. Berhubung kurang adanya tekanan waktu, ia berpikir pelan-pelan dalam merangkai kalimatnya, Sembari mulai menulis, ia juga menyelingi dengan makan roti dan minum kopi, kemudian bercanda dulu dengan burung perkututnya, sebelum menyelesaikan suratnya. Ini berbeda dengan orang sibuk yang langsung menulis dan menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 15 menit. Sisa waktunya kemudian dapat digunakan untuk keperluan lain. Hal itu baru menyangkut penghematan waktu untuk satu kegiatan, Bagaimana kalau orang sibuk tersebut memunyai banyak kegiatan dalam sehari?

Atau umpamanya ada keluhan dari pimpinan penerbitan sebuah majalah. Segala macam cara telah ditempuhnya untuk memperbaiki isi medianya dengan harapan sirkulasinya akan menanjak dan sebagai kelanjutannya jumlah iklannyajuga akan bertambah.

Namun, harapannya yang masuk akal itu kemudian ternyata kandas. Agaknya ia hanya memperhitungkan hubungan sebab-akibat yang lurus antara isi media dengan jumlah pembaca dan pemasang iklan. Padahal pemuatan iklan di berbagai media itu mempertimbangkan banyak faktor, selain segi isi dan sirkulasi, Di mana posisi majalah itu—sekalipun isinya sudah diperbaiki—di antara majalah lain yang sejenis? Apakah ia dapat menggolongkan diri di antara tiga besar dalam kelompoknya? Hukum Tiga atau The Rule of Three (Jagdish Sheth et.al, 2002) itu sampai seberapa jauh periu dipatuhi atau malah mesti dilanggar sama sekali? Ini baru sebagian dari sejumlah pertanyaan yang menggugat.

Kemudian sejak beberapa tahun terakhir ini saya juga mulai belajar mengapresiasi seni rupa modern. Saya dapat menikmati seni lukis dari semua mazhab, sepanjang estetikanya dapat dipertanggung-jawabkan. Rupa, rasa dan makna, demikian pedoman dari dr. Oei Hong Djin, kolektor pribadi terbesar di sini yang sekaligus juga pengamat dengan wawasan tajam.

Hanya akhir-akhir ini yang menarik perhatian saya adalah seni rupa dari aliran abstrak. Semakin sukar dipahami, semakin tertantang hati ini untuk mau menyelami lebih dalam. Ternyata dengan berulang-ulang mengamati, muncul getaran roso baru yang tidak sama dengan sebelumnya. Dalam seni rupa realis "sekali kucing selmanya adalah kucing". Sebaliknya, dalam seni abstrak, setiap kali memandang senantiasa dimungkinkan adanya pemahaman baru yang berbeda. Kita sepertinya tak hanya harus terpaku pada satu pengertian tunggal, tetapi mulai dibebaskan untuk melihat sejumlah pilihan lain, alternatif baru. Apresiasi seperti ini makin memperkaya wawasan yang sudah diperoleh dari Zen dan Tao. Seni ternyata tak hanya menawarkan keindahan semata, tetapi juga dapat memberikan pemahaman yang baru. Secara pribadi, saya mengenal beberapa pelukis abstrak yang baik, seperti Sadali (alm.) dari Bandung yang kerap melukis subuh hari dalam keadaan alfa-meditatif. Atau Nunung WS, perupa perempuan berusia 50-an tahun yang senantiasa serius dan intens dalam menggarap karyanya. Atau Hanafi, seniman muda yang berani bereksperimen, selain dalam komposisi warna juga membebaskan kanvas dari bingkai hingga lukisan menyatu dengan ruang dan suasana. Meditatif, intens dalam berkarya dan menyatu dengan ruang, alangkah menariknya untuk disimak.

Setiap kali mendengar perdebatan yang kurang bermutu, apakah itu di media, di kantor ataupun di sebuah seminar saya hanya dapat membatin. Sudah pota pendekatannya serba mekanistis dengan tarikan garis lurus linear, masih mengotot lagi. Sembari menikmati lukisan Hanafi atau Sadali, saya dapat menenggelamkan diri membaca buku yang menggambarkan paradoks zaman ini. Misalnya Why Smart Executives Fail (Sydney Finkelstein, 2003) yang isinya cukup tajam menikam atau The Tao is Silent (Raymond M. Smullyan, 1977) dengan muatan humor-bijak yang mengendap. Kali ini saya memilih yang kedua. Tiba-tiba: "Plung! Kodok kecemplung masuk kolam. Setelah itu, sepi kembali" (haiku). Tao itu diam. Keheningan bunga yang tumbuh diam-diam tanpa kata-kata. The Tao is Silent. Saya tahu ini adalah momen yang menakjubkan.

Indra Gunawan, pencinta buku, tinggal di Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 11/Juli 2004