Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Majalah RIPPLE: Riak Ombak di Parijs van Java

Bandung adalah Parijs van Java. Komparasi analogis ini mungkin benar bila ditempatkan pada masa—sekitar tahun 1920-an—ketika Bandung masih menampakkan dirinya dalam apa yang disebut Ramadhan KH sebagai "Priangan Si Jelita" di Hindia-Belanda; di mana orang dapat dengan mudah menikmati lingkungan yang memesona—dan ini rupanya mengingatkan mereka, terutama para pelancong, pada kejelitaan Paris. Karena itu, menjadi tidak berlebihan jika mereka menjuluki Bandung sebagai Parijs van Java.

Tetapi, kini, setidaknya sejak satu dasawarsa belakangan ini, julukan itu boleh dibilang terdengar berlebihan di telinga orang yang pernah merasakan sumpeknya suasana kota yang dikepung oleh bangunan-bangunan pertokoan modern yang berebut rminta diperhatikan. Mungkin itu sebabnya ingatan akan kejelitaan-kota itu seakan tak berbekas dalam kenangan kolektif masyarakatnya, yang saban hari terbiasa menikmati kemacetan lalu-lintas dengan riang. Di antara keriangan itu sejumlah anak muda masih sempat merasakan dan menikmati "riak ombak" yang berkecipak di Jalan Bali No. 1 Pav. Bandung. Tentu saja ini bukan lokasi sebuah pantai, sebab di Bandung tak ada yang namanya pantai, melainkan alamat sebuah majalah yang dikelola oleh sekelompok anak muda dengan "senang-senang", meskipun bukan berarti tak profesional dan berorientasi profit, yang dalam kamus bahasa Inggris akan tertulis—dengan huruf kapital—sebagai: RIPPLE (riak kecil).

Mengapa RIPPLE? Karena pada dasarnya mereka adalah anak-anak muda yang gemar berselancar (surfing)—dan sebab itu mereka mencintai ombak dan pantai dengan penuh seluruh. "Nama RIPPLE kami dapatkan saat baring-baring di pantai sehabis surfing," kenang Satria Nur Bambang alis Sat. NB (27 tahun), chief executive majalah ini. Untuk kecintaan itu, Sat. NB dan Dendy Darman (29 tahun), pendiri distro 347 Boardrider, memilih nama RIPPLE saat berkesepakatan menerbitkan majalah ini secara independen pada September 1999 dalam format seukuran kartu pas—atau yang biasa dikenal dalam dunia jurnalistik dengan istilah majalah saku (pocket magazine)—setebal 10 halaman,sebanyak 500 eksemplar, dan dibagi-bagikan secara gratis.

Keputusan ini bukannya tanpa pertimbangan rasional. Mereka sadar akan kenyataan bahwa anak-anak muda segenerasi mereka cenderung menyukai hal-hal yang simpel, sangkil, dan tak lazim. Karena itu, "Kami tak berpikiran muluk-muluk ketika pertama kali menerbitkan majalah ini," kata Sat kepada saya. inilah salah satu pertimbangan rasional itu—yang sekaligus menunjukkan sikap heroik mereka dalam bekerja, "Biarin nggak dapat untung, yang penting kami puas telah dapat mempersembahkan sesuatu yang 'berharga' bagi kehidupan kami sebagai anak muda," tukas Sat. Saya sengaja memberi tanda petik pada kata berharga itu, karena Sat mengingatkan saya bahwa kata itu merujuk pada dua pengertian yang saling berkelindan, yaitu promosi dan sosialiasi.

Sebagai media promosi, sudah menjadi rahasia umum bahwa RIPPLE adalah corong atau alat dagang yang efektif untuk memperlancar penjualan produk clothing dan peralatan surfing serta skateboard 347 Boardrider. Sementara sebagai media sosialisasi, RIPPLE memiliki misi yang cukup "mulia" untuk menempatkan dirinya sebagai pewarta berita: peristiwa dan aktivitas skateboard dan surfing serta musik di Tanah Air. Dengan ini, boleh dibilang mereka cukup cerdik dalam memosisikan peran majalah ini di tengah kehidupan anak-anak muda di negeri ini, khususnya anak-anak muda di Bandung. Tentu saja, anak muda mana yang tak akan tergoda dengan bonus-bonus eksklusif berupa kaset band-band indie atau underground, dan merchandise cantik yang bisa didapat secara gratis pada edisi-edisi tertentu dari majalah ini.

+ Sudah baca RIPPLE #20?

- Ahhh... ada yang bilang RIPPLE itu majalah salah jalan, jalan-jalan menuju Roma....

- Hmm... ini taun 2003, semua orang boleh mengungkapkan pendapatnya....

+ Yeah... take it or fake it ... kalo mau yang bagus-bagus baca aja kartini atau femina, atau ... apa itu ... buletin manajemen ... euhhh apa??

- Qalbu

+ Yo'i!

-  Kenapa ya RIPPLE #20 ini masih banyak tentang musik, kenapa?

+ Karena memang banyak yang harus ditampilkan, banyak musik yang bagus dan jujur... no drama ... no bullshit... hahaha.
- Lalu bagaimana dengan attitudenya?

+ simak aja (cieee...), the brandals, mars volta, fall, dan lain-lain ...

- Ngomong-ngomong soal attitude... kalo kamu pengen menjadi anak punk, coba baca di sebuah majalah ibukota, di situ ada 10 cara menjadi punkers, sayangnya tidak sekalian aja dikasi formulirnya, kan keren tuh legal, terdaftar dan pasti diakui... semudah itukah? I, terdaftar dan pasti diakui... semudah itukah?

+ Ya memang, buat apa susah2 ngikutin ideologi yang beda, orang kita cuman pengen gaya kok, ngapain mesti capek-capek, semuanya udah ada kok, tinggal ngambil aja, dari film, lagu, literatur, dan kalo punya duit pergi aja keluar negeri, london, new york... trus tulis artikelnya, jangan lupa sebutin tokoh-tokoh punk, musiknya, fashionnya, sejarahnya juga kirim ke majalah di ibu kota, sisipkan foto2 biar terlihat keren dan terpercaya ... namanya juga jualan....

- Oo gitu ya? 

+ Yo'i! 

- Tapi cara tata bahasa menulis lo kok kacau gitu sih, ngelantur, susunannya kacau... mabuk lu ya?

+ Ah .. gimana sih... itu kan gua slonong boy, ga' teratur dan anti kemapanan ... gokil lu!

Dialog di atas adalah sepenggal percakapan antara editor majalah ini dengan seorang teman lamanya di sebuah taman pada suatu sore yang berangin sepoi-sepoi. Kita bisa membaca dialog ini secara lengkap dalam RIPPLE #20 (Agustus-September 2003, hlm, 8). Saya sengaja mendedahkan kembali percakapan tersebut di sini sebagai ilustrasi untuk membicarakan dua catatan penting yang dapat menandai keberadaan dan bahkan kekhasan majalah ini.

Pertama, menerbitkan majalah anak muda dengan format kartu pos tentu merupakan sesuatu yang tak lazim dilakukan, karena pilihan ini sudah pasti berlawanan dengan kebiasaan umum yang berlaku dalam dunia penerbitan majalah di Tanah Air, yang biasanya terbit dengan ukuran kertas kwarto, Tetapi pilihan ini boleh dikatakan menunjukkan keautentikan cara berpikir anak-anak muda yang mengelola majalah ini. Dengan kata lain, mereka tak hanya sekadar ingin tampil beda, tapi betul-betul memahami kecenderungan estetik anak-anak muda yang pada umumnya anti-kemapanan. Maka, menjadi tidak mengherankan jika antusiasme anak-anak muda begitu tinggi dalam merespons kehadiran majalah ini. Situasi ini terus berlangsung, bahkan saat majalah ini berganti format sebagaimana majalah anak muda yang konvensional pada edisi ke-16 (Februari 2003). Salah satu indikatornya bisa kita lihat dari luasnya wilayah pendistribusian majalah ini yang tak lagi beredar secara terbatas di kota Bandung, tapi telah menem bus kota-kota besar lainnya di Tanah Air, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Bali, Medan, dan Balikpapan; dengan angka cetak yang cukup menggiurkan: 10.000 eksemplar!

Kedua, sekalipun saat ini telah berwajah konvensional, RIPPLE tak lantas berubah menjadi majalah anak muda konvensional yang kerap bersikap manis di mata umum. Justru dengan wajah konvensional ini mereka menunjukkan potensi pemberontakan mereka secara lebih garang dan terbuka. Kita tentu tak bisa membayangkan kata-kata kasar dan jorok—seturut kacamata orang tua—yang melanggar kaidah berbahasa yang baik dan benar atau menerobos aturan-aturan EjaanYang Disempurnakan, sebagaimana yang disinyalir dalam percakapan di atas akan dimuat atau dipublikasikan dalam majalah-majalah anak muda konvensional dan mainstream.

Tetapi, menurut Sat, potensi ini mereka kerahkan tanpa maksud "gagah-gagahan" untuk mencari lawan. Sebaliknya, dengan itu mereka ingin menunjukkan kejujuran yang sudah semakin langka adanya di negeri ini termasuk bila harus menampilkan tubuh telanjang seorang model atau artis di majalah ini. Kalaupun ada pertimbangan pasar yang memengaruhi perubahan wajah majalah ini, saya kira, itu bukan sebuah aib yang harus ditutup-tutupi, sebab kenyataan ini bisa kita pahami sebagai cara mereka untuk mensiasati pasar yang tak jarang, memandang keberadaan majalah ini secara sebelah mata.

"Saya sering dibuat geram dan jengkel oleh sikap pasar (distributor dan toko buku) yang sering semena-mena menggolongkan majalah ini (saat berformat kartu pos) sebagai buku—dan sebab itu mereka menuntut potongan yang besar dari harga jualnya," kata Sat. Tetapi, lepas dari soal itu, "Kami merasa perlu berubah—karena tak ingin mapan dan stagnan di satu format dan konsep saja, maka dengan kesadaran penuh kami mengubah format majalah ini tanpa harus mengubah konsep majalah ini: 'senang-senang'," tukas Sat. Dengan konsep (atau prinsip) ini, mereka tak menjadi terbebani dengan segala implikasi yang sudah dan bakal terjadi dengan perubahan itu.

Senja itu, sesaat sebelum mematikan tape mini yang merekam pembicaraan kami, saya bertanya kepada alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu.

"Sampai kapan kalian akan berkutat dengan majalah ini?"

"Sampai kami merasa tua danbosan," jawabnya.

Wahyudin, Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM; Penggiat Lingkar Studi Seni Rupa Yogyakarta
 Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 4/Desember 2003