Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjaring Pengunjung, Meraup Minat Baca

Mengunjungi perpustakaan, bagi sebagian besar orang belum menjadi agenda yang menyenangkan. Gambaran perpustakaan yang kaku, hening, berdebu dan bau kertas lapuk menjadi negative brand image tersendiri. Jika dalam dunia usaha hal itu dapat berarti kemajuan besar yang dicapai suatu usaha sehingga mengakibatkan diambilnya tindakan preventif (yang sering kali diartikan negatif oleh orang awam/konsumen) demi efisiensi kinerja perusahaan. Tidak demikian halnya dengan perpustakaan; selain belum populer sebagai lahan bisnis (kecuali didampingi toko buku sebagai satu kesatuan), perpustakaan masih dipandang sebelah mata dan sebelah hati.

Paradigma inilah yang harus diubah. Saya tidak akan mengadu domba masalah rendahnya minat baca masyarakat atau mahalnya harga buku. Point of view tulisan saya mengarah pada kinerja perpustakaan itu sendiri. Saya juga tidak akan menyoroti petugas perpustakaan yang telah mengikuti seminar dan pelatihan perpustakaan di berbagai daerah, tetapi masih kesulitan mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama ini.

Saya ajak pembaca untuk memandang sebuah perpustakaan sebagai sebuah tempat yang menyenangkan, colourful, comfortable, fasilitas kemudahan akses informasi, dan birokrasi yang tidak berbelit-belit. Setiap anggota masyarakat (yang beritikad baik) berhak datang berkunjung, membaca buku-buku, memperoleh informasi yang dibutuhkan, dan ikut serta dalam kegiatan yang diadakan perpustakaan itu.

Tujuan Wisata
Sebelumnya harap mengartikan tujuan wisata di sini sebagai salah satu alternatif tujuan orang ingin bepergian. Berwisata tak harus ke luar kota, memakan biaya besar dan waktu lama. Intinya: selepas berwisata, orang akan merasa lebih segar, relaks, dan berharap dapat menghadapi hari-hari (kerja) berikutnya dengan lebih semangat. Dengan demikian, muncul spirit I like Monday (maaf, ini bukan iklan!) and day after day.

Nah, perpustakaan dapat menjadi salah satu tujuan wisata tersebut. Buatlah paket-paket menarik, kalau perlu outbond, di seputar perpustakaan tersebut. Tentu saja jika areal perpustakaan memungkinkan. Bagi perpustakaan kecil, kegiatan bisa dilakukan dengan membatasi peserta, macam kegiatan tidak memerlukan lahan luas, yang penting menarik pengunjung.

Di tengah kegiatan, dapat diselipkan info perbukuan, temu pengarang, bazar buku, intinya agar masyarakat dapat mengenal dan berkunjung ke perpustakaan tanpa ada keterpaksaan. Jika mereka terkesan, tentu mereka tak segan datang kembali. Inilah yang saya maksudkan perpustakaan sebagai tujuan wisata dan tempat yang menyenangkan. Memang ini periu inovasi terus-menerus dan strategi bisnis yang jitu.

Penuh Warna
Pernahkah Anda mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan gambar-gambar lucu khas anak-anak, mural (lukisan dinding) yang artistik, atau di sepanjang koridor yang Anda injak adalah gambar-gambar indah sarat makna? Lalu, di sebuah temboknya bercat dasar warna terang yang sengaja disediakan untuk dilukis oleh anak-anak yang meraih prestasi dalam kegiatan yang diadakan perpustakaan. Itulah perpustakaan impian saya. Tetapi, Anda tak salah jika ingin mewujudkannya lebih dulu.

Tidak salah juga jika Anda egois dengan melukisi seluruh dinding perpustakaan yang Anda bangun, asal tetap indah dipandang mata. Tentunya tetap harus menyesuaikan lukisan atau gambar dengan tujuan perpustakaan, agar pengunjung terkesan untuk kembali lagi. Tidak bijaksana jika melukisi dinding dengan aliran surealisme yang kadang menakutkan dan absurd, sedangkan di situ ada rak bacaan anak-anak. Bisa jadi anak-anak yang berkunjung akan bingung mengartikan makna gambar, bahkan trauma untuk datang lagi!

Nyaman
Tidak harus menyediakan sofa empuk dan karpet tebal, atau ruangan ber-AC dingin untuk membuat pengunjung nyaman. Arti kenyamanan di sini adalah pengunjung memperoleh kesan ingin tahu lebih banyak, ingin tinggal berlama-lama di perpustakaan, sejak melangkahkan kaki melalui pintu masuk.

Pelayanan yang ramah, buku-buku yang ditata rapi, suasana yang tidak kaku karena masih memungkinkan pengunjung terutama anak-anak untuk berbicara bebas, dan tertawa. Memang ada sebagian orang bertipe audio, untuk mengerti sebuah bacaan dia harus mendengar suaranya sendiri atau orang lain sedang membaca artikel tersebut. Namun, ada juga yang tidak bisa terganggu suara di sekitarnya saat membaca.

Umumnya, yang berlaku di perpustakaan adalah semua diperlakukan sama rata, tidak boleh bersuara keras. Bahkan untuk bicara pun harus bisik-bisik seolah takut terdengar orang lain. Mungkin diperlukan ruangan kedap suara yang mengisolasi salah satu kelompok.

Akses Informasi
Era digital memungkinkan masyarakat memperoleh informasi luas, bebas, dan cepat. Hal ini pula yang harus diikuti sebuah perpustakaan, mulai dari komputerisasi katalog, fasilitas internet, dan pemutaran film-film bermutu dengan suara yang hanya dapat didengar melalui headphone, seperti halnya di pusat-pusat kebudayaan mancanegara yang umumnya berada di kota besar. Tentu saja hal tersebut diberlakukan sesuai tingkat kemampuan perpustakaan. Bagi perpustakaan kecil apalagi yang dikelola swadaya mungkin agak kesulitan untuk menembus tahap ini. Kecuali pengelola bersedia bersusah payah sedikit untuk mencari informasi dari mailing list di internet, segala pengetahuan yang berhubungan dengan kegiatan perbukuan, kemudian menempelkan print out-nya di papan informasi, atau menyebarkannya pada pengunjung.

Birokrasi yang Mulus
Gambaran yang nyaris sama dapat kita temui di sebagian perpustakaan daerah. Kegiatan monoton, birokrasi kaku dan senyum terpaksa petugas di dalamnya menjadi pemandangan biasa. (Bersyukurlah jika para petugas itu tersenyum, karena biasanya mereka pasang tampang kaku dan lelah!) Entah berapa banyak aturan yang menjadi pembatas ruang gerak perpustakaan itu sendiri. Setiap langkah institusi itu harus mendapat persetujuan atasan, dan tetap berada di koridor petunjuk pelaksanaan, karena jika tidak, dana tidak akan cair. Tanpa dana, suatu kegiatan perbukuan akan sulit dijalankan.

Tetapi, andaikan para petinggi perbukuan (baca: perpustakaan) pemerintah itu mau sedikit "berontak" terhadap birokrasi yang berbelit-belit, kemungkinan besar efeknya akan terasa lain. Pengunjung perpustakaan akan merasa lebih nyaman dan petugas perpustakaannya sendiri akan menghadapi suasana baru yang lebih segar dan tidak membosankan.

Apalagi jika kegiatan perbukuan yang diadakan lebih inovatif, lebih proaktif terhadap masyarakat pembaca, bekerja sama dengan berbagai pihak yang peduli terhadap perbukuan. Tak salah pula jika perpustakaan pemerintah menjalin kemitraan dengan pihak swasta (penerbit), hingga terselenggara kegiatan perbukuan yang menarik minat masyarakat banyak.

Masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk dunia perbukuan terutama perpustakaan. Yang jelas, kita harus berangkat dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang ada di sekitar perpustakaan, disertai semangat dan optimismeyang menyala. Dunia perpustakaan harus membuktikan bahwa minat baca masyarakat masih besar, dengan membuktikan animo pengunjung ke perpustakaan. Banyak jalan menuju Roma, segudang cara meraup minat baca.

Tias Tatanka, pengelola Pustakaloka Rumah Dunia
Majalah Mata Baca Vol.2/ No. 4/ Desember 2003