Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Frankfurt Book Fair: Ketika Musim "Belanja" Tiba

Frankfurt suatu pagi. Matahari Eropa acapkali enggan menampakkan dirinya. Tetapi, orang-orang sudah berdesak di kereta s-bahn atau u-bahn. Di stasiun Messe, penumpang banyak yang turun, lalu bergerak ke satu tujuan yang sama: bookfair. Inilah ajang pertemuan (meeting point) terbesar dunia, di mana para insan perbukuan (pengarang, penerbit, agensi, toko buku, distributor, dll.) bisa melakukan transaksi atau sekadar bertemu untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk jualan meski "resminya" dilarang melakukan transaksi jual-beli, tapi siapa bisa memonitor segala aktivitas di tiap sudut, stan atau hall yang luas itu? Melanggar "rambu" toh bisa saja terjadi di negara-negara berperadaban hi-tek.

Jerman tampaknya menjadi negara paling siap dengan ajang bookfair akbar seperti ini. Bahwa buku punya image bagus di Jerman, rupanya langsung ditanggapi dengan sigap oleh kalangan bisnis. Inilah realitanya, "membaca buku" termasuk 8 aktivitas popular paling menyenangkan bagi masyarakat negeri ini setelah mendengarkan musik, nonton televisi, membaca koran harian, ke restoran bagus, bergaul dengan teman, mengendarai mobil, makan sate (barbeque). Dan siapa sangka bagi masyarakat Jerman kegiatan membaca buku ternyata lebih menarik dibanding kegiatan menyenangkan lain, seperti berkebun, olahraga, nonton film, menjelajah internet, dan membaca majalah. Belum lagi kenyataan bahwa industri buku Jerman tergolong terbesar dalam perekonomian Eropa. Saban tahun setidaknya 80 ribu judul baru (sekitar 500 juta eksemplar) diterbitkan. Harap juga jangan diiupakan peran penemuan mesin cetak tipe Gutenberg di tahun 1450.

Saya masih termangu-mangu di stan saya di E 927. "Bisnis" macam apa bisa saya lakukan pada acara besar ini? Saya dengan 31 penerbit lain dari berbagai negara asai Asia, Amerika Latin dan Afrika Selatan, yang disatukan di Hal 6.1 itu rata-rata adalah penerbit "kecil" yang relatif miskin, yang memang khusus diundang Panitia, sebagai tamu "kehormatan". Barangkali, ya, apakah kami mesti ikuti saran Thomas Minkus, Direktur Marketing Frankfurt Book Fair ini: untuk berjualan copyrights? Membeli sih soal mudah, semua yang punya uang bisa membeli rights di sini. Tapi, menjual rights, itulah soalnya! Namun, darimana mulainya jika kami semua punya soal yang hampir sama: tak punya koneksi atau kenalan, tak punya uang, tak punya janji bertemu dengan seseorang, dan...tak mampu berbahasa Jerman! Kompletlah. Yang kami punya "hanya" buku. Bagi penerbit kecil dari negara-negara berbahasa populer seperti Inggris, Prancis, bahkan Arab sekalipun, berjualan copyrights bukan soal yang mudah. Ah, apalagi bagi orang Indonesia. Setidaknya, kita harus bergumul dulu dengan persoalan penerjemahan.

Tiba-tiba saya jadi ingat pengarang Danarto. Dia yang tiba-tiba suka menlfis surat pos atau tiba-tiba mengirim sms kepada saya itu, suatu hari, (lagi-lagi tiba-tiba saja) mengirim ini ke HP saya: "Siapa sastrawan yang sudah diterjemahkan bukunya dalam bahasa Ingris? Pramoedya, Rendra, Mochtar Lubis, Mangunwijaya, Danarto, Ramadhan, Ahmad Tohari, Dorothea, Joko Pinurbo.... Siapa lagi?" tanyanya. Ya, saya lalu menyebutkan tambahannya beberapa lagi. Tapi rupanya tak terlalu banyak. Angka 20 saja tak bisa dilampaui. Lalu setelah upaya penerjemahan itu usai, siapa penerbit Indonesia mau "bersusah-susah" menjual rights karya pengarang Indonesia? Toh jika dihitung-hitung lagi, hasil penjualan itu uangnya tak seberapa besar. Pengarang pun tak akan dapat royalti besar kecuali ia bisa menjadi J.K. Rowling atau Madonna.

Inilah juga soal yang sempat dipertanyakan oleh seseorang saat kami, para penerbit kecil itu, mengikuti suatu seminar di gedung Goethe Institute, menjelang pembukaan Book Fair, "Mengapa pengarang hanya menerima 10% royalti, sementara komponen lain daiam industri penerbitan bahkan bisa menerima persentase jauh lebih besar?" Harap tidak dilupakan, begitu jawaban Christoph Links, penerbit dari Berlin, ketika sebuah buku diterbitkan, selain menerima materi berupa royalti, ia juga menerima hal-hal lain yang non-materi: buku dibaca lebih banyak orang, tersebar lebih luas, dan nama yang harum dan entah lainnya lagi nanti.... Dan orang yang memiliki sebuah buku sebagai karya sesungguhnya jauh melampaui batas kekayaan beratus persen royalti. Terus lagi, mana sih penerbit Indonesia yang jadi kaya karena menerbitkan buku lokal, kecuali menyabet proyek inpres, atau sudah menjadi gurita besar....

Kita hidup untuk mengabdi pada roh atau daging? Kalimat ini menelusup begitu saja saat saya mengetik tulisan ini. Ah, Frankfurt bagaimanapun adalah ajang bisnis. Penerbit atau pengarang paling dicari di Frankfurt adalah yang mampu menghasilkan sebanyak-banyaknya keuntungan bagi lainnya. Namun, hidup juga pilihan. Juga angan-angan. Juga takdir. Siapa menolak mendapat uang atau malah berkah?

Frankfurt di bulan Oktober adalah pesta. Maka, lihat saja spanduk-spanduk atau poster-poster di jalanan. Seluruh negeri ini seakan sepakat merayakan pesta buku bersama saban tahun di bulan Oktober. Mulai dari penduduknya, para pejabat, sampai kendaraan umum pun, baik trem, kereta, bus, atau taksi, semuanya begitu ramah menyambut tamu-tamu dari berbagai negara yang datang untuk bookfair. Buku, benar-benar mendapat tempat khusus. Di sana ia dipestakan dengan meriah.

Di tengah kemeriahan acara besar seperti jumpa dan dansa bersama pengarang Nobel Gunter Grass, atau peluncuran spektakuler buku Muhammad Ali yang disesaki oleh banyak pengunjung, toh panitia juga memberi perhatian pada hal-hal "kecil", yang sepertinya bakal luput dari perhatian. Misalnya, yang diselenggarakan suatu hari di International Centre, sebuah forum diskusi yang menyoal tentang penerbitan buku puisi, Saya bersama dengan Toni Ward, penerbit dari Inggris; Katya Lembessi, penerbit Yunani; dan Ernst Folch, penerbit dari Catalonia, membicarakan betapa bisnis ini tak pernah mampu mendatangkan keuntungan materi. Menerbitkan buku puisi, di negara mana pun ternyata tetaplah hal yang sulit. Ini adalah "bisnis" eksklusif. Namun, toh sejak awal kami para penerbit buku puisi, jenis yang tak "populer" ini sudah paham, kami tak sedang berbisnis. Ini adalah semacam hubungan cinta, sebagaimana akhir kata yang kami dapat pada diskusi ini, love affairs of publishing poetry and gaining fame but no money!

Hari itu saya merasa sudah terlalu suntuk dengan buku. Untung saja suatu saat ada seorang kawan baik mengajak saya sedikit jalan-jalan keluar kota. Fuih. Inilah yang saya tunggu, saya bisa melarikan diri sejenak dan sedikit bisa bernapas lapang. Menyusuri jalanan yang lengang, sekitar 40 km keluar dari Frankfurt, udara yang bersih dan segar, jalanan yang lempang, tak macet sama sekali, mobil kami meluncur mengitari sebuah bukit. Di puncaknya, kami berhenti. Inilah tempat tujuan kami: hotel dan restoran Multatuli. Tepatnya terletak di Mainzer Strabe 255, Ingelheim. 

Di sana saya baru tahu kehidupan Eduard Douwes Dekker ternyata lekat dengan arti "multatuli", dari bahasa Latin yang secara bebas bisa diartikan sebagai "hidup penuh derita". Dilahirkan di Amsterdam, Dekker menghabiskan masa remajanya di Indonesia, di mana ia banyak melihat keadaan yang tidak humanis, yang menggerakkannya untuk mulai menulis di kolom-kolom. Lalu ia pergi ke Brussel dan menulis novel autobiografinya, Max Havelaar di tahun 1859. Novel yang mengkritik koloni Belanda yang hanya mengeksploitasi orang-orang Indonesia itu dengan cepat membawanya pada kemasyhuran. Dekker dikenal sebagai pengarang progresif, dan menjadi pengarang terpenting Belanda abad ke-19. Lalu ia hidup berpindah-pindah di Belanda, Belgia dan Jerman.

Tak banyak yang tahu, Dekker hidup dengan melarat. Sampai suatu ketika, ada seorang teman memberinya rumah di Ingelheim ini, sebuah rumah sederhana, yang kelak bernama Haus zu Lebzeiten Multatulis, Di rumah itulah Multatuli menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya. Ia tak banyak bergaul dengan penduduk setempat. Jiwa Multatuli labil. Hidupnya sangat menderita. Ia tak mampu mengarang lagi karena jiwanya sakit, depresi. Belum lagi asma menggerogoti pernapasannya. Multatuli terus mencari kesunyian untuk jiwa dan tubuhnya yang letih. Pada 19 Februari 1887 ia meninggal di rumah itu. Istrinya yang berurnur20 tahun lebih muda, dan seorang anak angkatnya, kemudian pulang ke Belanda. Sempat menjadi rumah bordil, sebelum akhirnya tempat tinggal terakhir Multatuli ini direnovasi dan menjadi sebuah hotel dan restoran.

Kemasyhuran dan berkah bisa dialami pengarang mana pun. Dan kegiatan bisnis selalu berputar di wilayah itu. Pebisnis ulung akan cepat mencium gelagat mana ikon, mana komoditas yang bisa diubah jadi sesuatu bernilai ekonomi tinggi. Ah, namun kehidupan tak selalu berjalan dengan gerak pasti. Sejarah dan waktu berlintasan dalam geritnya. Akhirya, aku pulang setelah waktuku penuh dengan jarak dan mimpi.

Dorothea Rosa Herliany. Direktur Penerbit IndonesiaTera, peserta tamu Frankfurt Book Fair 2003
Majalah Mata Baca, Vol. 2/No. 4/Desember 2003