Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penulis Produktif Dari Masa ke Masa

- "Bang, aku ini raksasa yang sedang tidur. Percayalah Bang, nanti aku kalahkan Gabriel Garcia Marquez dan Jose Saramago. Lihatlah, Bang."
+ ... (diam)
- "Bang, aku ini raksasa tidur. Aku yakin Bang."
+ "Ya aku yakin juga. Tapi kau harus banyak membaca."
- "Ah, tak pentinglah. Yang penting aku sudah baca Dostroyewski dan Albert Camus."
+ "Kalau gitu jangan terlalu lama kau tidur. Kami sudah 60. Jangan lama-lama tidurnya, nanti kami tak menyaksikan raksasa bangun."
(Kafe, esai Sutardji Calzoum Bachri, Hijau Kelon dan Puisi 2002, Kompas, 2002)

Sepenggal dialog cerpenis Hudan Hidayat dan penyair Sutardji Calzoum Bachri di atas menyiratkan di mana dan kapan pun orang yang sudah memilih jalan hidup sebagai penulis, pada kenyataannya tak beda dengan profesi lainnya, yaitu dihadapkan pada sebuah tantangan bernama produktivitas.

Ya, menulis dan membaca. Itulah dua kata yang harus dipegang oleh seorang penulis walau hambatan writer's block tengah menghadang. Jika ditilik dari sejarahnya, hanya sedikit penulis yang mampu menghasilkan karya besar tanpa diimbangi dengan karya-karyanya yang lain. Sebutlah Mary Shelley dengan Frankenstein dan Dracula karya Bram Stoker. Mary Shelley dan Bram Stoker barangkali bisa disebut sebagai pengecualian. Seperti kita ketahui bersama, kendati kedua penulis itu hanya menghasilkan masing-masing satu karya, tetapi Frankenstein dan Dracula sudah diterjemahkan lebih dari 100 bahasa di seluruh dunia. Belum versi film dan bentuk adaptasi lainnya yang sudah tak terhitung.

Shelley dan Stoker dan sejumlah nama lain memang bisa disebut sebagai pengecualian. Akan tetapi, siapa tahu diam-diam mereka juga menghasilkan banyak karya dengan nama lain, sedangkan sejarah tidak atau belum mengetahuinya?

Pertanyaan mengusik, apakah berkarya cukup sekali sudah itu mati bak perkataan pujangga Chairil Anwar atau mengutip pernyataan "Si Burung Merak" Rendra "hadir dan mengalir?" Tulisan di bawah ini hanya sekadar napak tilas penulis-penulis produktif. Namun, tak ada salahnya juga sejenak kita membuka rak dan laci buku agar paling tidak dapat dibuktikan bersama-sama mana dari "adagium" kedua pujangga tadi yang tepat.

Sejarah mencatat Spaniar Lope de Vega (1562-1635) sepanjang hidupnya telah menghasilkan 2.200 karya dengan jumlah sebanyak 500 yang sudah dipublikasikan, Alexandre Dumas menghasilkan kurang lebih 1.500 judul. Novelis Afrika Selatan, Kethlen Lindsay (1903-1973) menulis sebanyak 904 novel di samping ia sendiri menggunakan kurang lebih enam nama samaran. Pada masa kini, bisa disebut Sherman Alexie, penulis peranakan Indian Amerika yang banyak menghasilkan karya dari puisi sampai esai dan kumpulan cerpen. Begitu produktifnya Alexie hingga ia mendapat predikat penulis muda terbaik versi majalah The New Yorker.

Charles Hamilton alias Frank Richards (1875-1961) semasa hidupnya begitu produktif sampai-sampai sastrawan George Orwell menyebut dirinya "pabrik tulisan". "Padahal saya berkarya dengan perasaan malu-malu," ungkap Hamilton mengomentari pendapat Orwell.

Selama 30 tahun kariernya di bidang penulisan, Hamilton menghasilkan 1,5 juta karya dengan banyak nama samaran. Sesekali ia menggunakan nama Frank Richards, Martin Clifford, Clive Clifford, Ralph Redway, Owen Conquest, dan Hilda Richards, itu pun belum termasuk 19 nama pena lainnya!

Agak mirip dengan Hamilton, di Indonesia pernah mencuat cerpenis dan novelis Ray Rizal (1955-1997). Penulis yang juga menulis biografi pelukis Affandi, Hari Sudah Tinggi, ini sampai punya empat nama pena, yaitu Zetra, Ray Fernandez, Chandra Humana, dan Ray Rizal sendiri yang ia pakai sampai akhir hayatnya. Penulis bernama asli Djufrizal bin Zulkifli ini bahkan menjelang kematiannya masih meninggalkan "utang" sejumlah delapan buku yang terdiri dari dua biografi, kumpulan cerpen, dan beberapa novel yang belum terselesaikan. Semasa hidupnya, ia menulis ratusan cerpen jika dihitung dengan yang belum diterbitkan. Oleh Radhar Panca Dahana, karya-karyanya dibilang memiliki kekuatan pyro teknik yang membawa prosasis macam Albert Camus, Arun Joshi, dan Wang Meng setelah membaca dua novelnya, Tanah Perbatasan dan Lonceng Kematian.

Produktivitas tak hanya mengacu pada banyaknya karya yang dihasilkan semasa hidup. Beberapa penulis menyembunyikan karyanya atau terlambat dikenal publik seperti Franz Kafka. Kafka, penulis kelahiran Cekoslovakia, relatif tak dikenal semasa hidupnya. Ia hanya menerbitkan beberapa karya dan banyak di antaranya hanya muncul di jurnal-jurnal sastra kecil. Ironisnya, penulis yang terkenal dengan karya masterpiece-nya Metamorfosa berhasil mengilhami banyak penulis kelas dunia, mulai dari Gabriel Garcia Marguez, Jorge Louis Borges, sampai Budi Darma, ini diam-diam menyimpan banyak naskah yang sayangnya sebagian besar sudah dihancurkan oleh penulisnya sendiri.

Karya "Sampah" dan Belum Selesai
George Simenon, sastrawan yang menurut kritikus Andre Gide adalah novelis terbaik dalam sejarah kesastraan Prancis. Semasa hidupnya, ia menulis hampir sebanyak 400 novel. Oleh Gide ia sampai disebut literature with a capital L Karya debutnya, sebuah novel populer berjudul Au Font des Arches malah ditulisnya dengan nama samaran George Sim. Karya-karyanya di luar novel kurang lebih ada 15 autobiografi dan memoar. Lucunya, di luar puja-puji Gide, Simenon sendiri menyebut karyanya tak tebih hanya rubbish alias sampah. Ia menyebutnya begitu karena sebagian besar karyanya semata hanyalah interpretasi dari masa hidupnya sendiri menjalin cinta dengan ribuan wanita yang kebanyakan adalah pelacur.

Kalau George Simenon menyebut karyanya sekadar "sampah", Dorothy Richardson (1873-1957) malah tak pernah menyelesaikan Pilgrimage sampai 13 jilid novelnya ditemukan setelah ia meninggal. Semasa hidupnya, ia menghasiikan novel Pilgrimage yang ditulis pada kurun waktu 1915-1938. Ketika ditemukan karya yang tidak selesai itu, menurut kritikus Frank Swinnerton, karya-karyanya adalah penggabungan dua teknik penulis besar seperti James Joyce dalam Ullysses dan Virginia Woolf.

Sejarah, Tradisi sampai Pergerakan
Sekilas telah dipaparkan perjalanan penulis produktif dari khazanah kesastraan dunia di mana di luar negeri begitu berkembang tradisi literernya. Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah di negeri yang terbilang begitu minimnya minat baca apalagi menulis kita tak punya sejarah mengagumkan? Jangan kecil hati dulu.

Sesungguhnya Indonesia sendiri menyimpan bibit-bibit penulis produktif yang jika ditilik dari sejarah sudah dimulai dari zaman pujangga Ranggawarsita (1802-1873). Kakek dan ayah Ranggawarsita yang sangat berpengaruh pada masa kerajaan Jawa sudah dikenal sebagai penulis produktif bahkan sebelum Ranggawarsita sendiri yang sudah dikategorikan "Mpu". Kitab Raja-Raja yang ditulis Ranggawarsita adalah buah karya terpanjang dunia sebanyak enam juta kata yang ditulisnya sebagai perjalanan sejarah nasional.

Sumbangsihnya tak hanya sekadar mencatat perjalanan sejarah di masa itu, tetapi sekaligus refleksi dari perhatiannya pada identitas Indonesia (terutama tradisi kultur Jawa) yang semakin hari kian terkikis akibat kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Kitab panjang tersebut sungguh revolusioner dalam khazanah kesastraan klasik Indonesia mulai dari prosa sampai puisi epik.

Pada masa pergerakan, ada Marco Kartodikromo (1890-1935), seorang jurnalis cum aktivis revolusioner. Sebagian besar karya Marco lahir di dalam penjara seperti Matahariah, novel Student Hidjo, dan syair Sama Rata Sama Rasa. Yang menarik, Marco dikenal sebagai salah satu pencuat aliran realisme sosialis bersama-sama Pramoedya Ananta Toer. Marco Kartodikromo juga pernah menerbitkan novel Mata Gelap yang isinya malah berbau pornografi hingga memicu reaksi keras dari masyarakat. Pada masa hidupnya, Marco ditahan pemerintah kolonial dan dibuang ke Boven Digoel sampai akhir hayatnya.

Perjalanan napak tilas sejarah produktivitas penulis memang mengagumkan sehingga sesungguhnya apa pun yang terjadi, mengutip sebuah slogan kampanye minat baca di Australia, life's better with books. Ya, siapa pun yang suka membaca apalagi menulis pasti mendukung pernyataan itu, baik yang sudah meraih kehidupan sejahtera maupun mereka yang hanya memiliki kekayaan pengetahuan dan kesejahteraan rohani.

Jadi. tunggu apalagi? Membaca dan berkaryalah!

Donny Anggoro, redaktur cybersastra.net dan editor sebuah penerbit di Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2 No. 4 Desember 2003