Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku yang Menggetarkan: Mencari Makna Lain "Magnum Opus"

Sejumlah karya manusia di dunia ini memang selalu ada yang mampu memberi pengaruh lebih dari sekadar yang pernah diperkirakan, bukan semata-mata mengalami keberuntungan, melainkan disiapkan matang-matang. Karya sastra, seni rupa, desain, musik, sinema, fotografi, teknologi, kebijakan diplomasi, dan pasti juga buku. Demikian banyak yang terpengaruh, sehingga dalam satu kurun masa atau zaman, setiap yang terkena dampaknya akan terus mampu merasakan getar pengaruhnya sampai jauh ke dalam, merasuk hingga masa tua dan memberi campuran baik pada kepribadian maupun pikiran. Maka jangan heran jika sebuah hasil karya manusia puluhan tahun silam ternyata masih bisa memancarkan energi dan memberi pengaruh hingga masa kini, bahkan ketika sang penciptanya sendiri sudah hancur ditelan bumi. Harimau mati meninggalkan belang, karya abadi tak bisa usang. Keberadaan karya itu terus diperbincangkan, relevansi karya tersebut masih ditimbang-timbang, kontekstualitasnya tak dapat dilepaskan. Semakin banyak orang menyaksikan, membaca, mencerap, memahami, mengikuti sebuah karya, akan makin banyak pula yang kemungkinan terpengaruh. Seolah-olah karya itu memberi roh yang terus memanifes ke dalam masa dan manusia sesudahnya.

Betulkah senantiasa ada sebuah karya manusia yang bisa begitu hebat memiliki pengaruh? Bagaimana karya itu bisa demikian berpengaruh? Bagaimana mutu karya itu jika dibandingkan ciptaan sejenis? Tanpa perlu jawaban dengan kriteria sangat ilmiah, faktor paling utama penyebabnya, antara lain adanya unsur kebaruan, relevansi, kecanggihan, kontekstualitas, dan keabadian pada karya tersebut. Unsur itu bisa berkelindan satu sama lain sehingga sebenarnya bisa saja hanya salah satu yang paling menonjol. Maksudnya, orang bisa memiliki dan mengajukan banyak kriteria berbeda-beda kenapa suatu karya dimasukkan dalam kategori "magnum opus"', tapi satu hal pasti bahwa karya itu memiliki makna sangat dalam bagi setiap orang yang pernah menikmati dan menilainya. Kriteria bisa jadi nisbi, tapi makna dan nilai adalah hal berbeda. Itu bergantung pada batin, pengalaman, pilihan. Bisa jadi sebuah karya yang diagung-agungkan pada suatu masa, dipuja-puji kritik, diserap dan dibaca sangat banyak orang, pada akhirnya usang, teronggok seolah sebagai sampah, paling banter dikenang dan dirawat keagungannya di sebuah museum, untuk dibangkit-bangkitkan lagi jejak langkahnya yang pernah penuh arti. Atau karya besar itu ternyata hanya berpengaruh di kalangan tertentu di suatu massa, sehingga turunan pengaruhnya pun terbatas kalangannya. Maka sangat wajar bila ada sebuah karya besar yang memang ternyata tak mampu menyentuh batin seseorang, gagal memberi makna pada salah satu pembacanya, atau —sungguh malang— pembaca tak punya kesempatan menikmati karya besar itu. Jadi, syarat mutlak karya besar adalah karya itu harus pernah dibaca oleh seseorang. Kita tahu ada sejumlah karya besar yang merana karena tak pernah diterbitkan atau dibaca orang lain karena masih tersimpan rapi di kamar penciptanya. Kemudian tanpa sengaja baru ditemukan seseorang beberapa lama setelah kematian pengarangnya. Yang paling parah, ternyata kadang-kadang terjadi suatu karya besar pernah berusaha dihancurkan oleh penciptanya sendiri karena dia merasa karya tersebut gagal. Jika fakta tentang karya besar ternyata bisa sangat beragam, terbukti betul yang dinamakan "magnum opus" itu sangatlah relatif.

Orang bisa mengabaikan atau melupakan sebuah pencapaian, karya, dan sebagainya, sebagaimana sebuah karya bisa saja diagung-agungkan sejumlah pujian, ulasan; kritik, pembaptisan, politik media massa, padahal karya tersebut tidak lain hanya sebuah kebohongan yang direncanakan secara sistematik. Dalam konteks ini, rasanya bagus mengingat pemeo Arab bahwa mendapatkan ridha (kerelaan, penerimaan) seluruh orang itu tampak mustahil. Harus ada kesadaran bahwa sebuah karya tak mungkin dibaca setiap orang. Dengan demikian, soal karya berpengaruh, karya besar, yang konon bisa mengubah dunia, memberi wawasan baru, merupakan titik puncak pencapaian tertentu, bisa dibicarakan dari banyak sudut. Yang paling sederhana, pertanyaan siapakah yang terpengaruh dan terubah oleh karya itu? Massa, semangat zaman, gerakan. atau justru menyentuh batin personal seseorang?

Ada ilustrasi sederhana untuk ini. Di sejumlah ranah, misalnya ekonomi, filsafat, kritik sosial, Das Kapital karya Karl Marx tak bisa dipungkiri mampu menggetarkan seluruh sendi ajaran, pemikiran dan wawasan ranah itu. Nyaris dapat dipastikan semua penulis, pemikir, buku, dan ajaran ranah itu akan merujuk buku tersebut sebagai kanon—nyaris setara dengan kitab suci yang tak habis-habisnya dikutip untuk sejumlah keperluan, dicari-cari terus penafsiran baru dan pengembangan pendapat terdahulu. Tapi apakah buku yang sama memiliki daya dobrak serupa pada ranah agama dan sastra, misalnya? Pasti tidak. Baru mulai pada tahun-tahun belakangan saja Das Kapital seakan-akan memiliki pengaruh signifikan pada ranah kajian agama dan sastra. Kenapa bisa begitu? Karena orang membaca ulang karya itu dengan semangat dan pendekatan baru pula.

Terlebih-lebih misalnya pada ranah semiotika, cultural studies, atau wacana post-kolonial, meskipun selalu bisa dihubung-hubungkan, sebenarnya hubungan itu sudah tampak sebagai pemaksaan, rekayasa, diada-adakan. Kenapa? Karena Das Kapital lahir dari sejarah, masyarakat, dan masa tertentu yang belum tentu relevan dan cocok dengan ranah lain, Ada buku yang lebih besar pengaruhnya pada ranah cultural studies dibandingkan Das Kapital, yakni buku dan penulis yang sangat dini mengenalkan makna dan istilah tersebut.

Jika ditujukan secara personal misalnya, apakah Das Kapital memiliki pengaruh pada diri saya? Tentu akan saya jawab tidak. Kenapa? Karena saya belum pernah membaca buku tersebut. Saya tak mengenal dan memahaminya dengan baik. Sebab saya hanya tahu "konon katanya" lewat sejumlah ulasan orang lain di buku lain yang membahas itu. Saya bahkan belum pernah melihat edisi lengkap buku itu. Apakah saya menyesal untuk itu? Bisa jadi tidak terlalu. Saya memiliki cukup banyak buku lain yang mampu membuat batin saya gemetar, mengguncangkan keyakinan, namun pada saat yang sama menguatkan iman, mengetatkan pegangan pada sesuatu yang secara bawah sadar saya ikuti, dianggap sebagai kebenaran. Bukan menafikan pengaruh buku tersebut bagi peradaban dan pergulatan intelektual manusia. melainkan saya tak yakin dengan pengaruhnya bagi orang per orang.

Saya memang lebih bisa merasakan pencerapan hasil membaca untuk "diri" (personal) daripada "dunia" yang rasanya harus selalu berhubungan dengan massa (orang banyak). Saya yakin buku yang sangat mengesankan seseorang pasti akan memberi dampak positif bagi perilaku dan jiwanya. Membaca, menurut Hernowo—penulis Mengikat Makna— adalah upaya mencari makna, mengeksplorasi seluk-beluk hal sukar kehidupan agar mampu dicerap dan dibiasakan dalam diri seseorang. Dengan demikian, membaca bisa dibandingkan dengan sikap, wawasan, pengetahuan, atau kekayaan pengetahuan seseorang yang makin baik, sebab buku yang baik adalah gizi bagi batin, makanan bagi jiwa. Jika seseorang berkata dirinya membaca dengan benar, dampaknya harus betul-betul berpengaruh dan tampak dalam dirinya. Sebab, membaca merangsang banyak syaraf dan kepekaan hidup seseorang. Salah satu hasilnya adalah dunia penciptaan (kreativitas) yang wujudnya macam-macam, bisa tulis-menulis, seni, perilaku, metode, sikap, dan seterusnya. Artinya, ada sesuatu yang hidup di dalam diri setelah membaca dan hal itu harus mewujud pada perbuatan.

Barangkali ini sedikit mengejutkan, kenapa orang harus terbiasa dengan hal rumit dan kompleks? Bisa jadi karena kehidupan itu pada dasarnya penuh kejutan dan tak sesederhana yang kita sangka. Tuhan, kematian, perang, moral, filsafat, nyawa, agama, dan segala hal dalam hidup ini meski selalu bisa diabstraksi dengan sesuatu yang sederhana tetap merupakan misteri dan ketakjuban nyaris hampir bagi semua orang. Buku, bacaan, keterangan, memberi pengetahuan dan pemahaman tentang itu sedikit demi sedikit sesuai kapasitas seseorang. Membaca adalah menjelajahi pikiran, kemungkinan, bermain-main nalar, sementara menulis berusaha menyampaikan keinginan, ungkapan, cita-cita, idealitas, pengetahuan dengan bahasa persuasif, agar pembaca tergerak dan ikut merasakan.

Jika teringat pada sejumlah buku yang mampu memberi pengaruh kuat pada diri saya, rasanya saya bisa memahami pernyataan itu dengan cukup baik. Pengaruhnya masih terasa hingga kini. Getarannya masih kuat ada di dalam jiwa. Buku-buku itu memenuhi rasa haus akan pengetahuan, kecemasan, rasa ingin tahu, bahkan menjawab pertanyaan rumit tentang kehidupan dan fenomena peristiwa. Memang buku itu tak selalu langsung dapat dipahami meski sudah habis dibaca dalam sehari, tetapi mengherankan ternyata keinginan memahami itu tak surut oleh keragu-raguan menghadapi hal yang belum jelas demi mencerap makna. Bahkan setelah beberapa saat berselang, buku atau tulisan itu dibaca ulang, teranglah segala kegelapan itu. Makna itu seakan-akan berhamburan di depan diri saya, siap dipetik sari-sari isinya. Dengan begitu, ingatan dan artinya kembali disegarkan. Bisa jadi pengetahuan yang tertimbun dan tak terpahami dalam akal kita itu sebenarnya tak benar-benar hilang tiada arti, tetapi mencari kesempatan untuk muncul kembali atau menunggu pupuk dari pengetahuan lain sehingga mereka berkembang, tumbuh, menanti jadi matang dan waktu untuk dipanen.

Jikalah mau, tentu butuh cukup banyak energi untuk menceritakan ulang bagaimana buku-buku itu sampai bisa "menghabisi" pendirian yang saya pegang, namun pada saat bersamaan mendewasakan gagasan, melebarkan wawasan, memberi perspektif baru, keterangan lebih jernih terhadap sesuatu. Namun, ada yang lebih penting daripada sekadar menceritakan ulang, ialah ada sesuatu yang hidup dari bacaan itu. Bahwa bacaan itu kemudian menjadi teman dialog, tempat alternatif mencari jawaban, mencari keteguhan di antara keraguan. Bila ingin sendirian mengelana ke dalam belantara petualangan yang tak terperi, bacalah buku. Di sana akan kita temukan kawan baru, yang mencoba memberi pemahaman terhadap diri kita meski tak selalu menyenangkan. Buku memberi kita gizi yang berbeda, yakni kedalaman, pengamatan. Dengan itu, kita menimbang kualitas diri dan berusaha tak kenal nyerah mewujudkan idealitas.

Jadi, pernyataan terhadap pengalaman membaca dan menimbang pengaruhnya pada diri pembaca adalah kenapa buku-buku tersebut sampai bisa mempengaruhi seseorang, sedangkan buku lain yang juga dibaca tidak? Saya teringat orasi Mohamad Sobary, kolumnis produktif, pada pembukaan Pesta Buku Jakarta 2003 Juni lalu, "Buku, Kepribadian, dan Perubahan Sosial". Kalau masih jernih dalam ingatan, dia bilang ada buku relevan dan buku kontekstual. Jika tepat tafsir, buku relevan adalah buku yang memberi jawaban pada persoalan-persoalan kekinian, faktual, mendesak untuk diselesaikan. Sementara yang kontekstual adalah buku menyentak, menyadarkan, mengingatkan. Tapi lebih dari dua kategori itu, dia menyarankan agar kita, pembaca, mencari buku yang subversif, mencerahkan. Dia menyarankan itu dengan argumen bahwa dalam setiap buku sebenarnya terdapat tawaran suatu pandangan dunia, wawasan, yang berujung mampu mempengaruhi pribadi seseorang. Semakin banyak pribadi yang berubah, sesungguhnya itu menuju pada perubahan sosial.
 
Karya-karya Robert T. Kiyosaki menurutnya adalah buku relevan dengan zaman kini, yang serba kapitalistik, sehingga pandangan kita tentang kaya, miskin, kerja keras, malas, uang, investasi, pendidikan harus dibongkar habis-habisan lagi. Zaman yang akuntansinya ingin terbuka, tapi di sisi lain tahu cara berusaha dan menjalankan bisnis lebih efektif dan menangguk untung lebih besar. Pendekatan Kiyosaki terhadap ekonomi real (mikro) bisa jadi lebih kena pada kebanyakan orang daripada yang dilakukan filosof ekonomi pemenang anugerah Nobel di kalangan awam. Bisa jadi, karena itulah buku dia laris, metodenya diterapkan di banyak perusahaan, dan berpengaruh pada pikiran ribuan orang. Pada saatnya nanti, gagasan Kiyosaki itu lama-lama akan usang, diganti pemikiran lain, dilupakan. Kenapa? Karena metode seperti itu sering hanya tepat untuk sementara waktu; waktu pendek yang terbatas oleh kecepatan perubahan.

Namun. sejumlah buku ternyata mampu bertahan lebih lama terhadap waktu, perubahan pemikiran dan sosial, bisa jadi itulah yang dimaksud Mohamad Sobary dengan buku kontekstual. Nonfiksi atau fiksi jka menawarkan pandangan dunia, wawasan, nilai, perubahan sosial, moral yang bisa meruntuhkan kesadaran sebelumnya, buku seperti itu harus segera dibaca dan dicerap isinya. Sebuah buku radikal, yang akan membuat idealisms manusia pembaca sebelumnya rontok, memberi pengalaman hidup dan batin, membenamkan keyakinan usang yang harus segera ditinggalkan, tetapi seketika juga mengangkat pembaca ke arah dunia baru yang lebih dewasa, berkembang, matang. Buku yang mengantarkan manusia pada pemahaman sebenarnya seluruh aspek dirinya.

Bagi saya, Kata-Kata karya Jean-Paul Sartre (Le Mots, terjemahan Jean Couteau) adalah sebuah buku yang senantiasa kontekstual karena dari sana saya terus diguncang-guncang oleh arti pembacaan, penulisan, pemaknaan, dan saling pengaruhnya. Dari buku ini saya mendapat semangat betapa menulis merupakan salah satu pilihan jalan hidup bagi sebagian orang. Saya agak yakin hanya dengan membaca dan menulis itulah saya berani menjelajahi sejumlah kemungkinan dalam hjdup, menikmati banyak karya penulis, hidup mencari nafkah dari menulis kata-kata dan wacana, menyampaikan gagasan dan ungkapan lewat bahasa tulis, termasuk meyakini sesuatu yang akhirnya menjadi sikap dan pandangan dunia. Memang betul saya mencintai banyak hal lain selain dunia tulis-menulis, tapi rasanya bisa dibuktikan bahwa itulah yang paling saya kuasai.

Bacaan yang memesona itu perlahan-lahan terus bertambah banyak, disediakan oleh banyak pihak, menyempatkan diri menghabiskan waktu untuk mencerapkan dan mengambil sari-sari pesannya. Lama-lama setelah mendiskusikannya, saya kemudian mencoba-coba bersikap sebagaimana yang diajarkan buku itu; mencoba menjadi diri sendiri.

Teringat lagi pada ucapan Mohamad Sobary, dia menyebutkan ciri buku kontekstual adalah ia menawarkan idealisme, pemikiran, perubahan nilai, menginterpretasi perkembangan, dan akhirnya merefleksikan diri sendiri. Buku dengan kriteria kompleks seperti itu tampaknya sedikit sukar ditemukan; tapi percayalah setiap orang memiliki buku favoritnya, sebuah buku yang bisa mengubah dirinya menjadi seseorang yang baru, mengantarkan ke dunia yang belum pernah dia masuki sebelumnya. Saya yakin setiap pembaca pasti memiliki "magnum opus"-nya sendiri.

Magnum opus, itulah yang saya sebut sebagai karya yang bisa membuat seseorang bergetar. Buku yang memiliki makna sangat dalam bagi keyakinan dan idealisme yang dipegang seseorang. Buku yang ketika dibaca isinya makin menyempumakan betapa nilai yang dipegang itu harus terus disempurnakan, dirawat kekayaannya, disegarkan ingatannya. Anda tak percaya? Baiklah, jika pendapat itu tak meyakinkan, saya pinjam argumen M. Quraish Shihab, seorang dai-penulis yang reputasi dan kredibilitasnya tak diragukan siapa pun, menurutnya, membaca merupakan perintah paling berharga yang pernah dan yang dapat diberikan kepada umat manusia (oleh Tuhan). Karena membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban.

Lepas dari kritik, gembar-gembor, iklan, saran orang lain, kriteria ilmiah yang sukar, sesungguhnya setiap orang mampu menyusun daftar magnum opus bagi dirinya sendiri. Buku tak popular tulisan seseorang tak terlalu terkenal bisa jadi sangat berarti bagi seorang pembaca tertentu, akibatnya buku tersebut menjadi semacam penerang dalam hidupnya. Buku yang dipandang kritik agung, dianggap merupakan pencapaian estetika dan intelektual tertentu, sangat mungkin tak memiliki makna apa-apa di hadapan seorang pembaca bila dia tak memahami isi yang dibacanya. Buku itu jadi sekadar kumpulan nas yang tak punya arti. Dengan demikian, rasanya wajar jika saya mengajak dan meyakinkan agar setiap orang memilih, menentukan. memiliki, buku yang dalam keyakinannya memberi pengaruh terhebat dalam dirinya. Karena hanya setelah dibaca seseorang bisa menentukan sedalam apa buku itu mampu memberi getaran dalam hidupnya.

Jadi, apa lagi? Mari temukan buku yang bisa mempengaruhi diri Anda sekarang juga!

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Bandung
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 4/Desember 2003