Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Serba Alternatif

 "Om, ada serbuan Kahlil Gibran! Kalau mau lihat, datang saja ke toko buku!" kata seorang kemenakan yang baru pulang dari toko buku.

"Memangnya kamu ingin beli itu buku?"

"Aku dapat tugas dari guru bahasa Indonesia. Aku bingung mau beli yang mana. Habis judulnya sama, penerbitnya beda-beda. Yang satu ukurannya kecil, yang satu sedang-sedang saja."

Percakapan singkat pada saat buku Kahlil Gibran banyak bermunculan itu membangkitkan rasa penasaran. Saya yang hampir setiap akhir pekan berusaha menyempatkan diri mengunjungi toko buku juga bertanya-tanya.

Sepulang kerja beberapa waktu kemudian, saya putuskan untuk mampir ke toko buku. Di gerai buku tampak beberapa tumpukan buku baru. Saya melihat sana-sini mencari apa yang kemenakan saya katakan, Saya mencari buku-buku Kahlil Gibran. Benar juga. Banyak sekali bukunya (Catatan 1). Judulnya pun lebih banyak daripada yang pernah diterbitkan Pustaka Jaya. Ukurannya lebih bervariasi. Rata-rata seukuran buku saku. Seolah-olah Kahlil Gibran hidup lagi dalam wujud buku. Saya pikir edisi cetak ulang dari penerbit Pustaka Jaya (Catatan 2). Ternyata tidak. Ini terbitan penerbit Yogyakarta. Ada Bentang, Mitra Pustaka. Tarawang, dan lainnya (Catatan 3).
 
Pustaka Jaya tidak mau ketinggaian. Mereka melakukan cetak ulang buku Kahlil Gibran dengan desain sampul yang lebih mencolok. Ukurannya pun dibuat lebih kecil daripada edisi sebelumnya. Mungkin agar mudah dibawa-bawa. Satu yang menarik, di sampul depan buku dicetak tulisan "diterjemahkan oleh...".

Kahlil Gibran adalah satu di antara sekian banyak penulis luar yang ikut menyemarakkan dunia perbukuan Indonesia. Euforia kebebasan membuka peluang penerbitan buku di Indonesia, termasuk di Yogya. Penerbit-penerbit baru bermunculan. Dari sekadar diskusi antar-aktivis mahasiswa yang memiliki kesamaan ide, hadirlah penerbit. Dari persahabatan, jadilah satu penerbit buku. Hampir setiap orang di Yogya bisa mendirikan penerbit buku, Mereka menyebutnya "penerbit alternatif". Ada pula yang lebih ingin disebut "penerbit independen".

Penerbit Alternatif
Alternatif, sebuah kosakata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Inggris, alternative (pilihan). Kata ini sebelumnya telah lebih dahulu mengemuka ketika para musisi muda menggunakannya untuk memberi julukan bagi jenis musik baru, "musik alternatif". Kini merambah pula pada seni teater, dengan dikenalkannya "teater alternatif".

Bercermin pada kata alternatif, para penerbit memberikan nuansa baru dalam mengusung tema-tema buku. Pemikiran, sastra, budaya; filsafat, dan tema-tema lain serba baru dan belum pernah dirambah penerbit yang lebih dulu ada. Penerbit alternatif tidak hanya menerbitkan buku cetak ulang atau penerjemahan karya asing. Penerbit alternatif membuat terobosan baru dengan berlomba-lomba menerbitkan karya tulis ilmiah, mulai skripsi, tesis, hingga disertasi.

Rasanya seolah latah seperti program acara di stasiun televisi swasta. Satu stasiun TV menyiarkan program misteri dan memiliki rating tinggi, semua stasiun TV ikut-ikutan menyiarkan program misteri. Juga program acara kriminal dan gosip selebritis yang hampir setiap jam bak tersaji di meja makan. Tetapi, kelatahan pendirian penerbitan buku itu tidak perlu dicela berlebihan. Masyarakat mesti berterima kasih pada terobosan yang dilakukan penerbit alternatif. Tanpa keberanian, niscaya masyarakat luas tak akan mengenal lebih jauh tokoh Che Guevara, misalnya.

Konsep alternatif di dunia perbukuan sebenarnya bukan barang baru. Dalam industri perbukuan lebih dikenal dengan independent publishing atau self publishing (penerbitan swakelola). Ada pula yang menyebutnya dengan istilah radical publishing. Saking alternatifnya, di Inggris ada penerbit yang mengkhususkan diri menerbitkan buku-buku untuk kaum gay dan fiksi gay. Mungkin di Yogya, Galang Press menyuguhkan alternatif yang bisa dianggap berbed. Dalam acara Midnight Live di Metro TV yang mengupas buku Jakarta Undercover tulisan Moammar Emka, Direktur Galang mengatakan bahwa ada pembaca menyebut penerbitnya dengan "penerbit kelenjar".

Di Amerika, self publishing bukan hal yang aneh (Catatan 4). Penerbitan seperti ini merupakan akar dari penerbit-penerbit besar yang ada saat ini. Banyak tokoh dibesarkan oleh penerbit alternatif, seperti Mark Twain, Zane Grey, Upton Sinclair. Carl Sandburg, Edgar Rice Burroughs, Stephen Crane, Edgar Allan Poe, Rudyard Kipling, Henry David Thoureau, Walt Whitman, Spencer Johnson, Ricard Bolles, dan Richard Nixon. Seperti juga dikatakan Alfons Taryadi, "Sekarang bukan modelnya membanggakan office, tapi yang penting layanan. Di Colorado ada sebuah penerbit yang dipimpin oleh hanya dua orang, entah suami-istri atau sahabatnya. Karyawannya hanya 4-10 orang. Direkturnya dia rangkap" (Catatan 5).
 
Saya teringat pada kisah Harry Bright dan Arthur Blogg yang saya baca dalam buku How to Publish a Book. Mereka berdua mencoba peruntungan nasib dengan menerbitkan buku sendiri (self publishing).

Harry Bright selalu ingin menulis sebuah buku tentang kehidupan di kotanya selama Perang Dunia II. Saudara laki-lakinya yang membuka usaha toko buku menganjurkan Harry untuk menulis dan menerbitkan bukunya. Harry menulis bukunya dengan tulisan tangan sementara saudara laki-lakinya mengetiknya menggunakan pengolah kata (word processor). Kemudian, mereka menghubungi enam percetakan lokal untuk meminta perincian harga produksi buku. Akhirnya, mereka memilih sebuah percetakan yang bersedia memberikan potongan harga untuk pembayaran tunai, 1/2 harga untuk pengiriman buku, dan1/2 harga untuk pekerjaan finishing.

Saudara laki-laki Harry memiliki kenalan seorang mahasiswa desain grafis yang dapat membantu pekerjaan desain dalam waktu bersamaan. Sementara desainer dan percetakan bekerja, Harry dan saudara laki-lakinya menyebarkan edaran kepada semua teman dan relasi, kepada radio dan koran lokal, perpustakaan, museum, dan organisasi yang berhubungan dengan tema buku.

Pada Oktober, bertepatan dengan peringatan 50 tahun pengeboman kotanya, buku Harry terbit. Harry diwawancarai koran dan radio lokal. Selama Natal, dia dapat menjual 1.000 kopi bukunya, dengan harga £ 6.99 per buah. Setelah membayar percetakan dan desainer serta membayar pajak penghasilan kepada Dinas Pajak, dia menikmati liburan panjang di Prancis Selatan untuk menulis buku selanjutnya.

Berseberangan dengan nasib mujur Harry Bright. Arthur Bloggs harus menanggung semua pembayaran yang telah dikeluarkan untuk menerbitkan bukunya.

Arthur Bloggs adalah seorang fotografer amatir. Dia memiliki sejumlah foto lokomotif kereta api. Seorang temannya memberikan saran kepadanya untuk membuat buku eksklusif berisikan foto-foto lokomotifnya. Arthur membujuk temannya memberikan dukungan dana untuk menerbitkan foto-fotonya dalam buku.

Arthur menghubungi sebuah percetakan yang dia pilih dari Yellow Pages. Dia memilih kertas dengan kualitas paling baik, format buku besar, dan metode terbaik untuk reproduksi foto, tanpa memperhatikan biayanya. Dia meminjam £ 500 dari temannya untuk membayar uang muka ke percetakan.

Sepuluh ribu kopi buku Arthur Bloggs' Railway Locomotives telah dicetak, dengan harga per buku £ 11.99. Arthur tidak memunyai ruangan di rumahnya untuk menyimpan bukunya. Kemudian, dia menata bukunya di garasi miiik temannya. Dia tidak tahu bahwa garasi itu atapnya bocor.

Buku itu dipublikasikan pada 2 Januari. Arthur mengedarkan edisi perdana bukunya dalam sebuah pesta promosi untuk media massa, tetapi tidak seorang pun yang datang. Dia mengiklankan bukunya dalam majalah khusus kereta api dan koran nasional. Dia memberikan 200 kopi bukunya kepada teman dan relasi yang berjanji akan membayarnya, tetapi kenyataannya tidak. Dia tidak memperoleh penghasilan dari kopi bukunya.

Arthur menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan distribusi nasional untuk mendistnbusikan 500 kopi bukunya. Setelah setahun, hanya 200 kopi bukunya yang terjual. Perusahaan itu mengembalikan buku yang tersisa. 4.800 kopi buku lainnya merana di dalam garasi temannya, terkena jamur, hingga akhirnya buku-buku itu terlupakan.

Arthur menjadi miskin ketika dia tidak dapat membayar tagihan percetakan. Dia terpaksa menjual rumahnya dan hidup di tepi jalan.

Kunci kesuksesan Harry Bright terletak pada faktor promosi. Ia melakukan promosi sebelum bukunya terbit. Sambil naskah bukunya dikerjakan di bagian desain dan percetakan, promosi telah ia lakukan. Tidak begitu dengan yang dilakukan Arthur Blogg.

Pemasaran Alternatif
Promosi sebagai bagian dari pemasaran (marketing) memang salah satu kunci untuk meraih pasar pembaca. Itu pula yang selalu dilakukan penerbit buku untuk memperkenalkan bukunya. Satu promosi yang rutin dilaksanakan adalah kegiatan pameran. Penerbit tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam setiap ajang pameran buku, dari skala lokal, nasional, hingga internasional. Pameran buku yang diadakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) di setiap daerah merupakan momen yang tepat untuk mempromosikan dan menjual buku, khususnya buku penerbit alternatif, dengan harga miring (diskon). Juga pameran buku nasional yang diadakan setiap September, yang dikenal dengan Indonesia Book Fair. Tidak ketinggalan setiap dua tahun sekali beberapa penerbit Indonesia ikut tampil di Frankfurt Book Fair, seperti pada 2003 ini. Belum lagi acara lainnya, misalnya bedah buku dan temu pengarang (book signing).

Hampir semua toko buku di Yogya adalah toko buku diskon. Social Agency telah dikenal dan terpatri di benak orang Yogya karena identik dengan buku-buku murah.

Toko buku lainnya, Toga Mas, juga memberikan potongan harga untuk setiap buku yang dijualnya. Dengan menggandeng 50 penerbit alternatif, Toga Mas mengadakan great sale 50 penerbit Yogya dengan memberikan diskon minimal 40 persen. Kegiatan yang diadakan selama September 2003 ini mengusung tema "Buku untuk Rakyat".

Pasar buku pilihan lainnya untuk mencari buku-buku dari penerbit alternatif dengan harga lebih murah. Kawasan Shopping Center Yogya pilihan yang tepat di samping toko buku diskon. Juga di sekitar kampus UGM, Universitas Negeri Yogyakarta, dan IAIN Sunan Kalijaga. Kalau di Jakarta mungkin di kawasan Jalan Kwitang dan Pasar Senen. Di Bandung bisa di Pasar Palasari atau Pasar Suci. Karena harga buku yang murah ini, di Yogya ada anekdot: kalau mau lihat buku datanglah ke Gramedia. Kalau mau beli buku lebih baik di Social atau di Shopping. Bukunya disampul plastik lagi.

Persaingan toko buku Yogya memang sangat ramai. Tetapi ternyata toko buku baru terus bermunculan di Yogya: Tiga Serangkai, Quadrant, Maulaya, Alinea, dan masih banyak lagi. Semuanya mempromosikan diskon besar. Bahkan, kini Toko Buku Gramedia juga rutin mengadakan agenda penjualan buku dengan diskon yang tidak kalah meriah. Kalo semua toko buku bersaing memberi diskon, pastilah pembeli dan pembaca buku yang dapat untung. Tetapi, bukankah diskon itu diambil dari penerbit buku juga. Semakin besar diskon yang harus diberikan kepada konsumen, semakin besar tuntutan toko buku kepada penerbit. Untuk memenuhi tuntutan itu, penerbit menggunakan kertas dan mesin yang lebih murah, kontrol mutu pun berkurang, dan jadilah buku yang semakin merosot mutunya. Pembaca pula yang menanggung kerugian. Nah....

Kembali pada masalah promosi. Salah satu daya tarik untuk mempromosikan buku adalah menarik atau bahkan mengikat perhatian pembaca untuk mengingat nama penerbitnya. Juga sampul buku yang dibuat sedemikian khas untuk membedakannya dengan buku-buku milik penerbit lain. Dengan sekali lihat, pembaca akan tahu buku itu diterbitkan oleh siapa. Satu yang khas Yogya untuk buku dari penerbit alternatif adalah desain Si Ong "Harry" Wahyu atau Buldanul Khuri. Seperti juga Penerbit Mizan yang sampul buku-bukunya identik dengan goresan desain Gus Balon.

Dalam memberi nama penerbit, kosakata alternatif tampaknya dipilih pula sebagai pijakan. Selama ini nama penerbit berkisar pada kata media, grafika, pustaka, atau press, Setiap kali ke toko buku saya sempatkan mencatat nama-nama penerbit yang baru saya lihat namanya dan beberapa rada-rada unik. Tampaknya iseng, tetapi menarik untuk dilakukan. Ada Bendera, Benteng, Galang, Ikon, Jendela, Mata Angin, Mata Bangsa, Tarawang, Tamboer, Cupid Publisher, Jalasutra, Kalika, Gelombang Pasang, Kepel, Komunitas Ombak, Megatruh, Mijil, Putra Langit, Sumbu, Teplok Press, Tiga Dara Pustaka, serta banyak nama lainnya (Catatan 6). Ada yang memberi nama penerbitnya dengan Noise Factory. Apakah penerbit ini menerbitkan buku-buku yang membuat ribut? Ada juga Oesaha Terbitan Radja Minjak, yang entah apakah milik seorang pengusaha minyak atau modalnya berasal dari usaha berjualan minyak?

Untuk melekatkan imaji pembaca pada penerbit alternatif, cara promosi buku terus digali. Saya menemukan satu keunikan lagi. Saat naik motor daiam perjalanan ke toko buku, saya tertarik pada kaos yang dikenakan pengendara motor yang ada di depan saya. Tulisannya besar-besar: Akar Kekerasan. Rasanya, saya pernah melihat ilustrasi yang ada pada kaos itu. Setelah mengingat-ingat dan mengamati dengan saksama, gambar pada kaos sang pengendara motor mengarahkan ingatan saya pada sampul buku Akar Kekerasan karya Erich Fromm.

Ketika masuk ke sebuah toko buku, ternyata sermua pramuniaga di toko buku itu mengenakan kaos bergambar sampul buku. Di gerai khusus kaos (t-shirt) terdapat contoh-contoh kaos bergambar sampul buku. Ada Akar Kekerasan, Gegar Gender, Membaca Pikiran Tuhan, Nietsche Sabda Sang Zaratustra, Sekolah itu Candu, Biarkan Dia Mati, Di Bawah Bayang IMF, dan masih ada kaos bergambar sampul buku lainnya.

Kaos memang satu lagi yang identik dengan Yogya. Jika Bandung terkenal dengan kaos dengan ilustrasi alternatif keluaran Caladi 59 (C-59), Bali dikenal dengan kaos kata-kata plesetan khas Joger, Yogya terkenal dengan Dagadu-nya. Kaos Dagadu bukan lagi sekadar kaos yang dibeli untuk dipakai, melainkan sudah menjadi trend setter dan alternatif oleh-oleh bagi wisatawan (Catatan 7). Jadi, kini oleh-oleh Yogya bukan hanya batik, perak, bakpia, atau yangko. Kaos pun pantas sebagai souvenir. Ini yang mungkin mengilhami penerbit buku untuk membuat kaos bergambar sampul buku. Tidak hanya sampul buku yang diangkat dalam kaos. Tokoh-tokoh yang bukunya diterbitkan juga tampil di kaos, Che Guevara yang paling menonjol dalam hal ini, di samping Soekarno.

Beberapa alternatif sudah terjadi dan dijalankan penerbit Yogya. Alternatif lainnya mungkin akan muncul kemudian. Saya membaca dalam buku Marketing for Small Publisher sebuah cara tidak lazim untuk menarik perhatian masyarakat terhadap buku baru (Catatan 8). Promosi buku yang terjadi di lnggris ini sempat heboh saking alternatifnya. Dengan sebuah rekayasa, toko buku melakukan hal yang cenderung ekstrem untuk mempromosikan buku berjudul The Terrors of St. Trinians.

Miss Hermione Gingold yang berada di atas atap sebuah taksi dan berpakaian seragam St. Trinians yang terkenal, tiba di depan sebuah toko buku. Dia membuat beberapa keributan, yang dalam waktu singkat mampu mengumpulkan sejumlah orang. Kemudian, dia melemparkan sebuah batu bata ke etalase toko buku yang ada di depannya sehingga membuat penonton terperangah. Tidak hanya etalase kaca yang remuk dan hancur. Perhatian penonton langsung tertuju pada sederetan buku yang terpajang menghiasi etalase toko buku. Pada sore harinya, media cetak memuat foto keributan di depan toko buku tersebut. Muncul pula sejumlah publikasi tentang kejadian pelemparan kaca etalase toko buku. Tentu saja pasar tertarik pada insiden tersebut dan terus membicarakannya. Sejak saat itu, orang selalu teringat pada toko buku dan peristiwa tersebut.

Alternatif telah menjadi inspirasi bagi perkembangan pemikiran dan pengetahuan masyarakat, khususnya pembaca buku. Tanpa keberanian menciptakan sesuatu yang alternatif, mungkin masyarakat belum dapat membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Karl Marx, Tan Malaka, dan banyak lainnya yang sempat dan mungkin masih dilarang beredar. Juga buku-buku karya Kahlil Gibran yang makin beragam. Ditambah lagi tema-tema lain yang bermunculan menawarkan alternatif bacaan bagi masyarakat.

Kealternatifan akan menjadi pertimbangan tersendiri. Masyarakat akan menentukan apakah sesuatu yang alternatif itu baik atau tidak? Apakah yang berbau alternatif itu akan membawa kepada keberagaman berpikir? Jangan sampai buku-buku yang tadinya hendak memberikan alternatif bagi pembaca, kemudian malah membuat pusing pembacanya, seperti dialami kemenakan saya.

lyan Wibowo, penikmat buku
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 4/ Desember 2003

Catatan:
1. Saya sempat mencatat sebanyak 76 judul buku Kahlil Gibran yang dipajang di rak buku di Toko Buku Gramedia, Social Agency, dan Toga Mas. Saya tidak melihat lebih jauh apakah judul buku yang berbeda-beda itu berasal dari buku yang sama dalam edisi bahasa asingnya.
2.  Pustaka Jaya menerbitkan buku Kahlil Gibran pada 1993, yaitu Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Pasir dan Buih, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Surat-Surat Cinta kepada May Ziadah, Suara Sang Penyair Lagu Gelombang, Sang Pralambang. dan Potret Diri.
3.  Beberapa penerbit menerbitkan karya Kahlil Gibran, yaitu Navila, Melibas, Pustaka Pelajar, Diva Press. Padma, Inovasi, Saujana, Pustaka Gibran, Lotus, Cupid, dan Waqtu Pustaka Popular.
4.  Lebih jauh tentang self publishing dapat dibacatulisan Robert Spicer dalam buku How to Publish a Books: Step by Step Guide to Independent Publishing (How to Books, 1995) serta tulisan Dan Poynter dalam buku The Self Publishing Manual: How to Write, Print and Sell Your Own Book (Para Publishing, 1997).
5.  Dikutip dari wawancara dengan AlfonsTaryadi, "Sekarang Muncul Penerbit di Gang-Gang Kecil" dalam buku panduan Indonesia Book Fair 2002.
6.  Dari kunjungan ke toko buku, tercatat sekitar 100-an lebih penerbit baru. Penerbit ini tidak semua berdomisili di Yogya.
7.  Caladi 59 (C-59) diambil dari nama Jl. Caladi 59 (sekarang di Jl. Tikukur 10), tempat pembuatan kaos. C-59 dapat disebut pelopor pembuatan kaos (t-shirt) dengan tampilan ilustrasi yang menarik di Bandung. Joger mempakan kaos yang terkenal dengan kata-kata plesetan khasnya. Dagadu (Daya Gagas Dunia) atau artinya "matamu" merupakan pelopor pernbuatan kaos-kaos bertuliskan kata-kata plesetan dari Yogya. Dagadu didirikan oleh sejumlah mahasiswa UGM.
8.  Lebih jauh tentang pemasaran buku dapat dilihat tulisan Bill Godber, Keith Smith, dan Robert Webb dalam buku Marketing for Small Publisher (Journeyman Press, 1992),