Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sutan Takdir Alisjahbana Berlayar Hingga ke Grotta Azzurra

Cerita diawali dengan pertemuan Ahmad dan Janet di sebuah kapal Capri-Sorrento. Mereka sama-sama berniat liburan di Pulau Capri yang terkenal akan keindahannya itu dengan maksud untuk menghilangkan kesepian masing-masing.

Ahmad, seorang laki-laki berusia 47 tahun. Ia seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia bersama kawan-kawannya dari PSI melancarkan pemberontakan terhadap Presiden Soekarno. Mereka bermaksud mendirikan pemerintahan baru, tetapi pemberontakannya gagal dan Ahmad lebih memilih lari keluar negeri. Karena letih memikirkan segala persoalan yang menimpa negerinya serta kekecewaannya atas kegagalan pemberontakannya, Ahmad memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan mobil dan berniat menenangkan pikirannya dengan cara berlibur ke sebuah pulau yang indah, yaitu Pulau Capri. Di tempat wisata itu ada suatu tempat yang dinamai Grotta Azzurra (Gua Biru).

Adapun Janet Marcelin adalah seorang janda asal Perancis, berusia sekitar 35 tahun. Ia seorang yang cantik dan pandai. Janet bekerja di Museum Louvre, Paris. Janet sangat mengenai Italia, terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan seni lukis, patung, dan sejarah lama. Pertemuannya dengan Ahmad telah memberikan nuansa hidup baru. Mereka sering berdiskusi tentang seni, kebudayaan, emansipasi, seks, politik, dan segala hal yang berhubungan dengan Timur-Barat.

Begitulah, cerita dalam roman Grotta Azzurra karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berlanjut dengan serangkaian diskusi panjang tentang persoalan-persoalan yang terjadi saat itu, terutama pertentangan antara budaya Timur dan Barat. Roman ini sudah jarang kita temui di toko-toko buku. Sampai saat ini belum ada edisi cetak ulang. Mungkin hal ini disebabkan oleh bobot isi cerita yang terlalu berat karena berisi ide-ide yang rumit, jumlah halaman yang cukup tebal untuk ukuran roman Indonesia (556 halaman), atau mungkin ada unsur-unsur lain yang sifatnya politis sehingga roman ini tidak dicetak lagi. Saya sendiri hanya membaca judul novel tersebut sewaktu SMU tanpa pernah melihat apalagi membacanya. Baru setelah kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, saya menemukan dan membaca novel tersebut. Terlepas dari permasalahan itu semua, ternyata roman ini tetap menarik untuk dikaji.

Tentang Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dilahirkan di Natal, Tapanuli pada 11 Februari 1908. Pendidikan secara formal diawalinya di HIS (Hollands Indische School) Bengkulu (1915-1921). Kemudian, dilanjutkan ke Kweeksschool di Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim (1921-1925). Setelah itu, STA melanjutkan pendidikannya ke sekolah pendidikan guru (HKS) di Bandung (1925-1928) dan Hofdacte Cursus di Jakarta (1931-1933).

Semangat STA untuk belajar terus menyala. Cita-citanya untuk menjadi orang yang berguna bagi bangsa yang melahirkan dan membesarkannya, telah mendorong STA untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Pada 1937, STA melanjukan pendidikannya di Fakultas Hukum UI dan gelar Master in de Rechten diraihnya pada 1942.

STA tidak bernah berhenti bercita-cita, apalagi memenjarakan keinginan besarnya. Setiap kesempatan ia pergunakan untuk membangun istana masa depan yang selalu diidamkannya sehingga walaupun ia sudah kuliah di Fakultas Hukum, pada saat yang sama disempatkannya pula mengikuti kuliah-kuliah ilmu bahasa umum, filsafat, dan kebudayaan Asia Timur di Fakultas Sastra.

Pengabdiannya kepada bangsa dan negara diawalinya dengan bekerja sebagai guru SD di Palembang, Sumatra (1928-1929). Bakat besarnya di bidang sastra menjadikan STA sebagai penulis yang produktif. STA juga menjadi redaktur kepala Balai Pustaka bagian Panji Pustaka dan Buku (1930-1942). Pada masa itu, STA bersama Amir Hamzah, dan Armin Pane mendirikan majalah Pujangga Baru, sebuah majalah yang mempunyai andil besar dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa dan sastra Indonesia. Untuk itulah, STA dikenal sebagai pelopor angkatan Pujangga Baru.

Pada 1945, STA menerbitkan dan memimpin majalah Pembangunan, sebuah majalah yang diperuntukkan bagi kemerdekaan dan demokrasi. Tiga tahun berikutnya, STA memimpin dan menerbitkan majalah Pembinaan Bahasa Indonesia serta menerbitkan dan ikut memimpin majalah Ilmu, Teknik, dan Hidup. Adapun dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan, STA pun menerbitkan dan memimpin majalah Konfronfasi (1955).

Dalam bidang kebahasaan, STA layak dinobatkan sebagai "Bapak Bahasa Indonesia", karena jasa-jasanya yang besar dalam menumbuhkembangkan dan memasyarakatkan bahasa Indonesia.

STA bukan hanya seorang ahli yang mengabdikan pemikiran dan ide-idenya untuk kemajuan dirinya, tetapi juga banyak merintis kegiatan yang bermanfaat bagi kemajuan masyarakat dan bangsa. Untuk itu, pada 1938, STA mencetuskan pemikirannya untuk mengadakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo. STA juga menjadi pengambil inisiatif dan pemimpin konferensi bahasa-bahasa Asing tentang The Modernization of the Languages in Asia di Kuala Lumpur Malaysia (1967).

Keahlian STA bukan hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga masyarakat mancanegara mencatatnya sebagai putra terbaik bangsa Indonesia yang mempunyai banyak ide dan pemikiran bagi kemajuan manusia. STA diangkat menjadi anggota Societe and Lingualistique, Paris (1951). STA juga menjadi anggota Committee of Directors of the International Federation of Philosophical Societies, Brusel (1945-1949). Selain itu, ia menjadi anggota korespondensi International Commission for the Scientific and Cultural Development of Man Kind (UNESCO). Juga mendapat kehormatan menjadi tamu dan memperoleh hadiah dari Fellow Centre for Advanced Study in the Behavioral Sciences, Stanford California USA (1959-1961). Sejak 1978, STA menjadi anggota kehormatan Koninklinik Institut voor Taal-Land-en Volkenkunde, Leiden, Belanda, serta masih banyak lagi penghargaan internasional lain yang diberikan kepada STA karena pemikiran, ide, dan karya-karyanya.

Sejak usia muda, STA tak pernah berhenti berkarya. Ide-ide dan pemikirannya terus mengalir dalam karya-karyanya. Dalam bidang filsafat, STA telah menulis sejak 1952, bukunya berjudul Tentang Kebudayaan dan Sejarah Kebudayaan Indonesia, Krisis Akhlak Pemuda Indonesia (1975), Uraian-Uraian dalam Apakah Bacaan Cabul (1957), Perkembangan Sejarah Kebudayaan Dilihat dari Jurusan Nilai (1975), dan Pembimbing ke Filsafat (1977). Dalam lapangan bahasa, buku dan karangan-karangannya, antara lain Kamus Istilah I dan II (1948), Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia I dan II (1948), Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1978).

STA juga aktif mengumpulkan dan memberikan komentar tentang perkembangan kesusastraan Indonesia. Komentarnya tentang perkembangan puisi termuat dalam Puisi Baru (komentar tentang puisi Indonesia klasik) dan Puisi Baru (komentar tentang puisi Indonesia modern). Hasil karya yang lain adalah Perjuangan, Tanggung Jawab dalam Kesusastraan Indonesia (kumpulan karangan tentang kesusastraan. 1977).

Karya-karya lain dalam bidang puisi, antara lain Tebaran Mega (1955), Lagu Pemacu Ombak (1979), dan Perempuan di Persimpangan Zaman. Adapun dalam bidang roman atau novel, antara lain Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1937), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Grotta Azzurra (3 jilid 1970), dan Kalah dan Menang (1978).

Grotta Azzurra, Sebuah Novel Ide
Ketika roman Grotta Azzurra diterbitkan, banyak pengamat dan kritikus sastra yang memberi tanggapan terhadap roman tersebut, Grotta Azzurra memang roman STA yang panjang, khususnya untuk ukuran cerita dalam sastra Indonesia. Roman ini terdiri atas tiga jilid. Isinya memuat ide-ide dan pemikiran STA tentang segala hal yang diungkapkan meialui tokoh-tokohnya.

Para pengamat dan kritikus sastra Indonesia menganggap bahwa roman Grotta Azzurra merupakan roman bertendens yang paling ekstrem, atau dengan kata lain roman tersebut merupakan "terompet" pengarang untuk menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat pembacanya. Hal serupa juga dilakukan oleh STA dalam novel Layar Terkembang. Oleh karena itu, para pengamat sastra umumriya mengatakan bahwa Grotta Azzurra merupakan kelanjutan dari Layar Terkembang.

Harry Aveling menilai Grotta Azzurra karya STA dengan cara membandingkannya dengan Layar Terkembang. Harry Aveling mengatakan, "Fungsi didaktik Layar Terkembang penting sekali. Manusianya hanya dapat dibebaskan dari ikatan masyarakat kuno untuk pengikatan baru: untuk membangun manusia modern."

Harry Aveling pun akhirnya menyamakan Grotta Azzurra dengan Layar Terkembang. Dia mengemukakan, "Pada kesan pertama, Grotta Azzurra adalah Layar Terkembang baru." Namun, menurut Harry Aveling pula, Grotta Azzurra mempunyai kelebihan dalam hal ini (nilai-nilai yang terkandung di dalamnya). Menurut Aveling, STA adalah manusia yang konsekuen dengan pendiriannya. Ia berpikir dan berkarya secara konsisten.

Grotta Azzurra memang mengundang banyak tanggapan dari kalangan pengamat sastra. Bermacam-macam kritik dilontarkan terhadap karya tersebut, tetapi muncul juga berbagai penilaian yang menilainya sebagai suatu karya yang berbobot.

Goenawan Mohamad, salah seorang penyair Indonesia yang juga dikenal sebagai esais yang cemerlang, menyempatkan diri pula menanggapi Grotta Azzurra. Goenawan mengawali tanggapannya dengan sebuah pengandaian.

Jika buku cerita yang baik adalah buku yang nikmat dibaca, maka mungkin sebuah novel Motinggo Busye lebih baik dari Grotta Azzurra. Maka roman yang dianggap hebat adalah roman yang terutama berisi diskusi-diskusi tentang paham politik, seks, seni, agama. Dengan demikian, Grotta Azzurra termasuk roman terhebat dalam kesusastraan modern Indonesia (Majalah Ekspres, 24 Oktober 1970).

Selanjutnya, Goenawan mengemukakan, "Grotta Azzurra ini terasa seperti serangkaian artikel di majalah kebudayaan. Laut Tengah yang biru merupakan keindahan tanpa akhir itu kemudian hanya jadi latar belakang yang tak perlu: lukisan alam roman ini hanya gambar dinding di kamar baca, yang bisa diganti dengan gambar dinding lain. Takdir Alisjahbana, sebagaimana sudah mulai terasa sejak Layar Terkembang-nya memang asyik masyuk dengan ide-idenya."

Masalah ide-ide yang ditarrtpilkan STA yang dipandang oleh Harry Aveling sebagai fungsi didaktik itu memang menarik perhatian orang banyak, termasuk Dr. Monique Zaini Lajoubert seorang sarjana Perancis yang mengatakan bahwa "... roman ini pertama-tama adalah roman ide dan sebagian besar terdiri dari diskusi yang panjang antara kedua tokoh utama dan orang-orang yang dijumpai mereka dalam perjalanan tentang segala macam hal, yang terutama sekali bukan saja berhubungan dengan Eropa dan Amerika Serikat, melainkan dengan negara-negara berkembang termasuk Indonesia." Lebih lanjut Dr. Monique menilai bahwa Grotta Azzurra adalah sebuah roman yang lebih mengutamakan ide ketimbang jalan cerita.

Bahwa STA selalu konsisten dalam setiap karyanya, yakni selalu mengetengahkan ide-idenya, juga kemukakan oleh Jacob Sumardjo yang mengatakan bahwa dalam Grotta Azzurra, STA lebih mementingkan ide, isi, daripada sastra. Adapun menurut Idrus, roman Grotta Azzurra adalah roman Indonesia yang terbaik sampai sekarang. Idrus juga memuji keahlian STA dalam menggodok sejarah kuno dan ilmu jiwa wanita untuk suatu maksud tertentu (dalam STA, 1985:131).

Selain tanggapan yang berisi penilaian postif terhadap roman ini, muncul juga tanggapan cukup keras yang dikemukakan Prof. A. Teeuw dalam buku Sastra Indonesia Modern II. Dalam tulisannya, A. Teeuw berpendapat bahwa Grotta Azzurra adalah suatu filsafat kebudayaan yang ditulis dalam bentuk novel (Teeuw, 1989:179), dan itu dianggap sebagai suatu kesalahan pokok oleh Teeuw. Menurutnya, STA selain berperan sebagai novelis, juga ingin berperan sebagai nabi dan guru sekaligus.

Dari sini terlihat perbedaan pendapat antara Teeuw dengan Aveling. Aveling menganggap Grotta Azzurra sebagai Layar Terkembang baru yang sarat dengan ide. Aveling sendiri mengaku bosan membaca Layar Terkembang, tetapi ia memberikan pujian terhadap Grotta Azzurra: "Cerita feminisasi Janet bagus sekali. Persatuannya dengan Ahmad wajar dan tidak dipaksakan. Kenangan bahwa percintaannya dengan itu dosa, tidak terlalu keras, walaupun masih ada. Akhir kisah percintaannya juga wajar.... Sekali lagi, Janet bagus sekali," (dalam STA, 1985:131-132).

Berbeda dengan Aveling, Teeuw lebih memuji Layar Terkembang, tetapi mengkritik Grotta Azzurra. Tentang Layar Terkembang Teeuw mengatakan, "Takdir membeberkan pemikiran itu dengan cara yang mengagumkan dalam romannya Layar Terkembang yang merupakan contoh yang baik tentang apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai Tendenz-Kunst; dan oleh sebab itu, karya itu juga memperlihatkan kekuatan serta kelemahan kesusastraan jenis itu." (Teeuw, 1980:64-65).

Di sinilah letak kelemahan Teeuw. Ia menerima gaya STA dalam Layar Terkembang, tetapi menolak gaya yang sama dalam Grotta Azzurra. Dengan kata lain, STA yang dikritiknya konsisten dengan gayanya, sedangkan Teeuw sebagai pengkritiknya, tidak konsisten dengan sikapnya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang diungkapkan mengenai Grotta Azzurra telah membuktikan bahwa dalam karya-karyanya STA telah menciptakan karya yang bertendens dengan maksud untuk memodernisasikan masyarakat pembacanya. Pada dasarnya, Grotta Azzurra adalah cermin idealisme STA sepenuhnya sehingga dalam Grotta Azzurra, STA lebih mengutamakan pemunculan ide-ide dan idealismenya ketimbang keindahan sastranya.

Ismail Kusmayadi, editor Penerbit Katarsis
Majalah Mata Baca Vol. 2/ No. 3/ November 2003