Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mistisisme Schuon: Dia yang Mencari ke dalam Belantara Keabadian

Bagi sejumlah orang, Frithjof Schuon adalah nama yang menggetarkan hati dan perasaan. Termasuk saya. Saya masih mampu merasakan getaran hebat usai membacabuku terjemahannya, Memahami Islam, yang diterbitkan Pustaka Salman. Tercekam, bagaimana ada orang yang memiliki iman begitu kuat terhadap Islam dengan cara pandang dan keyakinan sendiri, seolah-olah tak dipengaruhi oleh faktor apa pun selain unsur Islam itu sendiri: Allah, Muhammad saw., Sunnah, Al-Qur'an, danjalan cara menempuhnya.

Kalimat pertama Memahami Islam itu telah menjadi pernyataan klasik: "Islam is the meeting between God as such and man as such.... Islam confronts what is immutable in God with what is permanent in man." (Islam adalah pertemuan antara Tuhan sebagaimana adanya dan manusia sebagaimana adanya.... Islam menghadapi apa yang abadi dalam Tuhan dengan sesuatu yang tetap dalam diri manusia.) Betapa berbeda cara dia "beriman" dan memeluk Islam dibandingkan saya yang mengandalkan dogma dan rukun biasa. Dia menjelaskan Islam dengan bahasa yang sangat tegas, tak berbelit-belit, langsung pada pokok, tanpa kompromi. Argumen yang dia ajukan tidak lagi menjadi alibi, melainkan kredo.

Begitu terpesonanya, hingga saya langsung ingin tahu orang macam apakah dia, yang khazanah pengetahuan tradisinya begitu luas, seakan-akan menjadi segelintir orang yang khusus dipilih untuk menjaga hikmah dan tradisi yang asal, asli, itu agar tidak sampai lenyap dari muka bumi. Padahal, seorang profesor saja berkomentar bahwa dia "terlalu menyeramkan, menakutkan" dengan segala kemampuannya itu.

Meski begitu banyak orang berpendapat bahwa tulisannya sangat sukar dibaca dan dipahami. Barangkali karena bahasa untuk menjelaskan masalah rohani dan spiritualisme memang selalu imajinatif, penuh metafora, "bersayap", dan mengawang-awang. Diperlukan kemampuan tertentu untuk memahami wacana itu. Tak terkecuali Seyyed Hossein Nashr, salah seorang murid dan "penerusnya", butuh sekitar dua tahun untuk membaca dan menyelesaikan Memahami Islam.

Kenangnya, "Meskipun tipis, buku itu sangat sukar. Awalnya saya berpendapat tak ada sesuatu yang membuat kenapa buku ini begitu penting. Kini, jika saya mengenang kembali kehidupan saya dulu, dan sebagai mahasiswa jurusan kajian agama, lebih dari lima tahun setelah saya mulai membacanya, saya baru menemukan alasan untuk menghargainya." Dalam hati, bagaimana lagi saya yang hanya baru bisa membaca lima buku terjemahannya?

Frithjof Schuon memang luar biasa. Dalam hidupnya, dia telah menulis hampir 25 buku; semuanya tentang topik yang sangat pelik dan misterius: kesejatian manusia dan hikmah yang menjadi khazanah kehidupan manusia. Di Indonesia, lima bukunya sudah diterjemahkan, antara lain Memahami Islam (Pustaka Salman), Mencari Titik Temu Agama (YOI dan Pustaka Firdaus), Islam dan Filsafat Perenial (Mizan), Akar Kondisi Manusia (Pustaka Pelajar), dan Transfigurasi Manusia (Qalam). Selain penulis, dia juga penyair dan perupa mistik. Buku puisinya yang terkenai adalah Songs for a Spiritual Traveler juga belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Tema utama tulisan Schuon merupakan bayang-bayang pencarian dan hubungannya dengan sifat hakikat semesta, namun jauh dari sudut pandang "normal". Cakupan pemikirannya sekaya pengalamannya menjelajahi sudut-sudut bumi menemui suku-suku dan kelompok mistik, yang tradisional ataupun sekte agama. Selama dapat bertaut dengan spiritualisme dan perenialisme, ketertarikannya selalu besar. Tak heran dia melakukan kajian hampir terhadap semua ranah: perbandingan agama dan tradisi, perkembangan teori evolusi, feminisme, kritik kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan, Dia mencari benang merah makna penciptaan manusia secara rendah hati: untuk terus berhubungan dengan "ahli" spiritual, menyaksikan, sekaligus belajar langsung kepada mereka yang menguasai, mempraktikkan, dan memelihara tradisi itu.

Sejak muda, sejak menjadi mahasiswa di Paris, dia sudah mulai melakukan berbagai perjalanan menjelajahi Afrika Utara, Timur Dekat, Mesir, juga Turki, Di Asia dia mendalami budaya Jepang, India, Tibet; itu membuat dia akrab dan menguasai dengan baik pemikiran Shinto, Hindu, Buddha, Tao. Di akhir masa kehidupannya, dia pindah ke Amerika untuk bergabung dengan suku Indian, yang tarian ibadah, falsafah hidup, seni, dan berbagai aspek lain yang menarik perhatiannya sejak Perang Dunia Kedua. Karena itu, dia sempat tinggal di banyak tempat, paling lama di Swiss (sekitar 40 tahun) dan Amerika Serikat (sekitar 18 tahun), yang dia tinggali sejak 1980 hingga 1998, yakni tahun kematiannya.

Suatu ketika dia membawa sekte marabout Hitam ke Swiss untuk mempertunjukkan budayanya pada masyarakat Barat, Schuon berbicara kepada mereka, seorang lelaki yang dituakan kelompok itu menggambar lingkaran dengan batang radii di tanah dan menjelaskan, "Tuhan berada di pusat, seluruh jalan menuju kepada-Nya." Maka pencarian Schuon pada Tuhan dan jalan menuju Dia menjadi satu-satunya tujuan. Kadang-kadang itu harus dia lakukan dengan cara yang sangat berbahaya: menyelami hakikat seluruh agama dunia, memilah-milah tradisi yang masih murni, menelusuri kitab-kitab ajaran tua yang membutuhkan kejelian luar biasa, meloncat-loncat melintasi perbedaan antar agama. Mencari Titik Temu Agama, buku pertamanya, merupakan bukti kuat betapa upaya itu dia lakukan secara serius.

Perbedaan tradisi, ibadah, istilah, pandangan, baginya menjadi semacam kekayaan intelektual, yang akhirnya akan mengantarkan manusia pada Pencipta. Semua itu tampak seperti ribuan aliran sungai yang akhirnya menyatu menuju laut. Dan laut, kita tahu, tak pernah tumpah atau banjir meski terus-menerus diisi air dari seluruh sudut. Titik temu itulah yang dia cari terus-menerus dalam semua khazanah kebudayaan manusia, bukan menonjolkan atau meniadakan salah satu jalan setapak menuju Tuhan. Nama Muslimnya, Muhammad Isa Nuruddin, mencerminkan semangat itu: bahwa perbedaan itu bisa menjadi akar yang mampu mengantarkan manusia pada sumber cahaya.

Schuon lahir pada 18 Juni 1907 di Basel, Swiss. Ayahnya, seorang pemain biola, keturunan Jerman, ibunya dari ras Alsatia. Ayahnya tidak hanya menghadirkan khazanah musik, melainkan juga pustaka dan kehidupan spiritual yang sangat kental. Setelah ditinggal mati ayahnya ketika masih kanak-kanak, ibu membawa dia dan saudaranya kembali ke keluarganya di Mulhouse, Perancis, menjadi penduduk di sana. Kedatangan di Perancis itu membuatnya menguasai bahasa ibunya, selain Jerman.

Pencariannya pada mistisisme membuatnya mulai membaca Upanishads, Bhagavad Gita, dan karya-karya filsuf-orientalis Perancis Rene Guenon. Guenon juga yang sejak awal mendukung gerak hati intelektualnya, selain membimbing ajaran mistisisme yang mulai dia bangun. Baru, setelah berkoresponden lebih dari 20 tahun, mereka bertemu di Mesir pada 1939 —dalam perjalanan kedua Schuon ke sana. Benarlah yang diyakini para sufi itu, yakni tidak hanya mereka yang haus mencari mata air, mata air pun berusaha menemui mereka yang haus.

Dari Mulhouse dia pindah ke Paris, bekerja sebagai desainer tekstil sekaligus belajar bahasa Arab di sebuah masjid. Di sini kesempatan dan minatnya pada berbagai bentuk seni tradisi semakin dalam. Apalagi pada 1932 untuk pertama kalinya Schuon mengunjungi Aljazair dan bertemu seorang wali qutub sufi abad ke-20 (penguasa spiritual tertinggi sebuah masa yang kepadanya bergantung eksistensi kosmos), bernama Syekh Ahmad al-'Alawi. Pertemuan itu mengukuhkan pencariannya pada nilai-nilai luhur dalam tradisi kehidupan manusia.

Pada 1939, tak lama setelah dia tiba di India, Perang Dunia Kedua meletus. Keadaan itu membuatnya terpaksa kembali ke Eropa. Di Perancis dia menjalani wajib militer, namun kemudian ditawan Jerman. Dia mencari suaka ke Swiss, yang akhirnya memberi kewarganegaraan di usia dewasa, dan menjadi tanah air utamanya. Selama di Swiss inilah dia menghasilkan banyak buku yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, menjadi eksponen paling penting gerakan perenialisme dan tradisionalisme. Selama itu pula dia secara berkala menerima kunjungan sarjana dan pemikir agama terkemuka baik dari Barat maupun Timur —salah satunya Profesor Huston Smith. Sepuluh tahun kemudian, pada 1949, dia menikah dengan seorang pelukis perempuan Jerman-Swiss yang sama-sama tertarik pada agama dan metafisika. Dengan istrinya pula dia akhirnya pindah ke Amerika untuk tinggal bersama orang Indian sejak 1980. Selama menetap dengan berbagai suku Indian itu (terutama Sioux and Crow), dia "tenggelam" dalam beragam aktivitas guna mendalami tradisi dan seni Indian yang memang sangat dekat dan selaras dengan alam. Salah satu hasilnya buku The Feathered Sun: Indians in Arts & Philosophy.

Kenapa Schuon terus-menerus menulis dan menyebarkan keyakinannya itu? Dalam wawancara dengan Sacred Web, dia mengatakan tujuannya untuk menyeru kepada orang lain juga agar terus-menerus beribadah, berdoa. "Menjadi manusia artinya harus berhubungan dengan Tuhan. Hidup tak ada maknanya tanpa itu. Kita hidup di antara berbagai bentuk, tidak di awan. Maka yang pertama kali kita butuhkan adalah ibadah. Kemudian: kembali ke Alam, lanjutnya. Salah satu bentuk ibadah adalah zikir. Katanya, "Zikir mengandung seluruh Hukum dan merupakan nalar bagi keberadaan seluruh Hukum."

Apa makna ibadah? Menurut Schuon, ibadah akan membuat orang mulia, mengetahui sifat sejatinya (yakni ruhul qudus) dan dengan itu manusia tak akan pernah kehilangan pandangan pada cahaya simbol, tanda-tanda Tuhan. Sebagai eksponen sejati gerakan Sophia Perennis, dia selalu berusaha menjelaskan sifat sejati manusia, berusaha mengingatkan agar kita kembali ke asal keadaan spiritual. Seperti sufi lain, dia juga yakin bahwa kehidupan manusia ini menanggung kesaksian terhadap sifat asal itu.

Menurutnya, pada tingkat spiritual, setiap manusia membutuhkan tiga hal: kebenaran, praktik spiritual, dan moral. Ketiga hal itu dikandung oleh metafisika, esoterisme, perenialisme, tradisi. Pemahaman mendalam pada simbol agama adalah esoterisme itu. Esoterisme murni bersemayam di setiap agama. Apa dia begitu yakin? Tampaknya ya. Pandangan esoterisme berdasar pada ruhul qudus yang bersifat sempurna karena merupakan penglihatan intelek sejati, bersumber dari wahyu. Esoterisme, metafisika, sufisme memuaskan kebutuhan terhadap bakat intelektual manusia. Maka perhatian metafisika tidak hanya pemikiran, tetapi seluruh keberadaan manusia —jauh melampaui filsafat dan agama dalam makna biasa kata tersebut.

Keyakinan ini —sekali lagi— tentu mengejutkan, jika mengingat betapa materialisme, ateisme, agnostisme, seakan-akan menjadi sesuatu yang tak bisa dibantah menyertai manusia modern, tak bisa dipisahkan darinya. Apalagi semua pendapat itu dibela dan dirayakan oleh para filsuf, pemikir seniman, bahkan selebritis. Betapa beda Schuon dengan Nietzsche, misalnya. Atau dengan mereka yang dengan gagah melemparkan Tuhan ke sudut gelap hatinya, seakan-akan Dia adalah sesuatu yang layak ditertawakan. Seruan itu, yang dilakukan Schuon bersama kawan-kawannya, seakan terlalu mudah menguap dihajar hirukpikuk kesibukan. Mengharukan ada orang yang masih yakin tentang kerinduan manusia pada Tuhan, jika kini kita sebenarnya terlalu mudah tergoda oleh dosa, syahwat, tubuh, uang, peperangan, kekuasaan, arogan, korupsi, dan segalanya. Mengharukan, karena bagi sebagian orang keyakinan itu merupakan sasaran empuk bahan tertawaan, satir, dan sinisme.

Tapi bisa dibuktikan keyakinan dan seruan Schuon itu bukan main-main, atau bisa dimentahkan dengan mudah. Pemikiran, upaya, buku-bukunya, memberi pengaruh luar biasa pada gerakan perenialisme. Seorang profesor agama, Huston Smith, yang menulis The World's Religions (Agama-Agama Manusia, versi Indonesia, YOI), mengakui pengaruh Schuon dengan mengatakan, "Dia memberi makan jiwa saya, yang tidak bisa dilakukan oleh penulis lain yang masih hidup. Dia legenda hidup, suri teladan zaman. Saya tahu tak ada pemikir lain yang masih hidup mulai mampu menandinginya." T.S. Eliot, sastrawan pendiri Faber & Faber yang menerbitkan buku Schuon edisi Inggris The Transcendent Unity of Religions menyatakan hal senada, "Saya tak menemukan lagi karya yang lebih mengesankan tentang kajian perbandingan agama Timur dan Oksidental." Karena tulisannya itu, barangkali dia adalah penulis kajian agama yang paling menggugah minat di abad ke-20 ini.

Berbeda dengan penulis dan pemikir umum, tampaknya Schuon barangkali tak pernah menggunakan buku lain sebagai daftar bahan rujukan. Minimal kelima bukunya membuktikan itu. Tampaknya dia lebih mengandalkan intuisi sebagai argumen. Semua pengetahuan atau pendapat yang dia kutip selalu dibandingkan dan dibenturkannya dengan wacana yang dikuasainya, atau dibuat sintesis dengan cara yang imajinatif. Ini sangat jelas membedakan dia dengan Annemarie Schimmel, misalnya, yang bisa mendaftar rujukan atau catatan kaki hingga puluhan halaman.

Tentu saja itu pun sedikit mengherankan. Seolah-olah dia tak membutuhkan pembenaran atau dukungan pendapat dari mereka yang juga pakar. Barangkali dia semata-mata menyandarkan pada sesuatu yang lebih agung dari itu semua, yakni intuisi dan bimbingan ruh dari Yang Mahakudus.

Bagi saya, membaca dan berusaha memahami buku-buku Schuon terasa sangat menegangkan. Sebab, seolah-olah dia mengajak berkelana menelusuri diri yang paling dalam, yang murni dan tidak membutuhkan apa-apa selain kerinduan-kerinduan pada yang Kudus. Memang tidak selalu mudah, tetapi bahasa yang imajinatif, argumen yang cerdik, dan keluasan wawasannya menantang kita untuk semakin dalam berusaha masuk pada pusat maknanya.

Ah, you are too spooky indeed. Mr Schuon!

Anwar Holid, penulis lepas, tinggal di Bandung
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003