Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Machiavelli dan Kutukan Sebuah Buku

"Machiavelli adalah nama yang tidak asing lagi. Sayangnya, ia lebih dikenal sebagai tokoh pemikiran politik yang jahat. Machiavelli termasyhur sebagai penganjur autokrasi yang menghalalkan kekerasan, tipu daya, dan cara-cara imoral untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintahan. dan negara."

Niccolo Machiavelli (1469-1527) termasyhur sebagai filsuf politik yang membangun gagasan bahwa politik itu mempunyai moralitasnya sendiri dan tidak terikat pada norma-norma yang lazim diterima. Tak banyak yang tahu bahwa ia juga penyair, dramawan, sejarawan, dan juga seorang filsuf politik republikan.

Machiavelli lahirdi Florence, Italia, 3 Mei 1469. Persaingan politik, perebutan wilayah, dan peperangan di Florence juga Eropa secara umum pada masa itu merupakan hal yang sering terjadi dan imbas pahitnya nyata-nyata memukul Machiavelli. Semua itu sangatlah penting bagi muncul dan berkembangnya pemikiran politik Machiavelli.

Tahun 1512, setelah tujuh tahun tersingkir dari tampuk kekuasaan di Florence, dinasti Medici (berkuasa sejak 1434) berhasil merebut kekuasaannya kembali. Lalu seperti lazimnya rezim yang kembaii naik takhta, Medici melakukan pembersihan pemerintahan dari unsur-unsur lama. Maka Machiavelli yang pada waktu itu menjadi kanselir di Republik Florence segera dipecat, dijebloskan ke penjara, dan disiksa. Ia memang terkenal sebagai sahabat dekat dan orang kepercayaan Piero Soderini sang pemimpin Republik Florence yang terguling.

Sang kanselir melihat peristiwa itu sebagai tragedi. Namun, sejarah membuat rencana lain. Peristiwa itu, kelak ternyata, membukakan jalan bagi Machiavelli untuk memasuki dunia yang menakjubkan, yakni dunia tulis-menulis di mana ia "meraih" kemasyhuran. Pengalaman di penjara dan penarikan dirinya dari panggung politik Florence membuat Machiavelli lebih banyak merenung dan menulis, bukan saja tulisan tentang politik dan kekuasaan, melainkan juga naskah drama dan puisi! Dari tahun 1513-1520, ia menulis tiga buku politiknya yang penting, yakni Il Principe (Sang Penguasa, 1513), Discorsi (Diskursus, 1515), L'Arte delta Guerra (Seni Perang, 1520). Setelah itu, ia banyak menulis karya sastra, di antaranya La Mandragola (drama sarkastik), Andria dan Clizia (puisi), Belfagor Arcidiavolo (novel), L'asine d'oro (satire), dan juga tulisan sejarah Istorie Florentine ('Sejarah Florence').

Sayangnya, daripada meraih kemasyhuran, Machiavelli lebih tepat disebut menanggungkan kemasyhuran. Ketika namanya disebut, banyak orang segera terbayang akan suatu praktik politik yang dingin, penuh muslihat licik, dan jika perlu keji! Dalam kurun lima abad setelah masa hidupnya, Machiavelli ditampilkan dalam wacana politik sebagai manusia berotak iblis. Tengoklah kamus para akademisi yang konon menjunjung tinggi objektivitas dan kewaskitaan, simaklah entri machiavellian, dan Anda akan menemukan bahwa salah satu definisinya adalah of, like, or characterized by the political principles and methods of expediency, craftiness, and duplicity set forth in Machiavelli's book, The Prince; crafty, deceitful, etc. (Webster's New World College Dictionary, 1996:809). Machiavellian tak ayal lagi dipahamkan sebagai kata yang mencakup pengertian tentang pikiran, sikap, dan tindakan yang licik, penuh tipu daya dan kejam. Begitulah orang mengenal Machiavelli sebagai pencetus ajaran politik yang tak mengindahkan segala nilai moral. Orang ramai mengistilahkannya dengan ajaran "tujuan menghalalkan segala cara" (the end justifies the means). Tak kurang dari sastrawan besar Shakespeare, melalui salah satu tokoh ciptaannya dalam naskah drama The Merry Wives of Windsor, membuat sebutan "Si Keji Machiavelli". Bagi banyak orang, nama Machiavelli memang sering terdengar atau dipelesetkan menjadi "Machevill".

Akan tetapi, ketenaran nama buruk Machiavelli itu adalah sebuah kecelakaan, kalaupun bukan kesalahan sejarah. Karena apa yang lazim dipahami sebagai machiavellian itu sesungguhnya bukan watak Machiavelli itu sendiri. Watak itu tepatnya melekat pada para penguasa yang pernah ada hingga pada zaman itu, seperti Aleksander Agung (356-323 SM), Julius Caesar (102-144 SM), Cesare Borgia (1476-1507), Girolamo Savonarola (1452-1498), dan lain-lain yang menjadi bahan kajian dan renungannya dalam Il Principe. Di sinilah letak masalahnya karena buku itu kemudian banyak dibaca orang dan menjadi sangat masyhur berabad-abad. Maka tampillah ia sebagai pemikir politik berwajah iblis. Memang sejauh orang mau mengenal Machiavelli sekadar dari Il Principe, hal itu justru menjadi batu sandungan baginya, alih-alih dapat memahami Machiavelli karena dari buku ini orang hanya menjumpai nalar dan tabiat penguasa yang dingin, ambisius, imoral, dan hanya mengenal satu tujuan: melanggengkan kekuasaannya. Il Principe memang menjadi kutukan bagi penulisnya.

Akan halnya Machiavelli sendiri, ia sesungguhnya dengan tegas memilih kekuasaan rakyat (res publica) yang manusiawi dan lurus. Machiavelli sebagai sang republikan itu terlihat nyata dalam karyanya yang lain, yakni Discorsi, yang memuat gagasan Machiavelli secara lebih kaya. Boleh dikatakan Discorsi adalah wasiat politik Machiavelli yang terlengkap. Namun sayang, tak seperti Il Principe, buku yang cukup tebal ini jarang dibaca orang. Maka Machiavelli pun tetap tampak sebagai pemicu dan penyebar pemikiran jahat dalam politik.

Sedikit saja orang yang paham akan Machiavelli, Francis Bacon (1561-1626), seorang tokoh yang berpengaruh besar dalam dunia sains berkat metode empirismenya, adalah salah satu di antara sedikit orang itu. Menurutnya, dalam Il Principe Machiavelli sekadar mengemukakan, tanpa menutup-nutupi, apa yang nyata-nyata dilakukan oleh penguasa, dan bukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Tokoh lain yang berupaya memahami Machiavelli adalah Leopold Van Ranke (1795-1886), sejarawan terkemuka dari Jerman. Ia menyatakan, "Setelah membaca bab terakhir Il Principe, barulah kita tahu bahwa apa yang Machiavelli anjurkan dalam buku tersebut didorong oleh tekad mencapai persatuan Italia daripada sekadar mengabaikan nilai-nilai moral." (Politik Kekuasaan, KPG, 1997:6).

Dalam abad ke-19 dan paruh awal abad ke-20, bayangan orang akan wajah iblis Machiavelli itu seolah-olah memperoleh pembuktiannya, karena dengan penyebaran totalitarianisme dalam kurun itu, gagasan tentang kekuasaan yang dimunculkan Machiavelli dalam Il Principe meraih relevansinya. Orang percaya bahwa Hitler (1889-1945) membaca Il Principe sebagai pengantar tidurnya seperti Napoleon (1769) melakukannya. Konon Lenin (1870-1924) dan Stalin (1879-1953) mempelajarinya dengan tekun di sebuah universitas di Rusia, sedangkan Mussolini (1883-1945) dengan bangga mengaku sebagai pengikut setia Machiavelli dan banyak menisbahkan perilakunya pada Machiavelli.

Pemikiran Machiavelli memang banyak menimbulkan salah paham, kontroversi serta kecaman yang tak habis-habisnya. Ini dapat dibaca sebagai indikasi bahwa gagasan politiknya mengandung sesuatu yang pantas untuk dipertimbangkan. Sebagian orang mengatakan bahwa Machiavelli adalah nabi atau setidaknya guru politik modern. Bagaimanapun tampak mengerikannya, Machiavelli rupanya adalah pemikir yang berhasil melihat inti nalar kekuasaan negara. Banyak orang menegaskan perbedaan antara Abad Pertengahan dan Abad Modern dengan mengacu pada Machiavelli sebagai simbol yang memisahkan kedua periode iersebut. Mereka percaya pendekatannya terhadap politik adalah khas dunia modern.

Gagasan dan karya-karya Machiavelli agaknya perlu untuk dibaca dan dikaji kembali lebih saksama. Dengan demikian, duduk perkaranya menjadi lebih jelas. Sayangnya, di Indonesia, karya Machiavelli relatif belum banyak dikenal; namun, orang sudah terkesan akan berita tentang kejahatan pemikirannya. Ini pula kiranya yang menjadi pertimbangan sejumlah penerbit kita untuk menerjemahkan, menyadur, dan menerbitkan karya-karya penting Machiavelli.

Dalam Agustus 2003 menyusul terbitnya terjemahan karya Machiavelli Art of War (Desember 2002), terbitlah edisi terjemahan Discorsi yang tidak banyak dibaca orang itu. Hal yang serupa sebelumnya jugapernah dilakukan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), yakni dengan terbitnya saduran dalam bentuk cergam atas Discorsi (disadur menjadi Politik Kerakyatan) dan juga Il Principe (Politik Kekuasaan) pada 1997.

Munculnya kesadaran dan upaya semacam itu tentu saja adalah satu hal yang menggembirakan. Bukan saja karena dengan penerbitan itu masyarakat-baca memperoleh kesempatan untuk mengakses pemikiran seorang tokoh besar secara Iebih mendalam, melainkan juga di sana kita melihat satu titik cerah, yakni sebuah kemauan untuk memahami dan menghargai pemikiran, bahkan apabila sang pencetusnya terlanjur dikenal oleh banyak orang sebagai iblis yang menginspirasikan kejahatan.

Kesadaran ini penting sebab bukankah hari ini ada kecenderungan menguatnya prinsip bernalar bahwa "suara terbanyak adalah kebenaran", sedangkan kita tahu bahwa kuantitas bukanlah kriteria untuk kebenaran.

Rh.Widada, penulis dan editor pada sebuah penerbitan di Yogyakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003