Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LKiS: Dari Penerbit Gerakan ke Penerbit Profesional

Kelompok-kelompok pemerhati sosial tumbuh dengan marak di Yogyakarta pada dekade 1990-an. Kelompok-kelompok ini biasanya muncul dari kalangan mahasiswa dan atau mantan mahasiswa gerakan, sehingga basis aktivitas mereka lebih banyak di lingkungan kampus. Sebagian dari mereka melakukan gerakan yang sangat politis dengan turun ke jalan menggelar berbagai orasi dan demonstrasi, sebagian lagi menggelontorkan wacana politik alternatif melalui pers mahasiswa, dan ada pula sebagian mereka yang mengolah berbagai wacana kritis (tidak melulu politik) secara agak eksklusif di dalam kelompok-kelompok diskusi.

Kelompok-kelompok diskusi bermunculan di berbagai kampus, misalnya di UMY ada kelompok studi "Lingkaran", di UGM ada kelompok studi perilaku "Kelompok Kamis Malam", dan di IAIN ada "Lembaga Kajian Islam dan Sosial" (LKiS). Kebanyakan dari kelompok-kelompok studi dan diskusi ini tidak dapat bertahan hidup lama, LKiS barangkali adalah satu-satunya dari mereka yang bisa bernapas panjang bahkan kemudian mampu melakukan transformasi dari yang tadinya sekadar komunitas eksklusif berbasis kampus menjadi sebuah lembaga dan yayasan independen dengan gerakan-gerakannya yang semakin besar dan luas.

LKiS sebagai sebuah gerakan memiliki karakter tersendiri yang khas. Wacana yang banyak mereka olah adalah wacana keagamaan (Islam), dengan mencoba membenturkan antara isu-isu keislaman kritis dengan problematika sosial yang berkembang di masyarakat.

LKiS merupakan sebuah komunitas yang dimotori oleh anak-anak muda NU, santri dari berbagai pesantren, dan yang secara kebetulan waktu itu menjadi mahasiswa atau alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka yang sejak awal terlibat mendirikan kelompok ini adalah M. Imam Aziz, M. Jadul Maula, M. Saleh Isre, Imam Baehaqi, Arifuddin, Amiruddin, Farid Wajidi, Hairus Salim, Nuruddin, Ahmad Suaedy, Elyasa KH Darwis, dan Akhmad Fikri.

Kelompok ini melakukan berbagai kajian dan melibatkan diri dalam berbagai gerakan pro demokrasi dan Islam moderat. Pilihan gerakan ini mendorong mereka untuk bergerak lebih jauh ke arah pendidikan yang berbasis pada sosialisasi gagasan dan wacana melalui penerbitan buku-buku, khususnya kajian keislaman kritis.

Menurut Akhmad Fikri, kini menjabat sebagai Direktur PT. LKiS Pelangi Aksara, pada mulanya tidak terpikirkan oleh mereka untuk suatu saat menjadikan LKiS sebuah penerbit buku. Jika pun mereka juga mulai menerbitkan buku, itu semata untuk kepentingan strategis demi refleksi gerakan. Mereka sering menggelar diskusi-diskusi, yang hasilnya mereka sunting dan mereka jadikan buku, ini adalah tipikal dari kepenerbitan alternatif yang berkembang di Yogyakarta.

Buah karya pertama mereka dalam perbukuan adalah penyusunan buku Agama dan Demokrasi (Gramedia Pustaka Utama, 1993). Buku ini merupakan hasil dari diskusi dengan tema yang sama yang mereka gelar pada 1993 di Perpustakaan Yayasan Hatta. Buku ini sebetulnya direncanakan sebagai sebuah terbitan kerja sama antara Penerbit Gramedia dan LKiS. Namun, karena tidak adanya kesepakatan bentuk kerja sama — antara lain keikutsertaan pembiayaan produksi untuk pencantuman logo— pihak Gramedia tidak bersedia memenuhi permintaan supaya logo LKiS dicantumkan dalam buku tersebut. Karena pihak LKiS tidak memiliki uang, mereka memilih untuk tidak perlu logo LKiS dicantumkan dan hanya nama dari beberapa personal mereka dicantumkan sebagai penyunting.

Semakin kuatnya dorongan untuk mensosialisasikan gerakan membuat kelompok diskusi ini kian suntuk mempelajari seluk-beluk penerbitan buku. Akhirnya, pada 1993 terbitlah buku pertama mereka (yang secara verbal berlogokan LKiS) berjudul Kiri Islam, karya Kazhuo Shimogaki. Buku ini merupakan kajian atas pemikiran intelektual Mesir, Hassan Hanafi. Sampai tahun ini buku tersebut telah dicetak 6 kali.

Rupanya, sambutan pembaca untuk buku mereka cukup antusias. Semangat mereka semakin menjadi-jadi, dan beragam buku-buku keislaman alternatif mereka hadirkan, misalnya Dekonstruksi Syariah karya Abd Ahmed an-Naim yang terbit dua jilid, Masyarakat Tak Bernegara karya Dr. Abdul Wahab El-Afendi, Islam dan Pembebasan karya Asghar Ali Engineer, Islam dan Demokrasi karya Fatima Mernissi, dan sebagainya.

LKiS kemudian dikenal sebagai penerbit buku yang menjadi pionir dalam mengusung wacana keislaman kritis di Indonesia. Buku-buku terbitan LKiS senantiasa menghadirkan wacana keislaman yang baru dan konsisten dengan garis visi dan misi yang sejak awal dipegang oleh kelompok ini.

LKiS berusaha mengisi ruang kosong wacana pemikiran alternatif dan mencoba keluar dari mainstream pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam khususnya dan di Indonesia umumnya. Tentunya, hal ini dimaksudkan sebagai usaha memberikan pendidikan kepada masyarakat akan pentingnya kesadaran atas nilai-nilai pluralisme, kebebasan, dan keinginan untuk membangun Indonesia yang demokratis.

"Kami menyebutnya dengan 'Memperkenalkan Perspektif Memperkaya Wacana'. Apa arti dari slogan ini adalah bahwa LKiS senantiasa memilih, menyeleksi dan berusaha menempatkan penerbitannya di dalam kerangka memperkenalkan kepada masyarakat berbagai perspektif tentang agama (Islam) dan darinya masyarakat akan semakin diperkaya oleh wacana-wacana di luar yang selama ini mereka kunyah, bahkan menjadi praktik sehari-hari, Semakin banyak masyarakat mengenal perspektif semakin kaya wacana yang mereka miliki," papar Akhmad Fikri.

Perjalanan menuju Profesionalisasi Penerbitan
Menyadari sambutan yang luar biasa atas terbitnya buku-buku yang mereka terbitkan, para penggiat gerakan ini mulai membicarakan kemungkinan untuk mengembangkan sebuah usaha penerbitan secara lebih serius. Bersamaan dengan itu, mereka membentuk suatu divisi usaha yayasan yang secara khusus menangani masalah penerbitan buku-buku.

Akhmad Fikri menceritakan bahwa periode 1993-1997 adalah awal-awal dari upaya untuk menjadikan penerbitan ini menjadi eksis. Saat itu, LKiS sebagai sebuah kelompok diskusi dan gerakan sudah mentransformasikan diri menjadi sebuah yayasan, dan Penerbit LKiS adalah salah satu divisi yang berada di bawah naungan Yayasan LKiS.

Perkembangan selanjutnya, pada periode 1997-2001 Penerbit LKiS menjadi sebuah divisi yang mandiri dan berdasar atas persetujuan semua Dewan Pendiri dibentuklah badan hukum sendiri untuk divisi ini, bersifat UD (usaha dagang). Dalam perkembangannya, status ini belum memadai untuk kepentingan perluasan pasar dan keinginan untuk mengembangkan usaha ini menjadi lebih profesional, pada Februari 2002 disepakati untuk status badan hukumnya dialihkan menjadi perseroan terbatas (PT).

Sejak saat itu, LKiS sebagai penerbit dan percetakan telah resmi berbadan hukum PT dan secara manajerial terpisah dengan induknya, yaitu Yayasan LKiS. Untuk membedakan antara LKiS sebagai penerbit dan percetakan dengan induknya, di dalam akte notaris PT disepakati nama yang tertera dalam status ini adalah PT. LKiS Pelangi Aksara. Namun, di dalam menjalankan usahanya, brand image yang digunakan dalam setiap penerbitan tetap menggunakan nama LKiS.

Meski telah terpisah dengan Yayasan LKiS, PT. LKiS Pelangi Aksara tetap mengupayakan diri untuk menjaga khitah awal sebagai sebuah institusi yang bisa meneguhkan refleksi gerakan. Buku-buku terbitan LKiS tetap akan dijaga untuk selalu secara umum mencerminkan visi dan misi yang telah diusung dari awal pembentukannya, yakni mewujudkan masyarakat yang mampu secara dewasa berpikir mandiri dan sadar atas pilihan-pilihan yang diambilnya. Pilihan yang pertama kali dilakukan antara lain tetap menaruh porsi perhatian yang besar pada menerbitkan buku-buku keislaman kritis sebagai tawaran alternatif bagi berbagai wacana keislaman yang berkembang di Indonesia.

Namun, langkah-langkah profesionalisasi tentunya menuntut adanya sebuah sikap yang dapat menolerir dan berdialog dengan "pasar". Mereka mulai menyadari perlunya diciptakan sebuah diversifikasi produk, maka tema-tema lain yang dirasa perlu diterbitkan dan dirasa lebih akan dibaca oleh masyarakat banyak mulai mereka gagas untuk diterbitkan. Tema-tema yang memungkinkan untuk mereka eksplorasi, antara lain NU dan Pesantren, Pendidikan, Sosial-Budaya, Politik, Sastra, Kajian Perempuan, Filsafat, Seri Dialog Agama, Komunikasi, Seri Pendidikan Politik, Pustaka Populer, dan Seri Pemberdayaan Perempuan. Lebih ke depan lagi, terutama di tahun 2004, mereka juga akan mengembangkan tema-tema Pustaka Pesantren, Pustaka Tokoh Bangsa, Pustaka Remaja, Seri Pendidikan Keagamaan Kritis, dan Buku Anak.

Dengan variasi terbitan yang diupayakan tersebut, selama 10 tahun terakhir, brand market LKiS telah memunculkan image tersendiri di kalangan pembaca dan mampu bersaing dengan penerbit lain yang telah lebih dulu eksis.

Di samping itu, mereka memang telah berhasil menciptakan dan memiliki "pembaca potensial". Buku-buku terbitan LKiS memiliki pangsa pasar cukup beragam dan fanatik. Bahkan, dalam perkembangannya, para pembaca buku LKiS ini merupakan pembaca dan pembeli setia setiap produk terbitan yang diluncurkan ke pasar. Potensi pembaca ini terdiri dari berbagai kalangan: mahasiswa, akademisi, pengamat keagamaan, sosial dan politik, aktivis LSM, pesantren, dan para aktivis partai.

Demikianlah, hingga saat ini Penerbit dan Percetakan PT. LKiS Pelangi Aksara telah memproduksi lebih dari 150 judul buku dan memiliki jaringan perdagangan sedikitnya 121 retail di beberapa kota besar di Indonesia. LKiS juga, pada 2003 ini telah mendirikan satu perwakilan pemasaran khusus wilayah Indonesia Barat di Jakarta dan di Januari 2004 akan membuka perwakilan pemasaran di Malang, Jawa Timur.

Langkah-Langkah Taktis menuju Kemandirian Usaha
Keberanian yang patut diacuiigi jempol adalah ketika Penerbit LKiS melakukan gebrakan memotong jalur distribusi. Penerbit LKiS tidak lagi mempercayakan pemasaran bukunya kepada distributor, melainkan memasarkan sendiri dengan langsung terjun ke retail.

Distributor adalah momok yang selalu menghantui para penerbit kecil-alternatif di Yogyakarta. Kebanyakan dari penerbit kecil Yogyakarta tidak memiliki pengalaman memasarkan buku-buku mereka dan mereka kemudian mengandalkannya kepada distributor. Namun, alih-alih bisa membantu eksistensi usaha mereka, keberadaan distributor ini lebih sering justru mendatangkan kerugian-kerugian bagi para penerbit kecil tersebut. Para distributor itu akan mengambil keuntungan rabat sekitar 50-60%, sedang mereka belum tentu maksimal di dalam memasarkan buku, dan yang lebih payah lagi mereka juga sering tidak jujur di dalam mempertanggung-jawabkan hasil penjualan.

Melihat kondisi semacam ini, LKiS lebih memilih untuk babad alas dengan mencoba membuka jalur pemasaran sendiri secara langsung. Kerja ini tentu membutuhkan energi dan biaya yang besar. Namun, agaknya hasil yang akan mereka peroleh juga jauh lebih besar dibanding jika mereka berkutat pada konvensi lama dengan cara bergantung pada distributor.

"Biaya menyewa tempat untuk kantor perwakilan serta biaya menempatkan pegawai di sana memang cukup besar. Tapi, dengan itu kami bisa mengontrol sendiri alur distribusi produk kami. Juga, kami bisa menekan rabat sampai 20% dibanding jika buku kami didistribusikan oleh distributor," demikian Akhmad Fikri.

Oleh kenyataan itu, mereka memang lebih memberanikan diri untuk mengeluarkan biaya besar demi kepentingan pemasaran langsung ini. Pada 2004, PT. LKiS Pelangi Aksara merencanakan membuka empat toko buku di empat kota yang secara potensial memiliki prospek pasar buku yang cukup cerah, yaitu Bandung, Purwokerto, Malang, dan Jember.

Langkah-langkah menuju kemandirian usaha dari Penerbit LKiS ini memang harusnya bisa diambil pelajaran, baik oleh rekan penerbit kecil lain maupun oleh pihak distributor untuk memperbaiki kinerja mereka masing-masing.

Di Tengah Konstelasi Kepenerbitan Alternatif Yogyakarta
LKiS adalah sebuah penerbitan yang lahir dari konsep gerakan, karena itulah warna alternatif menjadi menonjol. Dibanding dengan penerbit-penerbit kecil lain yang banyak tumbuh di Yogyakarta, nuansa "gerakan" di LKiS tampak masih lebih membekas. Ini dikarenakan kebanyakan penerbit kecil lainnya, meski juga berkarakter alternatif, tapi lebih cenderung menjadi sebuah "usaha perorangan". Sementara itu, LKiS didirikan oleh sebuah jemaah/komunitas/kelompok, yang tidak ada dominasi pribadi tertentu di dalamnya.

Iniiah juga mungkin salah satu faktor yang menyebabkan LKiS lebih bisa mendahului rekan-rekan penerbit kecil lainnya di Yogyakarta untuk menjadi sebuah lembaga usaha yang profesional.

Sebagai sebuah penerbit alternatif yang profesional, LKiS berusaha untuk selalu tampil gentle di dalam pergaulannya di tengah konstelasi kepenerbitan Indonesia. Penerbit ini selalu berusaha menjunjung kode etik kepenerbitan dan kepengarangan, misalnya dengan menghormati konsep hak cipta.

Berkaitan dengan formalitas sebagai lembaga penerbitan, LKiS juga ikut serta menjadi anggota lembaga formal penerbit-penerbit Indonesia, yakni Ikapi. Meski demikian, mereka memang belum merasakan adanya manfaat yang cukup signifikan dari lembaga ini.

"Harusnya Ikapi bisa menjadi jembatan untuk memecahkan problem yang dihadapi oleh penerbit-penerbit, misalnya mengupayakan usulan kepada pemerintah agar menciptakan regulasi yang berpihak kepada penerbit, atau memecahkan problem-problem praktis semacam harga kertas, dan sebagainya," papar Akhmad Fikri sembari memberikan kritik untuk lembaga ini.

"Tapi, kita melihat Ikapi sendiri (Cabang Yogyakarta—red.) tidak punya sekretariat. Selama ini sekretariatnya adalah rumah siapa yang kebetulan menjadi ketua Ikapi tersebut atau di kantor siapa yang menjadi sekretarisnya. Bagaimana sebuah lembaga tanpa sekretariat akan bisa berbuat untuk kemaslahatan anggotanya?"

Maka, LKiS sendiri juga cukup mendukung dengan upaya teman-teman penerbit kecil yang sering melakukan kumpul-kumpul bersama dan memecahkan kegiatan bersama. "Kalaupun LKiS tidak masuk ke dalam Asosiasi Penerbit Alternatif (APA) maupun Aliansi Penerbit Independen (API) itu bukan karena kami tidak mendukung gerakan tersebut. Pada prinsipnya, iembaga apa pun sejauh memberi manfaat kepada anggotanya harus direspons secara positif," tandas Akhmad Fikri.

Dengan sikap gentle tersebut, LKiS telah mampu membawakan sosok diri sebagai sebuah institusi penerbit alternatif yang cerdas. Memang mereka lahir dari anak-anak gerakan.

Amien Wangsitalaja, penyair, penulis, dan editor lepas
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003