Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembaca Mukmin, Pembaca Kafir!: Konstruksi Perbukuan dan Budaya Populer

Penulis boleh menjadi semacam dewa yang menciptakan dunia berupa buku-buku yang ditulisnya, tetapi pembacalah yang membuat buku itu memiliki makna. Tanpa kehadiran pembaca, buku tak akan pernah ada, atau kalaupun ada akan jadi dunia sepi pengarangnya sendiri. Secara esensial, seorang penulis sendiri sesungguhnya telah sekaligus berperan sebagai pembaca dalam kerja kepenulisannya. Lebih dari itu, seorang pembaca juga bisa sampai pada peran layaknya sebagai penliis baru dalam kegiatan pembaca mereka, yakni ketika mereka merekonstruksi dunia bacaan ke dalam pemikiran mereka.

Determinasi Menjadi Pembaca
Jeanne Chall dan Emily Marston (1976) pernah menjabarkan tiga determinan kuat yang membuat orang membaca. Determinan pertama adalah ketersediaan buku. Seseorang akan tertarik untuk menjadi pembaca pertama-tama karena buku-buku berada dalam jangkauan mereka, Semakin banyak buku yang tersedia dan bisa mereka peroleh dengan mudah, semakin mudah pula bagi mereka untuk merasa tertarik. Ketertarikan ini akan berkembang dari sekadar membuka sekilas kemudian mencoba untuk membaca hingga akhirnya mereka akan secara serius memahami dan memikirkan apa yang ditulis dalam sebuah buku. Hal ini akan berlanjut dan berkembang hingga mereka akan mencari dan mendapatkan buku yang lain.

Determinan kedua adalah kemampuan membaca. Kesulitan yang sering dialami oleh pembaca adalah adanya kesenjangan antara kemampuan membaca atau wawasan mereka diperhadapkan dengan bacaan yang ada. Kesulitan dan kesenjangan ini dapat berupa bahasa dan kosakata sulit, gaya dan teknis penulisan, ataupun tema dan wacana yang ditawarkan. Determinan ini terutama dialami oleh pembaca pemula dan masyarakat umum ketika harus membaca buku-buku khusus yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kehidupan mereka. Dalam hal ini, penulis dan penerbit harus bersedia untuk memberi jembatan penghubung dan pembelajaran apresiatif agar kesenjangan ini tidak semakin lebar dan memunculkan ketidakpedulian atau antipati masyarakat terhadap buku.

Determinan ketiga adalah minat baca. Rendahnya minat baca adalah persoalan klasik yang sering dikedepankan berkaitan dengan dunia perbukuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa minat baca ini bukanlah faktor yang independen. Ada banyak aspek yang berkaitan dan harus diselesaikan bersama di antara komponen-komponen masyarakat, kaum perbukuan dan pemerintah: pajak buku, harga kertas, tingkat pendidikan, kualitas tulisan, copy-right dan penghargaan kepada penulis, pembajakan buku, dan sebagainya.

Homo Legens
Kurt Sleuchter, seorang aktivis perbukuan dari Jerman, dalam tulisan WJ Simons (1965) mengklasifikasikan pembaca buku menjadi tiga tipe: tipe mukmin (gelovige), tipe kafir (heideren), dan tipe pentobat (bekeerlingen).

Mukmin berarti beriman. Pembaca tipe mukmin adalah pembaca yang tekun "beribadah" kepada buku. Kelompok ini boleh dikatakan tak bisa hidup tanpa buku. Keseharian seorang pembaca mukmin akan diisi dengan membaca dan mencari bacaan baru. Buku adalah pegangan hidup mereka untuk mengatasi persoalan, sebagai hiburan, pengisi waktu luang, tempat berbagi, bahan rujukan dalam pemikiran dan hidup keseharian, dan seterusnya. Begitu kuatnya kecintaan mereka terhadap buku, ada suatu adagium yang mereka yakini, yakni bahwa semua pembaca buku akan masuk surga, dosa-dosa mereka akan diampuni sebanyak apa yang telah mereka baca selama hidupnya, dan surga bagi mereka adalah tempat di mana beragam dan beraneka buku berlimpah-ruah tersedia bagi mereka.

Pembaca tipe kafir adalah mereka yang membenci buku. Tipe pembaca ini adalah kelompok terbesar di masyarakat. Mereka tidak memiliki minat untuk membaca ataupun memiliki buku. Sebagian besar diantaranya bahkan tidak melihat adanya manfaat dari membaca. Para penulis, penerbit dan penjual buku harus terus berupaya agar kelompok ini mengenal dan tahu nilai-nilai positif buku dan peranannya yang penting dalam perkembangan ilmu dan teknologi. Usaha yang tak kenal lelah akan membawa pembaca tipe kafir menjadi pembaca tipe pentobat.

Pembaca tipe pentobat adalah mereka yang bisa menempatkan buku dalam posisi yang sebenarnya. Kelompok ini bukan maniak buku yang menghabiskan waktu dan usianya hanya berkutat dengan buku, tetapi juga bukan mereka yang antipati terhadap bacaan. Buku mereka pahami sebagai dasar ilmu pengetahuan dan mereka letakkan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Kontekstualitas menjadi salah satu perhitungan penting mereka ketika berhadapan dengan buku. Bahwa ada buku yang harus mereka baca sebagai pegangan memahami persoalan hidup dan ada pula buku-buku yang dibaca sebagai tambahan pengetahuan dan kesenangan saja.

Pembaca Indonesia
Membicarakan dunia perbukuan Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari perdebatan tentang minat baca dan daya beli masyarakat. Topik ini seakan tidak pernah habis diperdebatkan dan selalu bermuara pada perdebatan ayam dan telur, manakah yang lebih dulu ada dan harus diselesaikan: rendahnya daya beli membuat minat baca sangat kurang atau kurangnya minat baca membuat daya beli buku sangat minim.

Kita dapat merunut kembali tulisan "Membaca Anak-Anak Membaca" di MATABACA (Vol.1/No.11/Juli 2003). Asumsinya adalah mahasiswa sebagai bagian dari kaum kelas menengah, setidaknya calon kelas menengah Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia penerbitan, mahasiswa bukan hanya calon konsumen mestinya telah berada pada tahap awal terbentuk sebagai konsumen pembaca buku. Dalam kenyataan, benang kusut perbukuan Indonesia pun bisa terbaca jelas dalam kehidupan mahasiswa, prototipe kaum terdidik yang menempati posisi utama dalam dunia perbukuan. Generalisasi mahasiswa yang buta membaca dan lumpuh menulis bolehlah kita amini bersama.

Jadi, jika mahasiswa diasumsikan sebagai wakil dari masyarakat, benarkah bahwa minat baca dan daya beli mereka rendah? Jawabannya jelas: tidak! Mereka banyak membaca komik-komik Jepang, novel-novel populer seperti Agatha Christie dan John Grisham, dan tabloid olahraga atau majalah-majalah gosip. Mereka juga mengikuti perkembangan tren perbukuan seperti terlihat dari larisnya buku-buku Kiri, Kahlil Gibran, dan serial Chicken Soup. Kemampuan finansial pun mereka miliki. Mereka bisa mengikuti perkembangan mode pakaian dan dandanan. Mereka juga mengoleksi kaset-kaset dan menonton konser-konser artis pujaaan. Handphone terbaru di saku jadi tanda dan identitas diri yang tak bisa ditinggalkan. Jelas, semua itu merupakan hobi dan kesenangan yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga buku-buku.

Bisa jadi persoalan mengapa buku-buku yang lebih bernas dan bermutu dibanding sekadar buku-buku yang dimaknai sebagai pleasure kurang diminati —tidak laku— bukanlah persoalan pembaca, tetapi dikarenakan kurangnya kemampuan penerbit dalam mengurusi pemasaran dan penyebarannya ke masyarakat. Secara sederhana, bagaimana mungkin masyarakat bisa begitu akrab dengan Coca-Cola dan "ayam Amerika", sedang teh "nasgitel" dan ayam kampung jelas jauh lebih enak dan sesuai dengan lidah kita, misalnya. Memang, persoalannya bukan sekadar kemampuan menjual dan berpromosi. Bisa dikatakan banyak aspek yang berkelindan: modal, globalisasi, kultur baru, generasi baru, dunia baru, penguasaan arus informasi, hegemoni budaya, dan seterusnya. Terlihat jelas bahwa ada proses yang terus-menerus dan berkelanjutan yang membuat masyarakat mengidentifikasikan dirinya dalam produk-produk asing tersebut.

Buku, seasing apa pun benda ini di tengah masyarakat, ternyata juga bisa berjalan sebagaimana Coca-Cola. Ketika Dewi Lestari, seorang artis penyanyi terkenal, menulis sebuah novel, ia mempromosikannya di mana-mana: jumpa fans, diskusi, televisi dan media massa lainnya. Ternyata bukunya bisa laris dan mengalami cetak ulang berulang kali. Begitu juga ketika Dani Ahmad, penyanyi terkenal, menyatakan bahwa dirinya adalah pencinta Kahlil Gibran, terjemahan karya-karya sastrawan asing ini pun jadi barang dagangan yang laris luar biasa. Lalu ketika tren serial Harry Potter dan Chicken Soup yang melanda dunia diberitakan dengan gencar di sini, terjemahan kedua buku serial ini pun menghimpun puluhan ribu pembaca yang menggemarinya.

Dalam kasus yang lebih serius, dalam arti kurang berkaitan dengan dunia selebritas, kasus larisnya buku-buku reformasi, buku-buku Kiri, dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer adalah fenomena yang harus pula dicermati. Begitu juga dengan maraknya penerbitan kumpulan cerpen dan buku-buku Islam yang juga sempat diminati masyarakat.

Jadi, bagaimana penerbit membangun jembatan yang bisa mengakrabkan buku-buku terbitannya dengan masyarakat luas dan bukan berkutat pada segmen sempit pembaca yang telah ada bisa dijadikan titik tolak pertama untuk mencapai tataran ideal: buku sebagai pondasi dasar kebudayaan modern dan keberadaban bangsa.

Goenawan Budi Susilo
Majalah MataBaca Vol. 2/No. 3/November 2003