Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mempermainkan Dongeng

1
Sapardi Djoko Damono membuka Membunuh Orang Gila (Jakarta, 2003, Penerbit Buku Kompas) dengan cerpen "Dongeng Kancil" (hlm. 1-7). Pada bagian I, "aku" pengarang ketemu kancil di rumpun bambu di hutan. "Aku" kancil mengeluh lidahnya luka dijepit bambu. Macan telah tak mempan ia tipu karena tahu akal bulus pada dongeng. Lalu kancil ia beri pilihan: bersedia dimakan atau menyediakan lidahnya dijepit bambu, sama dengan pengalaman macan pada dongeng. Karena sayang nyawa, kancil memilih pilihan kedua. Akibatnya, lidahnya luka. Ini diadukan "aku" kancil kepada "aku" pengarang. "Aku" kancil kecewa karena tipu yang dulu ampuh kini tak ampuh lagi. Ia juga punya pengalaman yang sama dengan buaya. Pendeknya, semua binatang hutan tak mampu ia tipu karena telah arif. Malah macan berkata tipu itu adalah siasat juru dongeng agar anak-anak suka mendengar dongeng kancil (hlm. 3). Karena ini "kesalahan" juru dongeng, kancil lalu bertanya, "Apa Juru Dongeng memang suka mengubah-ubah rancangannya? Apakah Juru Dongeng telah membocorkan rencananya?" "Aku" kancil lalu mengembara mencari juru dongeng.

Pengembaraan kancil mencari juru dongeng diceritakan pada bagian II, di sini yang hadir hanya "aku" kancil. Dalam pencariannya ia masuk wilayah manusia. Melihat timun timbul giur. Tahu tak ada orang, yang ada hanya orang-orang(an), ia beranikan diri mencuri. Tapi ia merasa perlu menghajar orang-orang itu dulu. Akibatnya, ia lengket pada tubuh orang-orang yang digetahi itu. Ia ditangkap pak tani lalu dikurungnya. Karena umpannya agar anjing mau menggantikan tempatnya juga gagal, saya bayangkan ia besok disate—bukan kesimpulan dongeng Sapardi.

Bagian III yang pendek bercerita tentang "aku" pengarang yang terus mengembara dan ini ditutup dengan "mengeluh tentang juru dongeng itu".

2
Pada cerpen itu, Sapardi bermain dengan dongeng. Ia dongengkan dongeng yang lain dari yang biasa ada. Pada dongeng, kini kancil gagal menipu macan dan buaya karena mereka telah kenal akal bulus kancil pada dongeng dulu. Karena yang menderita kancil, ia lalu bertanya, "Apa Juru Dongeng memang suka mengubah-ubah rancangannya? Apa Juru Dongeng telah membocorkan rencananya?" Tapi Sapardi tak memanfaatkan materi kedua pertanyaan ini. Ia biarkan kancil mengembara untuk mencari juru dongeng dan ini saya anggap bertanggung jawab untuk kematiannya di tangan manusia melalui orang-orangan yang benda. Suatu tragis, Kancil yang cerdik ditipu benda (mati). Ini menggelitik saya.

Saya pertanyakan kemungkinan pengembangan dongeng ini ke arah lain. Kancil berhasil menemui juru dongeng tua yang menghasilkan dongeng tua. Ia kaget dongeng telah berkembang ke arah yang berlawanan dari yang ia dongengkan. Karena tidak merasa bersalah —ia tak pernah mengubah-ubah dongengnya— ia berpikir tentu ada juru dongeng baru yang telah merusak dongengnya. Ia akhirnya bertemu dengan juru dongeng baru. Antara keduanya terjadi dialog. Mula dengan juru dongeng tua yang marah-marah. Ia tanyakan apakah hak juru dongeng muda merusak dongengnya. Ini berakhir dengan dialog antara keduanya. Juru dongeng muda punya alasan untuk mengubah jalan cerita dongeng. Karena dongeng kancil lama sudah lama beredar, ia jadi sesuatu yang terduga (predictable). Begitu mendengar judul dongeng kancil, orang akan tahu akhir cerita. Untuk penyegaran agar tak segera terduga begitu orang mendengar judul dongeng, jalan cerita mesti diubah. Ini yang menyebabkan reaksi macan pada dongengnya lain dari yang ada pada dongeng tua.

Atau ia bisa juga menjawab lain. Dalam realitas tak pernah dan tak mungkin akan terjadi macan atau buaya bisa kalah kepada kancil atau ditipu kancil. Yang lebih mungkin, kancil dimangsa macan atau buaya. Karena itu, juru dongeng muda tidak merasa perlu mesti memenangkan kancil sebagai yang dilakukan juru dongeng tua. Tak realistik. Ia juga tak merasa perlu untuk memberikan kemenangan fiktif kepada kancil. Karena dalam realitas kancil selalu jadi mangsa macan dan buaya, juru dongeng tua dalam dongengnya berusaha memenangkan kancil. Paling tidak, kancil bisa mengalahkan macan dan buaya meskipun hanya dalam dongeng, suatu yang fiktif. Di samping itu, kancil pada dongeng juru dongeng tua juga mewakili orang-orang kecil dan lemah yang tak mampu melawan kekuatan penguasa yang menekan dan menakutkan. Bila dalam realitas mereka selalu kalah, biarlah mereka menang dalam dongeng yang fiktif. Paling tidak, mereka bisa bangga mengalahkan penguasa. Atau mereka bisa bicara sesama mereka bahwa penguasa akan jatuh sama halnya dengan macan atau buaya dalam dongeng. Dengan cara ini mereka hibur diri. Atau ada harapan semu, percaya suatu hari penguasa akan kalah sama halnya dengan macan dan buaya dalam dongeng. Atau cara para orang kecil itu berpikir sama dengan orang yang baru saja dibelasah, Setelah pembelasah berhenti dan pergi, ia akan berkata, "Tunggu nanti, akan saya balas." Dan ini tak pernah terjadi karena ia selalu menghindar bila melihat orang yang pernah membelasahnya. Ia menghibur diri dengan lari kepada kemenangan fiktif falam dongeng.

Juru dongeng tua yang tak mampu menangkis alasan juru dongeng muda kembali menemui kancil menceritakan alasan juru dongeng muda mengubah dongengnya. Kancil tentunya sedih. Ia kini sadar mesti melakukan sesuatu untuk mempertahankan diri. Atau ia ajakjuru dongeng tua mengatur strategi baru menghadapi fenomena yang bersumber pada alasan juru dongeng muda. Ia, juru dongeng tua bertanggung jawab untuk mencipta dongeng yang lebih baru di mana alasan kemenangan kancil terhadap macan dan buaya lain dari yang ada pada dongeng tua. Karena juru dongeng hanya ada dalam wacana, adalah kewajiban para pengarang, orang-orang seperti Sapardi, untuk mengarang wacana baru yang menampung pemikiran yang baru saja Anda baca. Wallahu'alam.

3
Ada fenomena lain. Hanya ada satu juru dongeng. Tak ada yang muda atau tua. Bila ia didatangi kancil yang mengeluh, jawabnya tentu saja bisa sama dengan jawab juru dongeng muda. Namun, bisa juga lain. Ia sengaja mengubah dongeng.

Bila kancil menyesalinya karena tak diberi tahu, juru dongeng menjawab ia tak merasa perlu memberi tahu karena ia percaya kancil cerdik. Paling tidak, kancil yang begini, yang cerdik, yang ia ciptakan dulu dalam dongengnya.

Sesuai sifat itu, juru dongeng, percaya kancil akan dapat menghadapi sembarang kemungkinan —sama halnya dengan gadis Inggris menghadapi akal bulus saudagar Yahudi yang digunakan de Bono untuk membuka pemikirannya tentang lateral thinking. Sang gadis menolak dikawini Yahudi walaupun gagal melunasi utang. Maka oleh Yahudi itu sang gadis diberi pilihan. Ia mesti menebak pada tangan mana ada batu putih. Apa saja tebakan gadis itu ia akan kalah. Pada kedua tangan Yahudi itu yang ada hanya batu hitam. Begitu mengambil batu dari salah satu tangan, gadis itu melemparkannya ke tanah lalu bercampur dengan batu lain. Untuk tahu batu apa yang ia ambil, Yahudi ia paksa buka tangan yang satu lagi. Karena yang ada pada tangan itu batu hitam, maka yang ia ambii tadi adalah batu putih. Dengan cara ini ia lepas dari perangkap Yahudi itu. Nah, kata juru dongeng kepada kancil sebab kau gagal mengembangkan kemampuan akalmu, sesuai aduanmu, aku tarik balik (kata) cerdik yang selama ini sinonim dengan kancil —kancil yang cerdik lain dari pelanduk yang jenaka. Kau tak bisa mengambil alih kata jenaka karena pelanduk bisa marah. Bila ada "kancil jenaka", ia takut orang akan mengacaukan antara kancil dan pelanduk dan salah-salah orang juga akan menyamakannya dengan kancil. Aku juga tak mungkin melekatkan kata bodoh kepada kau karena bodoh bagiku sama dengan binguang bahasa Minang. Biarpun sedikit, tapi ada orang Minang yang mengenal cerita buyuang binguang (buyung bodoh) yang dituliskan Aman Dt. Madjo Indo menjadi bujang binguang (1935). Namun, bisa kita pertanyakan kebodohan mereka. Untuk memerawani seorang gadis, Buyuang Binguang rela berpisah dengan seluruh kambing gembalaannya —karena itu ia dianggap bodoh. Bujang Binguang juga dikatakan bodoh karena tak mau pegang benda yang bernama uang, tapi ini tak berarti ia tak berusaha mendapatkan uang. Ia rajin berusaha, tapi uang urusan istri. Dengan alasan ini, kata juru dongeng, kata bodoh tak sesuai bagi kancil. Apalagi aku pernah baca cersil Cina berjudul Pendekar Bodoh tentang seorang pendekar andal yang dijuluki kata itu. Untuk kancil aku pilihkan kata dungu. Orang dungu tidak sadar ia dungu. Ia percaya kalau pintar. Karena itu, tak berusaha belajar padahal ini ia perlukan untuk mengubah dirinya dari dungu menjadi cerdik. Aku yang merasa diri bodoh tidak pernah berhenti membaca. Tapi kau berhenti membaca dan belajar. Kau percaya sepenuhnya kepada gelar cerdik yang beberapa abad lalu aku lekatkan kepada kau. Makhluk yang dulu kau anggap dungu kini berubah menjadi pandai karena mereka beiajar dan membaca. Kecerdikan kau hanya sebatas dulu dan ini tak mungkin digunakan untuk mengalahkan kepintaran makhluk lain yang terus belajar. Kau anggap macan dan buaya sebodoh yang kau kenal dulu padahal kini mereka telah lain. Karena itu, kau yang akhirnya jadi mangsa macan atau harimau dan buaya. Jadi, jangan kau salahkan aku yang kau anggap seenaknya mengubah dongeng.

Aku juga mengubah dongeng sesuai hakikat kreativitas yang melekat pada cerita. Tanpanya, suatu cerita akan beku apalagi bila sudah dibakukan. Nah, cerita kancil juga telah beku karena telah dibakukan. Orang selalu mengaitkan kancil dengan cerdik dan akan mengalahkan macan dan buaya. Karena tidak sesuai alam di mana kancil adalah mangsa macan dan buaya, ini lalu saya ubah. Ia saya biarkan berlaku alamiah. Dengan cara ini, kancil mesti menghadapi musuhnya sebagaimana adanya. Ia harus menggunakan kemampuan akalnya —saya mungkin dipengaruhi juga oleh sistematik drama Brecht. Jadi, bila kau kini dimangsa macan dan buaya, ini hanya akibat kreativitas yang melekat pada cerita, termasuk dongeng. Kau tak berhak menyalahkan aku.

Ini bisa dilanjutkan dengan cerita selanjutnya. Dengan menggerutu ia tinggalkan juru dongeng. Ia bisa jadi kancil dungu yang hanya hidup dengan gerutunya. Atau karena tahu bodoh, ia mulai belajar. Belajar tentang kuasa binatang lain. Ia kembangkan strategi sendiri untuk menghadapi macan dan buaya. Usaha ini sangat diperlukan karena tanpanya ia akan kehilangan atribut cerdik yang selama ini melekat pada dirinya. Dulu ia bertolak dari hakikat dirinya yang cerdik dan menganggap makhluk lain dungu, kini ia bertolak dari hakikat dirinya yang bodoh dan ini memaksanya mempelajari alam dan makhluk lain untuk mampu mengembangkan strategi sendiri bila berhadapan dengan bahaya. Catatan ini saya tutup dengan pertanyaan, apakah kita punya hak mengatakan "pengarang telah mati", yang adalah judul antologi cerita (pendek) Sapardi sebelumnya (Magelang, 2001, IndonestaTera). Dengan menggunakan catatan ini, saya berharap orang akan dapat bermain dengan dongeng dan mempermainkan dongeng. Tidak hanya mendongengkan dongeng lagi.

Umar Junus, pencinta buku tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003