Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Upaya Mendongkrak Minat Baca

Setiap orang yang mengaku suka membaca, pasti betah berlama-lama di hall tujuh hingga sepuluh Indonesia Convention Exhibition (ICE), Serpong, pada 21 April-2 Mei lalu. Pasalnya, di ruangan seluas 150.000 meter persegi itu tersedia jutaan buku. Para pengunjung bisa berburu buku yang disediakan Big Bad Wolf (BBW) dengan diskon hingga 80% .

Presiden Direktur Big Bad Wolf (BBW) Indonesia, Uli Silalahi, menjelaskan bahwa BBW sudah ada sejak 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia. Bermula dari pasangan Andrew Yap dan Jacqueline Ng yang membuka toko buku sisa penerbitan. Rupanya, bisnis ini banyak peminat.

Karena itulah, Andrew Yap dan Jacqueline Ng menindaklanjuti dengan membuka bazar buku. Semula bazar hanya dalam sekala kecil-kecilan. Buku-bukunya mereka peroleh dengan mengirim proposal ke sejumlah penerbit, termasuk para penerbit besar seperti Penguin, Disney, DK, dan HarperCollins. Yang Mereka minta adalah buku-buku sisa penerbitan.

Ternyata sambutan para penerbit sangat baik. Mereka hanya mensyaratkan, buku-buku itu dijual di bazar, bukan di toko. Saat itulah untuk pertama kalinya BBW berlangsung. Pada tahun ketiga, BBW merambah ke sejumlah daerah di luar Kuala Lumpur, seperti Sarawak dan Johor.

Uli bertemu Andrew pada 2015. Saat itu, BBW sudah punya nama besar di negeri jiran tersebut. ''Waktu dia bilang jualan buku, saya tergerak sekali. Tapi saya sebagai pebisnis tetap berhitung. Saya agak berat. Dengan animo sekarang ini tampaknya tidak mungkin,'' kata Uli, mengenang situasi saat itu

Itu belum lagi ditambah adanya maraknya gawai (gadget) yang membuat orang semakin enggan membeli buku cetak. Toko buku sekelas Book & Barnes saja tutup. Teman-teman Uli pun tak ada yang percaya bahwa bisnis bazar buku bisa mendatangkan keuntungan. ''Saya dibilang gila. Akhirnya saya nekat,'' ujar Uli.

Alhasil, ketika BBW pertama kali diadakan di Jakarta pada April 2016 lalu, pengunjung pun membeludak. Jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Di acara itu, BBW menyuguhkan jutaan buku di ICE selama sepuluh hari. BBW ini punya sejumlah pakem yang tegas: diadakan minimal sepuluh hari, 24 jam, target pengunjung per hari minimal 10.000 orang, diskon besar-besaran (bahkan di Thailand sampai 90%), dan hanya di negara-negara berkembang.

BBW hari ini menjadi sebuah brand yang akan hadir di negara-negara berkembang lain di Asia. Uli menjelaskan, ke depannya, mereka membuka bazar serupa di Cina, Srilanka, Myanmar, termasuk seluruh negara Asia Tenggara. Pengecualian tentu saja untuk negara maju macam Singapura atau Jepang.

Di Indonesia, setelah mendulang sukses di Jakarta, pada Oktober tahun lalu, BBW hadir di Surabaya. Saat di Jakarta pengunjungnya mencapai 300.000, sedangkan di Surabaya 'hanya' 250.000 orang. Untuk BBW Jakarta kali ini, target pengunjung 700.000 dengan 12 hari bazar. Pada hari kesepuluh saja jumlah pengunjungnya lebih dari 500.000 orang. ''Saya rasa ini bukan sekadar tren. Walau menciptakan tren beli buku bagus juga. Tidak mungkin beli buku, lalu hanya dipajang,'' kata Uli.

Patut dicatat bahwa survei UNESCO menemukan bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001%. Artinya, dalam seribu orang hanya ada satu yang memiliki minat baca. Serupa dengan itu, nilai riset Program for Internasional Student Assesment (PISA) rata-rata 493, sedangkan nilai literasi Indonesia hanya 396.

Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah untuk mendongkrak minat baca adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud itu diwujudkan dengan wajib membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai, khususnya bagi siswa SD, SMP, atau SMA.

Memang, kalau dibandingkan dengan negara lain, Permendikbud ini baru mengatur langkah kecil. Di Jepang, anak-anak yang hendak naik kelasnya, diwajibkan membaca 16 judul buku per tahun. Lalu Malaysia serta Singapura mewajibkan enam buku, dan Thailand mengharuskan membaca lima buku.

Indonesia layak prihatin dengan rendahnya minat baca, yang memicu kebodohan dan keterbelakangan. Berdasarkan survei Central Connecticut State University di New Britain yang dirilis pada 2016 lalu, peringkat minat baca Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara (Indonesia berada satu peringkat di atas Botswana). Penelitian itu kemudian menjadi rujukan UNESCO dalam data World's Most Literate Nations.

Selain lewat wajib membaca 15 menit sebelum belajar, upaya mendongkar minat baca juga dilakukan dengan menciptakan iklim yang mendukung tumbuh dan berkembangnya industri perbukuan. Tujuannya, agar masyarakat mendapatkan suguhan buku yang melimpah, kaya judul, dan tentu saja harganya terjangkau. Upaya ini, satu di antara lewat kehadiran kehadiran Undang-undang Sistem Perbukuan (Sisbuk) yang disahkan pada penghujung April lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). UU ini diharapkan membawa angin baru terhadap kemajuan industri perbukuan di Tanah Air.

Anggota Komisi X DPR Sutan Adil Hendra menyebutkan, pengesahan UU Perbukuan ini diapresiasi banyak kalangan, lantaran inisiasi dan wacana dibentuknya UU tersebut sudah digagas dalam dua periode DPR sebelum beleid tersebut disahkan. "UU Sistem Perbukuan ini sudah sepuluh tahun (digagas), berarti sudah dua kali di DPR dibahas. Alhamdulillah sekarang kita bisa rampungkan,'' ujar Sutan yang juga didapuk sebagai Ketua Panja RUU Perbukuan.

Menurut politikus Gerindra ini, pembahasan UU Perbukuan di legislatif memakan waktu cukup singkat, yakni sepuluh bulan pembahasan. Sejak diteken Presiden pada 16 April 2016, DPR langsung tancap gas membahas UU tersebut. Sutan menerangkan, dalam penggodokan tersebut, seluruh fraksi sepakat agar RUU tersebut dirampungkan menjadi undang-undang.

UU itu terdiri dari 72 pasal dan 12 bab. Ide pembentukan UU itu tidak lain adalah untuk mengakomodasi lahirnya buku-buku baru di Tanah Air yang memenuhi tiga kriteria, yakni buku yang bermutu, yang murah, dan yang merata. Sutan menyebutnya 3 M: Mutu, Murah dan Merata.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Awaluddin Tjalla, menyebutkan bahwa poin-poin utama yang disorot UU tersebut di antaranya tentang definisi buku, jenis buku, bentuk buku, dan isi buku. Ada juga menyangkut pengembangan ekosistem perbukuan yang bertanggung jawab melalui pengaturan hak dan kewajiban pelaku perbukuan. Termasuk pula bagaimana kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam ekosistem perbukuan.

Selain itu, katanya, juga dibahas pembentukan kelembagaan sebagai wujud dari wewenang dan tanggung jawab pemerintah yang berada dibawah Kemendikbud. ''Pengawasan yang mempertimbangkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi dan berkreasi,'' sebut Awaluddin.

UU ini hendak mengatur terwujudnya penyediaan buku murah dan terjangkau bagi semua kalangan. Sutan menyebutkan, pemerintah akan menjamin ketersediaan buku buat anak mulai untuk usia balita hingga pelajar. Harapannya kelak, buku untuk usia 0-12 tahun tidak dipungut biaya. Dengan demikian, ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi buta membaca dan minimnya budaya literasi.

Selanjutnya, penyediaan buku yang merata ke semua pelosok daerah. Untuk praktik di lapangan, pemerintah akan menggandeng Perpusnas yang memiliki jejaring hingga ke perpustakaan daerah. UU Sistem Perbukuan yang digodok ini, kata Sutan, akan menjadi solusi atas kekhawatiran insan perbukuan dan penulis buku. Melalui beleid ini, penerbit dan penulis memperoleh jaminan hak dari pemerintah terhadap hak cipta dan kekayaan intelektualnya. ''Di UU ini mereka (penulis) dilindungi haknya, sehingga mereka tidak macam ''hidup-mati'' dalam rangka pengabdiannya menulis buku,'' kata Sutan.

Kritik datang dari Ikapi Pusat. Wakil Ketua Bidang Humas, Riset dan Informasi Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Pusat, Indra Laksana, menyatakan bahwa Ikapi turut berpartisipasi dalam sejumlah forum-forum penyusunan UU Sisbuk. ''Kami sudah secara aktif berpartisipasi dan berkontribusi dalam forum-forum yang memungkinkan kami terlibat. Namun dari hasilnya, ada hal-hal yang kami anggap masih berbeda dari aspirasi kami sebagai insan perbukuan,'' katanya.

Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Ricky Pesik, mendukung kehadiran UU Sisbuk. Ia mengaku, saat ini memang masih ada banyak tantangan dalam industri perbukuan. Mulai dari masalah rendahnya minat baca hingga sistem perpajakan yang banyak dikeluhkan pelaku. Selain itu, ada pula masalah dalam sistem bagi hasil atau konsinyasi, di mana persenan ke toko buku dinilai terlalu besar. ''Banyak pekerjaan rumah dari penerbitan itu,'' kata Ricky ketika ditemui Gatra pada Kamis, 4 Mei.

Awaluddin tidak menutup mata adanya beberapa hal yang dikeluhkan oleh industri perbukuan. Itu ada kaitannya dengan bahan baku, khususnya kertas, mengingat kertas merupakan komponen utama dalam industri perbukuan. Selain itu, industri perbukuan juga mengeluhkan seputar perpajakan.''Terkait dengan pengaturan perpajakan, sudah ada UU yang mengatur tentang hal ini. Oleh karena itu UU Sistem Perbukuan tidak mengatur secara eksplisit tentang pajak,'' katanya. Dengan demikian, insentif fiskal dalam industri perbukuan dalam UU Sisbuk akan diatur dengan peraturan pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ikapi mengaku tak habis pikir kenapa poin soal pajak tak masuk di UU Sisbuk. Masalah pajak dalam industri buku tak semata-mata bagaimana setiap buku itu masih dikenai pajak pertambahan nilai yang sebesar sepuluh persen itu. Semua komponen dalam produksi buku pun kena pajak. Mulai dari kertas yang kena cukai, lalu ketika percetakan hendak membeli kertas terkena pajak, ketika penerbit order barang ke percetakan juga kena pajak, lalu ketika buku sudah masuk ke toko pun masih ada pajak lagi. Semua komponen ini terakumulasi sehingga harga buku pun melambung.

Negara-negara lain banyak yang tak memberikan pajak bagi buku mereka. Malaysia malah sudah melangkah lebih jauh lagi dengan memberikan insentif kepada para siswa yang membeli buku. Indra menyebut, dalam tiap tahun penyelenggaraan Kuala Lumpur Book Fair, seluruh siswa tingkat dasar hingga perguruan tinggi mendapatkan voucher senilai 100-300 ringgit untuk belanja buku.

Bicara soal konsinyasi, CEO Renebook & Turos Pustaka, Luqman Hakim Arifin, mengatakan bahwa saat ini rata-rata persentase keuntungan yang diambil toko buku besar untuk satu barang sebesar 35-50% . Artinya, kalau kita membeli buku di toko seharga Rp 100.000, harga jual dari distributor atau penerbit ke toko buku sesungguhnya hanya sekitar Rp 50.000 . ''Walau besarnya tidak semua sama. Tergantung dari usia penerbit dan usia distributor,'' kata Luqman.

Di sisi lain, ada pula fakta bahwa jumlah penerbitan cetak konvensional semakin menyusut. Maka, kini bisnis penerbitan tidak hanya bicara peluang penjualan. Sekarang, bisnisnya merambah ke konten, bukan semata-mata bisnis buku. Frankfurt Bookfair pun sudah menyatakan ada transformasi, dan meninggalkan istilah buku menjadi konten. Setiap konten itu bisa dikembangkan menjadi bisnis lain, semisal film, komik, dan games.

Melihat tren sebagian masyarakat mulai beralih pola transaksinya dari luar jaringan (luring/offline) menjadi dalam jaringan (daring/online) mendorong Ikapi menawarkan solusi lain. Ikapi berupaya memfasilitasi penerbit dengan membuat toko buku daring berbasis marketplace yang bisa digunakan oleh anggota.

Flora Libra Yanti, Anthony Djafar, dan Andhika Dinata
Majalah Gatra edisi 27 / XXIII / 10 Mei 2017