Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Saat Artikel Bukan Lagi Pilihan

Menjadi wartawan kerapkali dijadikan pilihan oleh sebagian penulis ternama. Hal ini tentu tak mengherankan karena dengan menekuni profesi ini, keterampilan menulis yang dimiliki biasanya semakin terasah.

Seorang Ernest Hemingway (1899-1961) secara resmi memilih profesi ini pada 1917 saat memutuskan bergabung dengan media Kansas City Star, tak lama setelah lulus sekolah menengah. Di media ini, Ernest Hemingway —yang pernah aktif menulis di koran sekolah— belajar banyak soal keterampilan menulis. Keterampilannya semakin terasah saat bergabung dengan media Toronto Star Weekly (1920) serta menjadi koresponden perang selama berlangsung perang di Spanyol (1937) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945).

Selama rentang waktu tersebut, Ernest Hemingway tak hanya melahirkan karya jurnalistik berupa artikel atau berita perang untuk medianya. Dia pun membuat karya non artikel dalam bentuk novel, cerita pendek, dan puisi. Misalnya, kumpulan cerita Men without Women (1927), Three Stories and Ten Poems (1929), novel cinta A Farewell to Arms (1929), Winner Take Nothing (1933), dan First Forty-nine Stories (1939).

Profesi yang pernah dijalani peraih Nobel bidang sastra tahun 1954 tersebut hingga kini masih menjadi jalur yang dipilih beberapa penulis buku di dunia. Tak terkecuali di Indonesia, yang beberapa waktu terakhir menampilkan para penulis muda. Putu Fajar Arcana, misalnya, yang saat ini aktif sebagai staf redaksi desk non berita harian Kompas dan penyunting untuk buku-buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas.

Dalam kegiatan rutinnya sebagai wartawan, Putu yang aktif menulis, khususnya puisi semasa SMA, masih menyempatkan diri untuk menulis cerpen. Bahkan, dalam semalam ia sanggup menyelesaikan dua cerpen. Kini, beberapa karya cerpennya telah dibukukan dengan judul Bunga Jepun. Kumpulan cerpen yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini berisi enam belas cerpen yang ditulis Putu sejak masih bekerja sebagai wartawan pada media lokal di Bali hingga Kompas di Jakarta. Cerpen-cerpen yang dibuat merupakan deretan fakta yang kemudian didramatisasi menjadi fakta yang terbayangkan atau cerita.

Beberapa cerpen yang termuat dalam Bunga Jepun mendapatkan penghargaan. Salah satunya yang berjudul "Para Penari", berhasil memenangkan penghargaan pertama pada lomba penulisan cerpen di Batu, Malang.

Hadirnya buku kumpulan cerpen ini menambah deretan karya Putu sebelumnya, seperti kumpulan puisi berjudul Bilik Cahaya (1997), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Menagerie IV (2000), Bali The Morning After (2000), Bonsai's Morning (1996), The Ginseng (1993), Dari Negeri Poci III (1994), Kembang Rampai Puisi Bali (1999), Amsal Sebuah Patung (1996), dan Gelak Esei Ombak Sajak (2000).

Selain cerpen dan puisi, naskah sinetron pernah pula dihasilkan dari pria kelahiran Negara, Bali, 1965 ini. Bahkan, pada 1993, naskah sinetron yang ditulisnya memenangkan Lomba Menulis Naskah Sinetron di Denpasar. Selain itu, beberapa naskah lain yang ditulisnya pernah dipentaskan di TVRI Pusat dan TVRI Bali. Kini, salah satu obsesi yang ingin diwujudkan Putu dalam waktu dekat adalah menulis novel. Saat ini proses tersebut sedang berlangsung dan telah menyelesaikan dua bab. Ide pembuatan novel ini berasal dari cerpennya yang berjudul "Para Penari".

"Banyak kawan-kawan saya bilang cerpen 'Para Penari' novelty sekali. Maksudnya adalah bahan novel sebenarnya," ujar Putu. Omongan sang kawan rupanya sanggup membuat Putu merenung dan melihat lebih dalam adanya persoalan besar dari "Para Penari", khususnya mengenai perubahan pola pikir atau pandangan orang Bali masa lalu dan sekarang soal penari seiring berkembangnya Bali menjadi objek wisata mancanegara.

Seperti halnya Putu, menulis novel juga menjadi obsesi perempuan kelahiran Caruban, Madiun, 2 Mei 1975, bernama Ana Maryam. Bedanya, Ana yang terlahir dengan nama asli Triana Sari dan saat ini bekerja di rumah produksi Demi Kamu Cretive Works sekaligus redaktur tamu pada tabloid mingguan Lelaki telah menyelesaikan novelnya. Novel tersebut diberi judul Mata Matahari yang diselesaikan Ana sekitar satu setengah tahun termasuk revisi. Novel ini dikerjakan Ana saat masih bekerja sebagai wartawan harian Jawa Pos.

"Ide menulis novel sendiri sebenarnya adalah proses jawaban dari pertanyaan terhadap diri saya sendiri, apakah saya sanggup menulis sebuah novel. Tanpa ada target diterbitkan, pokoknya hanya menulis saja. Tidak saya pungkiri, saya sangat terinspirasi oleh Ayu Utami. Saat saya membaca Saman, saya jadi berpikir, berarti, kita bisa menulis apa pun yang kita inginkan," ungkap Ana yang memperoleh ide menulis novel Mata Matahari sekitar pertengahan tahun 2001.

Dalam novel Mata Matahari yang diterbitkan Penerbit Bentang, Yogyakarta, Ana menampilkan tokoh utama bernama Lola yang memutuskan untuk memiliki anak dari rahimnya sendiri tanpa perlu terikat tali pernikahan. Hal ini dikarenakan Lola lebih mempercayai kesejatian dan keabadian cinta ibu dan anak. Konsekuensinya, sang tokoh utama harus mengalami proses pencarian untuk menemukan lelaki yang kelak menjadi penderma sperma untuknya.

Soal karakter sang tokoh utama, Ana menjelaskan, "Lola adalah cerminan kaum urban sekarang. Anda akan menemukan banyak perempuan yang mirip Lola. Saat ini, banyak sekali perempuan yang lebih terbuka soal seksualitasnya, modern, dinamis, tidak takut terhadap apa yang dipikirkan orang tentang dirinya. Lola, barangkali cerminan dari saya, secara karakter. Tapi seluruh cerita yang terjadi di dalamnya, adalah imajinasi saya. Atau mungkin bahkan harapan saya terhadap kehidupan." Setelah novel, Ana memilih skenario sebagai media ekspresi dirinya. Setidaknya, saat ini ia telah pula menyelesaikan Mata Matahari dalam bentuk skenario dan berkeinginan untuk memfilmkannya, "Saya ingin memvisualisasikan imajinasi saya, Selain itu, saya ingin menulis lagi, dan lagi dan lagi. Sebab saya bisa gila kalau tidak mengeluarkan isi otak saya dalam bentuk tulisan. Selain novel, saya ingin menjadi penulis skenario film. Saat ini, selain sedang menulis novel kedua, saya juga sedang menulis skenario film layar lebar, yang disutradarai Hermawan Riyanto (kakak dari Garin Nugroho, yang selama ini lebih banyak menyutradarai film dokumenter dan iklan)," tutur Ana.

Di luar novel dan skenario, Ana masih belum mengembangkan diri untuk menulis bentuk karya tulis yang lain seperti buku nonfiksi, cerpen, atau puisi. Menanggapi hal ini, Ana hanya berujar, "Saya dulu waktu SMP-SMA sering menulis puisi. Apalagi waktu SMA, saya pimred majalah sekolah. Jadi, saya punya wadah untuk mencurahkan puisi saya. Tapi saat saya sudah bekerja, saya agak kesulitan menulis puisi. Nggak tahu kenapa. Apalagi cerpen. Saya beberapa kali berusaha menulis cerpen, tapi selalu gagal total. Sebab saya selalu ingin menuliskan semuanya secara panjang lebar dan beromantik ria."

Berbeda dengan Putu dan Ana yang memilih karya fiksi sebagai media ekspresi, Hikmat S. Tanuwijaya lebih memilih menyusun sebuah karya non-fiksi, Pria kelahiran Bogor, 3 Mei 1974 yang sehari-hari bekerja sebagai salah seorang redaktur harian Media Indonesia tersebut menulis buku tentang sepakbola Liga Italia yang diberi judul Saksi Mata Liga Italia. Buku tersebut diterbitkan Penerbit Dian Rakyat dan merupakan hasil kolaborasinya dengan wartawan yang juga pengamat sepakbola, khususnya Liga Italia, Rayana Jakasurya.

Dalam buku ini dipaparkan data yang meliputi skor pertandingan, top score, pemain termahal dan tulisan "kesaksian" yang menyeluruh soal Liga Italia selama satu dekade (1990-2000). Menurut Hikmat S. Tanuwijaya yang menyusun buku tersebut saat masih bekerja sebagai staf redaksi majalah PC Media, "Buku merupakan media ideal bagi saya untuk mengekspresikan ide-ide saya yang tak akan selalu dapat diwujudkan dalam media tempat saya bekerja. Terlebih lagi, cita-cita saya adalah menjadi penulis."

Saat ini, Hikmat yang mengaku memiliki beberapa materi plus konsep untuk dibuat buku tengah menjajaki penulisan buku dengan salah satu penerbit di Bandung. Namun, penggemar berat olahraga sepakbola ini mengungkapkan bahwa ia masih belum bisa mewujudkan ide-idenya dalam bentuk cerpen atau puisi.

Menulis non artikel di sela-sela kegiatan sebagai jurnalis juga dilakukan Ihsan Abdul Salam saat dirinya masih bergabung di majalah Matra. Selama menekuni pekerjaan tersebut, ia telah menghasilkan buku kumpulan sajak berjudul Pura-pura dalam Perahu (ditulis bersama rekannya Rizal), Surat Cinta, dan Seikat Kata yang Beku. Ketiga buku tersebut diterbitkan Komunitas Bambu, sebuah organisasi terbuka nirlaba yang bergerak di bidang kebudayaan.

"Sebenarnya saya menulis bukan hanya sajak, tapi lainnya. Tapi buku yang kelihatan baru sajak saja," ujar Ihsan saat ditanya mengapa hanya menulis sajak. Bagi pria kalem kelahiran 3 September yang belum mau menyebut tahun kelahiran ini, menghasilkan karya yang dibukukan merupakan obsesi yang selalu menyeruak dalam dirinya.

"Buku kan tidak lekang oleh zaman. Tidak seperti media lainnya, sepertinya begitu. Mungkin suatu waktu meluas. Tapi saya ingin saat ini fokus hanya pada buku. Bukan koran atau lainnya," ungkapnya.

Oleh karena itu, Ihsan yang telah meraih beberapa penghargaan untuk menulis (juara penulisan sajak di FSUI, juara penulisan esai untuk sebuah kedutaan di Indonesia, dan peraih nominasi Khatulistiwa Award 2002) berharap suatu waktu ia punya waktu yang bebas untuk menulis banyak karya, sekaligus ada yang membiayai.

Tempaan lewat jalur jurnalistik setidaknya banyak membantu Ernest Hemingway untuk menyelesaikan beberapa karya yang melegenda. Beberapa di antaranya masuk deretan buku paling berpengaruh (most influential books) di dunia, seperti For Whom the Bell Tolls dan The Old Man and the Sea. Bahkan, The Old Man and the Sea yang mengisahkan pengadilan seorang nelayan Kuba membuat Ernest Hemingway dinobatkan sebagai peraih Nobel bidang sastra.

Akankah tempaan serupa bakal membuat sosok penulis, seperti Putu, Ana, Hikmat, dan Ihsan sanggup menjadi "Ernest Hemingway" negeri kita?

Agus Setiadi, Pertcinta buku dan film
Majalah Mata Baca Vol. 2/No.2/Oktober 2003