Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Read'O Tourism (Wisata Baca)

Mengisi liburan dengan jalan-jalan ke tempat menakjubkan, lokasi berpemandangan indah, tempat hiburan yang unik dan mewah, dan belanja barang-barang bermerk memang mengasyikkan. Namun, pernahkah kita berwisata karena hanya ingin baca buku? Sebagai orang yang kecanduan dengan bahan bacaan, tak kuasa rasanya ingin mengenal budaya lain dengan bepergian ke luar negeri. Tujuannya bukan untuk jalan-jalan melihat lokasi-lokasi wisata, melainkan mengunjungi pusat-pusat buku di negara-negara tersebut.

Kesempatan ini saya dapatkan ketika harus menghadiri Asian Resource Foundation Council Meeting di Bangkok. Bermodalkan dana pas-pasan dan perangkat ala backpacker, saya memilih untuk menuju Bangkok lewat Malaysia. Selain lebih hemat, saya bisa mendapatkan pengalaman tambahan di Negeri jiran tersebut. 

Saat itu bulan Februari, bulannya cinta. Saat yang tepat untuk berkelana ke negeri Asia Tenggara. Bukan untuk bercinta dengan manusia, tapi bercinta dengan buku, mata air ilmu pengetahuan.

Singkat cerita, selamatlah saya menginjakkan kaki di Bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Mewah, megah, dan menakjubkan. Tak berani saya membandingkan dengan Soekarno-Hatta di Cengkareng. Mungkin Changi Airport di Singapura dan Dong Muang di Thailand boleh jadi perbandingan.
Sahabat saya di sana, Ahmad Rizal —sesama pencinta buku— telah menanti dan berjanji akan mengantar saya ke penginapan bertarif rendah: RM10 per malam. Tempat itu adalah Majelis Belia dan Sukan atau dalam bahasa Inggris Center for Youth and Sport, semacam Youth Hostel di Taman Mini Indonesia Indah.

Kelar menaruh barang-barang bawaan yang hanya berupa dua tas ransel besar, saya langsung menuju Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Di sana saya bertemu dengan Ketua Departemen Politik, Cik Dr. Ahmad Nizam Sulaiman. Saya akrab dengan beliau sejak perkenalan kami pada pertukaran pelajar yang diberi nama South East Asia Regional Exchange Program (SEASREP) di Bali, Mei 2002.

Sebagai seorang doktor lulusan Inggris, tentu beliau sangat sibuk sehingga saya dipercaya menjadi kuncen ruang kerjanya selama ia mengajar. Mata saya Iangsung terpana ketika melihat lebih dari 500 buku terjajar di rak bukunya. Walau agak kurang rapi, saya tetap nyaman memperhatikan koleksi buku tersebut. Mata saya beberapa kali terhenti pada buku Mahathir and Mahathirsm, Konfrontasi, A History of Southeast Asia, dan banyak buku lainnya. Lalu saya tarik keluar sebuah buku berjudul Remaja dan Budaya karangan Robiah Kulop Hamzah.

Remaja adalah sebagian dari golongan pemuda, sedangkan ada yang bilang, "Apabila ingin mengukur peradaban suatu negeri, lihatlah adab pemuda di negeri tersebut." Memang peradaban tak pernah lepas dari soal budaya tulis-menulis dan membaca. Dengan posisi Malaysia yang berada di peringkat ke-58 dalam Human Development Index 2003, membaca mungkin sudah mulai meresapi jiwa remaja Malaysia. Dan buku merupakan alat bantu efektif untuk mengkonfirmasi asumsi saya tersebut.

Belum puas menikmati koleksi Cik Nizam, saya ditarik keluar ruangan oleh seorang wanita keturunan Cina, Sophia Lim. Ia salah satu mahasiswa S2 yang dibimbing Cik Nizam, Jangan heran apabila Cik Nizam dan Sophia sangat akrab, walaupun berbeda ras. Malaysia sudah merumuskan metode pembauran yang relatif berhasil sejak kerusuhan Mei 1969. India dan Cina mengisi sekitar 50% dari seluruh populasi negeri yang dipimpin Mahathir Mohammad selama 22 tahun tersebut. Dr. M —julukan Mahathir Mohammad— juga menyumbangkan pemikiran tentang pembauran lewat karyanya, The Malay Dilemma. Sophia mengajak saya ke Perpustakaan Tun Seri Lanang: perpustakaan pusat di UKM.

Herannya, pustakawan yang pertama saya temui ternyata asli Yogya, masih fasih bahasa Jawa. Sophia Lim menjelaskan alasan saya mengunjungi Malaysia, yaitu berwisata membaca. Tanpa buang waktu, si pustakawan menjelaskan seluk-beluk perpustakaan tersebut dan mengajak saya keliling lantai dasar.

Pencarian koleksi dilakukan dengan sistem bernama VIRTUA, sedangkan di kampus saya —Universitas Indonesia— sistem yang dipakai bernama OPAC. Lantai pertama diisi dengan TV layar datar 50 inci yang sering menayangkan siaran CNN atau BBC. Bagian ruangan tersebut dilengkapi dengan sofa dan dirancang layaknya ruang keluarga.

Lantai kedua terdiri dari laboratorium bahasa, mikrofilm, CD, VCD, video, dan peta-peta, sedangkan lantai ketiga berisikan jurnal atau terbitan berseri, termasuk 4.500 jurnal elektronik yang dilanggan via internet. Perpustakaan ini juga memiliki koleksi koran-koran lama. Koleksi korannya dimuiai sejak edisi 1983.

Lantai keempat dilengkapi kembali dengan TV layar lebar dan layar datar serta beberapa komputer yang semuanya hasil sumbangan Samsung. Lantai ini juga berfungsi sebagai tempat peminjaman dan pengembalian koleksi perpustakaan.

Hal yang menggembirakan ialah perpustakaan ini buka hingga pukul 22.30 tiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu. Pada akhir pekan, perpustakaan tutup pukul 18.00. Pada saat-saat mendekati ujian, perpustakaan ini akan dibuka lebih lama lagi, bahkan hingga pukul 00.00. Masa libur semester pun perpustakaan tetap buka hingga pukul 18.00. Satu-satunya saat perpustakaan ini tutup total ialah Sabtu-Minggu pertama tiap bulannya.

Puas? Tentu belum. Dalam waktu dua bulan pun, saya belum tentu bisa menghabiskan seluruh buku di perpustakaan ini. Saya Iangsung mengincar jurnal-jurnal ekonomi yang tidak pernah saya jumpai di perpustakaan di Tanah Air. World Executive Digest, menjadi pilihan untuk saya baca saat itu.

Mengapa? Dalam edisi Januari 1998, terbitan berkala tersebut memuat artikel bertajuk "The Best Ideas for 1998". Walau sudah lima tahun lalu, saya yakin sembilan puluh delapan ide yang terdapat di dalamnya masih ada yang relevan. Menurutsaya, idelah yang menggerakkan dunia. Tanpa ide, orang takkan mengubah cara hidup. Tanpa ide, tentu tak ada yang namanya materi. Soalnya, Plato bilang materi itu adalah kreasi dari idea.
Wisata baca saya berlanjut ke Perpustakaan Negara. Namun, saat itu mentari sudah pamit diri, rembulan kini jadi penerang di atas langit biru Malaysia. Kini saatnya saya membaca sastra. Sastra Melayu diakui sebagai salah satu sastra terbaik di dunia, bahkan sejarah orang-orang Melayu yang tersebar baik di Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, bahkan Filipina, harus ditelusuri lewat karya sastra bertajuk Hikayat Melayu. Tak jauh dari Perpustakaan Negara, ada sebuah gedung megah yang diperuntukkan khusus untuk pementasan drama. Saya lupa apa judul pertunjukan malam itu, namun kawan-kawan bilang bahwa grup yang sedang tampil berasal dari Kelantan. Dialek Kelantan tak semudah dialek Kuala Lumpur sehingga agak sukar untuk dipahami. Agaknya, rmereka menampilkan pertunjukan bertema kawin paksa. Dengan demikian, membaca bukan hanya literal melainkan bisa juga visual, dan pertunjukan ini masuk dalam agenda wisata baca saya.

Bicara soal membaca secara visual, keesokan harinya saya berangkat ke Malaka. Tujuannya untuk membaca sejarah Malaysia dan Indonesia secara visual. Malaka, pelabuhan yang menorehkan nama dalam catatan sejarah dunia sebagai pelabuhan terpenting sebelum kedatangan Portugis tahun 1511, masih dirawat keaslian arsitekturnya. Saya membaca Hang Tuah dan Hang Jebat secara visual di sini. Lalu membaca kelakuan Portugis dan Kesultanan Malaka di abad ke-16. Saya membaca tulisan yang terukir di batu setebal 30 cm dan berbentuk kotak 1,5 x 1 meter di bekas makam Fransiskus Xaverius. Orang ini adalah penyebar Kristen terpenting di wilayah Asia Tenggara.

Waktu tak berpihak pada saya. Council Meeting di Bangkok sudah makin dekat. Wisata baca di Malaysia untuk sementara ditutup sampai di Malaka. Dari stasiun bus Pudu Raya, saya menumpang bus tujuan Hat Yai, Kota itu adalah wilayah perbatasan Malaysia-Thailand. Selama di bus, saya mulai menyibak-nyibak halaman-halaman buku Thailand, Eyewitness-Travel Guide. Buku yang bermoto "The Guides That Show You What Others Only Tell You" ini memang penuh informasi. Dia memberikan pengetahuan tentang Negeri Gajah Putih yang sebelumnya mengalami dua fase kerajaan, yaitu Sukothai, Ayutthaya, dan kemudian baru Thailand. Buku tersebut juga memberikan gambaran bahwa kebudayaan Thailand terpengaruh oleh Sri Lanka dan Khmer (Kamboja). Yang pasti, buku tersebut mewanti-wanti bahwa Bangkok adalah kota rawan macet dan juga rawan banjir! Lihatlah, betapa buku dapat memberikan sesuatu yang dulu tak pernah kita ketahui dan kita duga sebelumnya. Saya pikir, cuma Jakarta saja yang rawan kedua hal tersebut.

Sampai di Hat Yai sebenarnya saya bisa naik kereta ke Bangkok, tapi jam ketibaannya masih lama. Saya putuskan untuk naik bus lagi dari Hat Yai ke Bangkok. Oh ya, apa yang saya baca secara visual di Hat Yai? Saya membaca bahwa kota ini banyak dihuni oleh warga keturunan Cina dengan kemahiran bahasa yang luar biasa. Paling tidak, mereka mesti menguasai bahasa Melayu, Thai, dan Inggris. Bahasa Perancis dan Jerman juga dikuasai beberapa orang di kota ini. Bayangkan betapa bahasa dapat membuat kota ini begitu disenangi oleh backpacker dari berbagai belahan dunia. Sampai-sampai Chris Rowthorn dan kawan-kawan, tak lupa menaruh Hat Yai di halaman 840 dalam Lonely Planet, Southeast Asia on a Shoe String, terbitan tahun 2001. Lalu apa yang saya baca secara literal di kota perbatasan ini? Lonely Planet tentunya. Buku yang dijuluki Yellow Bible ini memudahkan saya merencanakan apa yang harus saya lihat dan bagaimana menuju lokasi tersebut.

Pukul 19.00, saya memasuki kota Bangkok. Lama sekali rasanya. Bayangkan, selama 12 jam perjalanan dari Hat Yai ke Bangkok, tak satu pun penumpang yang dapat diajak bicara. Maunya sih, bisa ngobrol-ngobrol cari kenalan dengan sesama penumpang bus. Sayangnya, orang yang duduk di samping saya orang Thai tulen, tak bisa berbahasa Inggris sama sekali.

Sesampainya di Bangkok Southern Bus Station, saya langsung dijemput oleh salah satu panitia. Tujuan pertama bukan hotel, melainkan tempat makan karena rasanya perut saya sudah keroncongan. Restoran itu berada di depan Phra Sumen Fortress, dekat Khaosan Road. Usai makan dan beramah-tamah dengan panitia lain, saya langsung keluar dan melihat-lihat taman yang mengelilingi benteng tersebut. Jangan bandingkan benteng tersebut dengan benteng di Yogyakarta atau Makassar. Ukurannya hanya sekitar 50 x 50 meter dan berbentuk persegi delapan.

Apa lagi yang saya temukan? Di pojok tembok luar benteng tersebut berdiri dua lemari kayu yang dijejali buku, koran, dan majalah. Tanpa pikir panjang, segera saya hampiri tempat itu dan mulai memeriksa koleksinya. Salah satu panitia memberi tahu bahwa bahan bacaan itu disediakan oleh pemerintah setempat agar taman tersebut dapat sekaligus berfungsi sebagai taman bacaan. Itulah Bangkok, ibu kota Thailand. Kota yang mungkin melahirkan separuh dari 9.459 orang bergelar doktor dan 74.315 orang bergelar master di Thailand pada 2000.

Keesokan harinya, saya melakukan wisata visual kembali. Kali ini ke kota lama Ayuthaya. Kota yang dibangun pada 1350 ini memiliki banyak wat atau candi. Arsitekturnya dipengaruhi oleh bangunan Chedi di Sri Lanka dan Phrang di Kamboja. Dulu, seluruh wat di kota ini dilapisi oleh emas. Namun, sejak penyerangan oleh tentara Burma di tahun 1767, kabarnya seluruh emas dilelehkan dengan cara dibakar dan dibawa ke Burma. Dari mana saya tahu semua ini? Lagi-lagi dengan membaca. Semua berita itu tertulis di brosur dan papan informasi yang terpampang hampir di seluruh lokasi.

Hawa panas dan jarak yang agak jauh memaksa saya balik ke Bangkok. Saya harus beristirahat. Namun, sesampainya di hotel, saya malah disuguhkan tumpukan novel berbahasa Inggris di lobi hotel. Karya Hemmingway, Sidney Sheldon, dan Charnvit Kasetsiri —sejarawan Thailand— menyita perhatian saya dan menghilangkan kelelahan sejenak.

Pagi tiba, Council Meeting masih satu hari lagi. Kami dikumpulkan untuk membuat draf agenda acara yang menyangkut presentasi dan diskusi. Asian Resource Foundation (ARF) bukanlah organisasi politik. ARF adalah wadah saling berbagi untuk para pekerja sosial. Oleh karena itu, draf acara selesai dibahas tak lebih dari dua jam. Saya tak boleh membuang waktu. Saya mesti ke Grand Palace. Tempat ini seperti Monas-nya Bangkok, wajib dikunjungi. Dengan tampang sok lugu dan tak mengucap sepatah kata pun, saya berhasil lolos melewati pintu khusus orang Thai, Sebenarnya orang asing harus membayar 20 Baht, tapi orang Thai boleh masuk dengan gratis! Tampang orang Asia Tenggara yang lumayan mirip satu sama lain, ternyata membawa manfaat. Lumayan, menghemat pengeluaran.

Pembacaan visual saya diasah lagi ketika terpana oleh lukisan yang menghiasi sekeliling dinding istana ini. Lukisan yang terdiri dari 178 panel ini bercerita tentang kisah Ramakien, atau kita mengenalnya dengan kisah Ramayana. Sebagai simbol ibu kota, bangunan yang dibangun pada 1782 ini juga punya kuil tempat beribadah para penganut Buddha. Kuil tersebut bernama Wat Phra Keo. Di dalamnya disimpan patung Emerald Buddha yang tiap berganti musim mesti diganti warna pakaiannya. Menjelang sore, saya bergegas ke Universitas Thammasat. Kebetulan saya punya kenalan. Di sana terdapat kelas Bahasa Indonesia di bawah Departemen of Southeast Asia. Ia langsung membawa saya ke Perpustakaan Pridi Panomyong.

Bangunan ini terletak di bawah tanah dan terdiri dari tiga tingkat. Lantai pertama ialah lantai teratas dan lantai tiga terletak di paling bawah. Posisinya persis di samping Sungai Chao Phraya, kanal air yang membelah kota Bangkok. Seluruh ruangan dilengkapi dengan AC (air conditioner) dan manajemen dikelola oleh orang kulit putih. Penggunaan OPAC dilakukan dengan posisi berdiri.

Di pojok lantai pertama perpustakaan ini terdapat koleksi surat kabar internasional. Jumlahnya lumayan banyak, menunjukkan keinginan pihak pengeiola mendorong mahasiswa Thammasat untuk mengetahui keadaan global. Pengelola berlangganan antara lain Information World Review, Le Monde, New York Review of Books, London Review of Books, Reading Today, The Time Literary Supplement. Selain itu, International Herald Tribune dapat kita konsumsi setiap hari yang dikombinasi dengan koran berbahasa Inggris terbitan lokal, The Nation dan Bangkok Post.

Saya kemudian turun ke lantai dua. Saya temui buku-buku khusus berbahasa Thailand. Di lantai ini pula saya temukan bagian penyimpanan koran-koran berusia tua. Koleksi buku tentang Asia Tenggara hanya dua baris dalam satu rak. Mengejutkan! Koleksi buku tentang Indonesia berjumlah satu rak buku penuh. Bahkan, dokumen fotokopi dari Cornell Papers —dokumen yang berisi analisis Peristiwa 30 September/1 Oktober 1965— dapat ditemukan di sini.

Jenuh dengan kegiatan membaca? Di lantai itu juga tersedia fasilitas audiovisual. Berbagai jenis VCD, CD, atau kaset video model VHS atau Beta dapat dinikmati lengkap dengan player dan headphone. Film-film terbaru atau box office dapat ditemukan dalam koleksi perpustakaan audiovisual ini. Film-film dokumenter tentang pergerakan mahasiswa semacam Tragedi 14 Oktober 1973 juga terdapat di antara koleksi tersebut. Di bagian paling belakang lantai ini terdapat koleksi microform dan sound lab (sejenis laboratorium bahasa).

Lantai ketiga ialah lantai terbawah dari bangunan bawah tanah ini. Lantai ketiga dikhususkan untuk koleksi buku berbahasa Inggris. Fasilitas internet dapat digunakan dengan cuma-cuma, tapi dengan pergiliran waktu pemakaian (1 jam maksimal) dan tidak diperbolehkan melakukan download. Oh ya, jangan sekali-kali menerima telepon lewat HP di dalam ruangan baca, dilarang keras! Mereka yang ingin menerima telepon harus keluar ruangan dan berbicara di balkon yang disediakan di tiap lantai.

Puas dengan wisata buku hari itu? Tidak! Jelas tidak! Masih ada perpustakaan Universitas Chulalongkom yang belum saya kunjungi. Namun, saya bukan turis di sini, saya berada di negara ini untuk mempresentasikan makalah tentang anak-anak Indonesia. Saya harus mempersiapkannya sebelum besok Council Meeting dimulai. Rencananya, saya juga akan mampir ke Singapura usai Council Meeting. Negara yang bersimbol Merlion ini punya beberapa toko buku berkualitas dan berharga murah sehingga sempat dijuluki A Heaven for Bookworms oleh The Jakarta Post.

Karena motifnya wisata baca, suvenir yang saya bawa pulang tak lain dan tak bukan buku! Lusinan buku, baik yang saya beli maupun diberi kawan, mengisi ransel hitam yang saya tenteng itu. New Deal for Asia, Mahathir's Paradigm Shift, dan karya Hishamuddin Rais —seorang oposan UMNO— Pilihan Raya atau Pilihan Jalan Raya adalah beberapa buku yang saya dapat di Malaysia. Sementara karya fiksi, seperti A Thai Short Story dan Time karangan Chart Korbjitti adalah sebagian dari buku yang saya peroleh di Thailand.

Dari cerita ini, wisata baca bisa juga menjadi alternatif pilihan untuk jalan-jalan ke luar negeri. Jadi, tunggu apalagi? Mulailah berwisata membaca!

Tubagus Arie Rukmantara, pencinta buku dan staf Laboratorium llmu Potitik FISIP UI.
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 2/ Oktober 2003.