Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan dan Buku

Buku merupakan salah satu media massa yang berfungsi memberikan informasi, sumber pengetahuan, dan wadah penyaluran aspirasi, pikiran, pendapat, bahkan perasaan sekalipun. Sebagai sebuah media yang bisa diakses secara luas oleh publik, buku dengan fungsinya mempunyai posisi penting dalam pembentukan budaya. Padahal, saat ini seluruh elemen pembentuk budaya di masyarakat, tidak bersifat netral atau didominasi oleh struktur dan kultur yang "berkuasa" dalam kemapanan, yakni struktur dan kultur patriarki.

Kemapanan kuasa patriarki dalam dunia perbukuan membawa ekses bagi perempuan baik secara kultural maupun struktural. Akibat negatif yang menimpa perempuan karena dunia perbukuan yang diformat "sangat lanang" ini sering kali tidak disadari oleh insan dan pemerhati perbukuan, bahkan sebagian orang menganggapnya "mengada-ada persoalan". Untuk itu, kita perlu melihat secara kritis dengan menggunakan analisis yang berperspektif gender dalam melihat fenomena perbukuan di Tanah Air.

Perempuan yang secara kultural sudah dianggap unintelectual, jauh dari tradisi intelektual dan keilmuan karena stereotip irasional pada perempuan, semakin terpuruk karena perempuan juga berposisi marjinal di dunia perbukuan. Industri perbukuan yang identik dengan aktivitas produksi lebih dekat dengan (dikuasai) dunia laki-laki, karena ideologi gender secara bias telah menempatkan peran perempuan pada aktivitas reproduksi. Peran reproduksi dianggap tidak bernilai ekonomi sama sekali, meskipun peran ini telah melahirkan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri itu sendiri. Selain itu, peran reproduksi ini dikaitkan dengan peran domestik yang dianggap tidak memerlukan landasan ilmiah karena bersifat alamiah, intuitif, dan keterampilan saja, sehingga dalam dunia keilmuan dan pendidikan, perempuan juga diposisikan subordinat dari laki-laki. Sejak kecil, pola asuh dan pendidikan orang tua pun sudah lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Bila orang tua mengalami keterbatasan kemampuan secara ekonomi untuk menyekolahkan anak-anaknya, dana pendidikan yang terbatas tersebut akan diutamakan untuk anak laki-laki. Kondisi ini menjauhkan perempuan dari buku sebagai faktor penting dalam sistem pendidikan dan tradisi keilmuan.

Secara struktural pun, dunia perbukuan lebih mind set patriarkis, sehingga dalam posisi inferior ini sulit bagi perempuan untuk meningkatkan perannya secara kuantitatif ataupun kualitatif. Bagaimana bisa mengharapkan dan mengandalkan buku sebagai media pemberdayaan perempuan, bila konstruksi struktur di dalam proses penerbitan buku tidak sensitif terhadap isu-isu perempuan atau kesetaraan gender. Bahkan, isu perempuan sering kali diangkat dalam buku dengan alasan yang sederhana, yakni sebagai daya tarik atau penglaris komoditas industri buku atau yang Iebih parah menjadikan perempuan sebagai komoditas itu sendiri. Atau kalaupun seorang penulis perempuan diorbitkan oleh penerbit, sering kali bukan kualitas materi tulisannya yang ditonjolkan, melainkan faktor "fisik" (baca: "wangi") yang lebih dipromosikan. Padahal, secara kualitas pun materi tulisannya memang berbobot dan layak diangkat ke permukaan. Dengan demikian, "buku" bisa sangat berpotensi mendiskreditkan perempuan atau sebagai media yang melakukan kekerasan psikis dan sosial terhadap perempuan.

Dalam manajemen penerbitan sendiri, masih sedikit penerbitan yang berpedoman pada manajemen yang berwawasan gender. Boleh jadi top leader sebuah penerbitan adalah seorang perempuan, namun belum tentu kebijakan manajemennya juga berwawasan gender. Sebaliknya, seorang laki-laki yang menjadi pemimpin penerbitan, namun kebijakan manajemennya justru berperspektif dan sensitif gender.

Persoalan gender bukanlah persoalan jenis kelamin, melainkan persoalan pembagian peran yang adil dan proporsional yang dikonstruksi secara sosial, tidak by nature. Manajemen penerbitan yang sudah lama dibentuk sebagai industri yang sangat maskulin, tanpa disadari memang sering memberi peran inferior kepada perempuan. Jarang sekali dalam bidang jurnalisme, baik cetak maupun elektronik, dan juga khususnya buku, menempatkan perempuan sebagai pengambil kebijakan keredaksian (redaktur/dewan redaksi). Posisi inferior dalam pengambilan kebijakan keredaksian ini menyebabkan perempuan tidak bisa turut menentukan isi dan agenda buku-buku yang akan diterbitkan oleh penerbitan. Bisa dibayangkan, betapa perempuan semakin tidak memiliki media untuk menyampaikan pikiran dan pengalaman serta pengetahuannya sebagai perempuan, apalagi menguasai media.

Perempuan menjadi kelompok minoritas dalam dunia perbukuan, atau untuk tidak menyebutnya sebagai objek dalam dunia buku kita. Situasi inilah mungkin yang menyebabkan rendahnya tradisi baca dan kepenulisan di kalangan perempuan. Selain itu, juga minimnya motivasi atau minat perempuan untuk mengetahui perkembangan perbukuan. Sebagai contoh kasus, lihat data profil konsumen pengunjung Pesta Buku Jakarta 2001 (MATABACA, Edisi Perkenalan Agustus 2002). Data tersebut menunjukkan bahwa pengunjung pesta buku lebih banyak kaum lelaki (53,1%) daripada kaum perempuan (46,9%).

Setelah proses produksi buku selesai, perempuan pun mengalami diskriminasi dalam manajemen distribusi buku karena anggapan perempuan lemah secara fisik sebagai sales marketing dan tidak paham buku. Manajemen distribusi ini, semakin memperlemah perempuan dan tidak memberi peluang baginya untuk mengembangkan konsumen buku di kalangan perempuan sendiri.

Bila perempuan sudah sangat terpuruk secara struktural dan kultural dalam kancah perbukuan, sangat sulit diharapkan perempuan bisa menguasai informasi dan pengetahuan. Padahal, menurut Foucault, relasi kuasa dan pengetahuan sangat kental. Siapa berkuasa, dia menguasai pengetahuan, yakni mengakses dan menyebarkan informasi dan pengetahuan. Selama ini, laki-lakilah yang berkuasa secara kultur dan struktur dalam segala segmen kehidupan, khususnya perbukuan. Untuk itu, tugas menjadikan buku sebagai media yang lebih sensitif gender bukan hanya tanggung jawab perempuan, melainkan juga tanggung jawab laki-laki. Pemberdayaan perempuan melalui buku hanya bisa dilakukan dengan kesadaran kolektif, bersama-sama antara laki-laki dan perempuan.

Sekarang ini, peran perempuan dalam dunia perbukuan sudah semakin meningkat. Akan tetapi, apakah peran tersebut mampu mewarnai corak perbukuan di Tanah Air. Atau hanya sekadar berperan, tapi tidak mampu berbuat banyak dalam menentukan kebijakan? Kebijakan perbukuan yang diambil tanpa melibatkan perempuan, akan semakin menempatkan perempuan dalam sisi dan tempat yang sangat jauh dari buku. Sering kali karena anggapan bahwa perempuan mempunyai tanggung jawab domestik dan reproduksi, yakni fungsi pemeliharaan, manajemen penerbitan tidak memberi peluang yang sama bagi perempuan untuk berkiprah sebagaimana laki-laki. Dengan demikian, semakin sedikit kesempatan bagi perempuan untuk meraih prestasi, kesempatan, pengetahuan, dan pengalaman di dunia kerja penerbitan yang sama dengan laki-laki.

Pada dasarnya, belum ada pedoman yang baku tentang manajemen berwawasan dan berkeadilan gender dalam penerbitan atau dunia jurnalistik. Namun, ada beberapa analisis dan evaluasi yang bisa dilakukan terhadap sebuah penerbitan untuk mencobakan manajemen yang lebih berwawasan gender, seperti yang disampaikan Atik Nurbaiti: (1) kuantitas partisipasi perempuan; (2) kualitas isu perempuan yang diangkat dalam media; (3) manajemen dan kebijakan yang dipakai (Manajemen dan Kebijakan Redaksional Berdasarkan Keadilan Gender, 1998).

Analisis lebih jauh lagi, dalam tradisi perbukuan kita, buku-buku yang lahir dari penulis asli Indonesia yang menggambarkan atau menceritakan perempuan, masih mengidentikkan perempuan dengan citra yang dibangun oleh budaya patriarkis, seperti perempuan itu keibuan, halus, harus cantik, dan patuh. Citra inilah yang akhirnya tanpa disadari membentuk gaya dan pola hidup perempuan. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana jika buku-buku yang tidak sensitif gender ini diwariskan secara turun-temurun kepada generasi penerus kita. Dunia yang tercipta adalah dunia yang sangat male, seperti yang kita alami sekarang ini. Dengan demikian, buku termasuk agen distribusi pengetahuan yang sangat penting dalam kehidupan kita.

Harus diakui bahwa peranan media, termasuk buku, memang mampu mengubah dunia. Kekuatan potensial inilah yang harus dimanfaatkan bersama untuk mewujudkan dunia yang adil dan damai. Manifestasi ketidakadilan gender dalam media, terutama buku, harus dilenyapkan karena membunuh kepercayaan dan jatidiri perempuan sebagai manusia. Buku sebagai media pendidikan jelas mempunyai tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa melihat jenis kelamin.

Oleh: Khotimatul Husna, editor dan pemerhati masalah gender
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003