Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menulis Jejak, Membuat Makna

Dalam sebuah buku, ada banyak hal yang bisa diharapkan, termasuk kebaruan, keragaman tema, dan gagasan. Bahkan di novel atau buku utuh sekalipun, yang biasanya berusaha sekeras mungkin fokus pada satu hal dan figur tertentu, kesan atau hikmah bermacam-macam itu tetap saja mungkin muncul. Memang bisa jadi sulit betul-betul fokus pada satu tema terus mendalaminya sampai titik penghabisan bahasan, sebab ketika mendalami itu, justru muncul nuansa, tingkatan, atau gradasi. Dengan begitu, sebuah tema besar atau sebuah gagasan tertentu yang ingin didalami jadi sukar dibatasi atau diwakili oleh kata tertentu.

Mari ambil contoh, mencoba fokus pada tema "sastra" misalnya. Ada banyak yang dapat ditawarkan penulis terhadap tema itu, apakah karya, kritik, tokoh, pengaruh, gerakan, makna, nilai, dampak, termasuk wilayah-wilayah yang bisa jadi memang bersinggungan erat dengan hal itu, misalnya hubungan sastra-budaya, sastra-politik, sastra-masyarakat, sastra-filsafat, dan sastra-agama. Jika mau, penulis bisa mengambil salah satu isu untuk dibahas sedalam-dalamnya, sampai ke akar-akar unsurnya, hingga yang renik-renik, bisa sangat rinci atau bahkan dengan sorotan tajam, memfotonya dengan pembesaran sehingga pembaca bisa menilai kemampuannya menerangkan atau menjelaskan yang ia ketahui. Bisa juga dia mengambil semua isu tersebut memberikan informasi sekilas-sekilas, mencarikan yang komprehensif, memilihkan yang jarang diketahui pembaca umum, menawarkan sejumlah kebaruan, meneropong gejala yang tumbuh di suatu masa atau lingkungan, atau memperkenalkan sejumlah nama, peristiwa, juga pemaparan dan penafsiran baru.

Pendekatan berbeda itu memang melahirkan pemahaman berbeda pula. Pada pendekatan pertama sangat mungkin pembaca akan tahu seluk-beluk seluruh persoalan yang ditawarkan. Meskipun sering merupakan perjalanan yang berat dan membuat capai, jika dilakukan dengan baik, toh akan tetap mengasyikkan. Pada pendekatan kedua, pembaca diajak berjalan-jalan secara singkat, berkeliling ke sebuah taman yang indah, menerangkan yang dilihat dengan cara mengesankan, memaparkan dengan bahasa yang semoga dapat dimengerti oleh kebanyakan peserta avonturisme itu. Meskipun sekejap, jika dilakukan ke banyak tempat dan dengan bekal memadai, perjalanan itu tentu akan menjadi pengalaman yang juga mengasyikkan dan menyegarkan pikiran. Setelah kesan-kesan itu sampai, tinggal peserta memutuskan sendiri apakah mereka akan mendalaminya atau mencari petualangan baru. Tetapi inti kedua pendekatan itu sama; pengetahuan, sangat dibutuhkan agar maksud yang diinginkan penulis (pembawa berita, penyampai warta) tercapai, serta kemampuan berbahasa agar target kalangan tertentu yang dituju paham dan sadar terhadap yang mereka alami.

Di sinilah kita kemudian bisa menilai kemampuan cara seseorang menulis dan menyampaikan pengetahuannya kepada sidang pembaca. Kelancaran, kejelian, kecermatan, pengetahuan, termasuk pilihan tema, topik gagasan, sangatlah mendasar bagi penulis. Karena itu, bekal menulis menjadi sangat banyak, sebab dia tidak sekadar membutuhkan bahan bacaan ataupun terus-menerus berlatih menulis, melainkan juga berhati-hati terhadap yang dia sodorkan. Pada awalnya, pada titik tertentu, "kemampuan" menulis tentu saja bisa dijadikan catatan yang tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Sebab, bagi siapa pun menulis tetap merupakan sebuah keterampilan yang perlu terus-menerus diasah, sementara siapa pun juga berhak menerbitkan atau menunjukkan karya tulisnya pada siapa pun. Tentang ketidaklancaran, mutu, keterbacaan, kekurangan, bisa diharapkan akan lenyap dengan sendirinya jika penulis terus belajar dan berlatih cara ungkap. Pada awalnya, penulis yang paling agung pun memulai dari sebuah kata. Dia betul-betul berutang budi pada bakat, latihan, pengalaman, pencerapan, pengetahuan, pencarian, dan lain-lain yang dibutuhkan untuk dituliskan dan dibagikan kepada orang lain agar dibaca ulang. Itulah yang dinamakan karya: seorang pembaca atau kritik diminta untuk menilai dan mengapresiasi sebenarnya sudah sejauh apa keberhasilannya menulis sesuatu. Tidak ada yang namanya penulis tiba-tiba, atau buku yang tanpa pencipta, sebab Tuhan memberikan ilhamnya kepada setiap orang. Kepada penulis atau pencerita itu kita bisa berharap ada sejumlah ilham dan pengetahuan bisa kembali kita dapatkan agar tidak hilang ditelan masa dan peristiwa. Maka tidak mengherankan karya yang penuh makna akan abadi, bahkan kadang-kadang suci, bebas dari kesia-siaan. Kitab suci merupakan contoh autentik bagaimana makna menjadi satu-satunya persoalan yang paling utama disodorkan kepada pembaca. Selain itu, toh pembaca tetap saja bisa mengambil hal lain: keindahan bahasa, bunyi, hikmah dari suatu cerita, juga penafsiran mereka yang memiliki lebih banyak pengetahuan dan pertimbangan.

Yang ditulis sejumlah orang juga demikian: mereka menawarkan sesuatu yang mereka alami, mengajak agar pembaca juga mendapatkan keindahan atau makna. Mereka membagi-bagikan semacam hadiah, sejumlah pencerapan, pengetahuan, dan berharap itu dapat dinikmati bersama-sama. Lewat tulisan mereka berbagi kebahagiaan, kesedihan, harapan, juga kekhawatiran, kecemasan, peringatan, rambu-rambu sosial, termasuk ajakan untuk tidak mengulang kebodohan, belajar menghindari luka, atau mempelajari sejarah, peristiwa, kejadian, mencoba mengambil sesuatu yang berharga. Tidak perlu berharga bagi semua orang, bagi seseorang pun cukup. Jangan berharap setiap tulisan akan dibaca semua orang atau kalangan, bahkan kitab suci pu n—yang diturunkan Tuhan kepada makhluk-Nya— kadang-kadang diinjak-injak dan dilecehkan oleh segolongan manusia yang merasa tidak terima. Apalagi karya seseorang, sementara yang mampu menulis pun tak terhitung jumlahnya, menawarkan banyak hal lain, mencari perhatian. Tetapi, jika telah dibaca meski oleh seorang, bolehlah kita berharap bahwa tulisan itu akan menjadi benih yang akan tumbuh di jiwa seseorang, menyuburkan seluruh potensi yang ada di dalam kemanusiaannya. Untuk suatu saat, tanpa pernah kita mampu memperkirakannya, gagasan, pengetahuan, cita-cita, atau idealisme itu akan menjadi lembaga, tumbuh mempengaruhi seseorang. Kita tak pernah tahu kapan bacaan akan langsung berpengaruh pada jiwa manusia, tetap yakinlah bahwa bacaan tak akan mati, meski dia tertimbun di bawah sadar seseorang. Suatu saat pengetahuan itu pasti akan muncul kembali, tak tahu bagaimana caranya.

Bagi masyarakat melek huruf, membaca merupakan kegiatan fundamental. Bagi penulis sendiri, membaca lebih-lebih lagi merupakan syarat untuk memulai, sebab dari sanalah pengetahuan diawali. Sebelum mampu menulis, penulis adalah pembaca. Membaca pun, setiap orang nyaris selalu mengawalinya secara terbata-bata. Dia harus mengalaminya dengan penuh kesukaran. Baru setelah mengerti, muncul pemahaman, kemudian ketakjuban, ternyata yang mereka baca itu memberi sesuatu, makna, penjelasan, dan segala hal. Membaca memberi kepuasan rohaniah. Tidak setiap pembaca kemudian mampu menulis, sebab menulis merupakan keterampilan dan sebuah ranah lain lagi. Sejumlah orang pembaca kemudian "berhenti" untuk terus menjadi pembaca, namun mereka lama-lama menjadi pembaca kritis, tahu dan mampu mengatakan kenapa sebuah tulisan baik dan buruk. Sementara pembaca yang beranjak berangkat menjadi penulis bertaruh dengan segala kemampuannya, mencoba secara hati-hati menawarkan kebaruan, sebab mereka tahu pembaca adalah raja, yang perlu dilayani, dihormati, tak bisa dibohongi. Pembaca adalah publik, massa, yang memiliki begitu banyak mata, mulut, telinga, berbagi cerita dan pengetahuan di antara sesamanya, saling menilai yang mereka tahu. Sekali seorang pembaca tahu, misalnya, seorang penulis tertentu adalah plagiator, jatuh dia tersungkur menjadi bahan hinaan. Karena itu, penulis diharapkan menyampaikan suatu kebenaran, minimal nuansa terhadap pencerapan dan cermin atas segala yang terjadi di dunia, atau renungan, jika bukan kegelisahan dan pertanyaan. Tulisan pada ujungnya berfungsi sangat banyak bagi masyarakat pembaca: alat terapi, penenangan, jawaban, kawan perjalanan, guru bimbingan, juga gudang pengetahuan dan sumber hikmah dan kebajikan.

Karena kemampuan penulis kadang-kadang terbatas hanya berasal dari yang pernah dibaca, didengar, diketahui, dicerap, dipahami, diceritakan, dibicarakan, dibagi secara diam-diam, sudah niscaya dia pun harus menuliskan segala sesuatu secara hati-hati. Kehati-hatian itu merupakan awal dari orisinalitas: sesuatu yang betul-betul baru, yang murni tumbuh dan berkembang khas, dipupuk oleh ketekunan berlatih dan bakat. Setiap penulis pada akhirnya dapat diharapkan menjadi seseorang yang orisinal, jika dia sadar terhadap yang ditulisnya, mau menyimak kesan orang terhadap karyanya, mau berbagi kritik dengan pembaca yang awas. Sampai pada tahap itu, yang dibutuhkan penulis adalah kesabaran dalam mencari dan mencapai tingkat artistik, tak berhenti oleh makian atau menyerah oleh keadaan. Karena penulis juga pribadi yang unik beserta seluruh jiwa dan bakatnya, tak pelak lagi di dalam dirinya sebenarnya sudah tersimpan potensi kejenialan. Potensi kejenialan, kekhasan, keunggulan, itu berkelindan terus-menerus dalam proses kreatif yang melahirkan karya —satu-satunya fakta autentik yang dapat dibaca oleh pembaca.

Jika pembaca merasa mampu menghakimi atau berhak menilai bahwa seorang penulis itu berbakat atau tidak, tentu semuanya lahir dari banyak pertimbangan dan keputusan tak terelakkan dari banyak faktor pertimbangan, dan ukuran. Kita tahu seagung apa pun penulis, dia tetap memiliki celah kekurangan. Semacam cacat yang mengurangi pencapaian estetika dan kesempurnaan. Kenapa ini senantiasa terjadi dan tak bisa dielakkan? Semata-mata karena manusia itu sangat sukar mendapatkan ridha (penerimaan) dari semua orang. Untungnya, celah kurang itu selalu dapat ditutup oleh penulis lain, bisa dilapis oleh pencapaian orang lain. Demikianlah, sejumlah pencapaian banyak penulis, pengetahuan masing-masing orang itu menyempurnakan kehidupan manusia, menumbuhkan peradaban, menghidupkan imajinasi, mengayakan jiwa. Interaksi dan sikap mau berbagi itu menjadi sangat berarti dan merupakan keniscayaan, sebab hanya dengan begitu manusia terus menjalankan kehidupan. Kita tak bisa hidup semata-mata oleh yang fisik, berupa benda, dan teraba, melainkan harus pula mendapatkan siraman batin, mencari spirit, ruh, kehalusan budi, kemuliaan, kebajikan. Dalam bacaan itulah dapat kita harapkan adanya khazanah yang akan membuat hidup kita mulia, meskipun kadang-kadang memang abstrak dan tak teraba, hanya bisa diresapi oleh jiwa, dicerap dalam ketenangan.

Karena itu, penulis dan pembaca sebenarnya berjumpa sebagai kawan sebaya: mereka berinteraksi dan berbagi. Mereka menawarkan dan mencoba mengapresiasi. Tanpa rasa benci, melainkan saling menghormati pencapaian. Kebaruan, yang biasanya dibawa oleh penulis muda, bercampur dengan pengaruh yang mereka dapat pada masa pembacaan atau di awal karier kepenulisan, biasanya merupakan usaha melepaskan diri dari bayang-bayang orang lain, mencoba menemukan diri sendiri sesegera mungkin, mencoba ungkapan baru secepatnya. Dari penulis muda pula kita berharap selalu muncul lahirnya generasi baru, sebab kemampatan adalah musuh manusia karena pencapaian harus terus ditemukan, karena kenyataan masih terlalu banyak yang jadi rahasia. Jadi, tak heran jika setiap penulis muda senantiasa bersiasat secara lebih keras daripada penulis yang sudah "jadi", sebab mereka berusaha tampil lebih memikat, cermat, teliti, membawa sejumlah detail yang lupa disampakan oleh penulis tua. Bisa jadi penulis tua telah mapan dengan pemikiran, selesai bertualang, telah menemukan rumah-hati upaya estetikanya, capai dengan langkah baru, tulangnya pun makin rentan dimakan usia tua. Upaya itu dilanjutkan penulis muda, yang berdarah segar, berani menjelajah daerah baru, membuka wilayah yang masih rahasia. Sebab alam, jiwa, kehidupan adalah ranah tak bertuan, gelap sebagian, menggairahkan untuk diterangkan.

Begitu selesai dibuka, kita tahu, ternyata hidup belum berhenti juga, terus bergulir, bahkan kadang-kadang berubah terlampau cepat. Nama baru muncul, hal baru ditemukan, pendekatan tertentu diwujudkan, yang terlupa diabadikan, yang diabaikan didekati kembali, yang cacat disempurnakan. Manusia terus berusaha mencapai taraf sempurna. Menulis adalah salah satu upaya agar jejak pencapaian itu tak terlupa, melainkan dimaknai, dihayati, disempurnakan di kemudian hari. Kepada penulis muda kita berharap menemukan sesuatu yang selama ini belum diketahui, sementara kepada pembaca kritis diharapkan kejujuran dan keadilan untuk menempatkan pencapaian itu pada tingkat selayaknya.

Karena itu, begitu membaca sebuah buku, ada banyak yang bisa kita harapkan, termasuk juga kebaruan, keragaman tema, dan gagasan. Lebih-lebih jika merupakan karya penulis muda. Kita bisa menilai tentang banyak hal yang dia tawarkan, menimbang yang belum pernah kita dapatkan.

Oleh: Anwar Holid, penulis, editor Penerbit ETSA, Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003