Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Buku Kehidupan: Sebuah Korporasi dan Kepercayaannya

Alkisah dituturkan hikayat Dewi Fortuna yang turun mengembara ke bumi. Tangannya menggenggam tanduk kambing Amaltea yang di dalam rongganya terisi sejumlah besar hadiah. Ia membagi-bagikan hadiah itu kepada manusia yang ditemui sepanjang perjalanan. Namun, berhubung matanya tertutup, ia memberikannya secara acak. Ada manusia rajin yang menerima, tetapi ada juga orang malas yang memperoleh. Ada orang pintar yang mendapat, namun tak kurang terdapat juga manusia bodoh yang diberinya. Secara keseluruhan mereka yang beruntung itu sedikit (Hukum Pareto?), sebab agak sukar memang berpapasan dengan Dewi Fortuna.

Kesempatan berjumpa dengan Dewi Fortuna dapat dianggap semacam "hoki" dan itu boleh saja coba disiasati (umpama dengan ajaran Kriyasakti atau feng shui). Namun, dalam kehidupan nyata-keras ini, baik juga diutarakan ada faktor-faktor rasional yang mesti lebih dulu diperjuangkan. Umpama agar perusahaan dapat berhasil mesti ada kerja tuntas; perencanaan sasaran dan arah strategi (tak dapat kelewat jauh, karena alur masa depan adalah non-linear). Dari waktu ke waktu untuk semuanya itu perlu evaluasi, perhitungan ulang tersendiri.

Demikian setahun sebelum ia meninggal (1979), PK Ojong telah mengundang Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) untuk membenahi korporasi Kompas-Gramedia. Sebab, selama hampir 15 tahun perusahaan berdiri, belum pernah dituangkan secara tertulis tujuan, visi; dan misinya. Begitu juga belum pernah diadakan perencanaan perusahaan, rumusan sasaran dan strategi serta budgeting (peranggaran). Selama itu perusahaan berjalan mengandalkan itikad dan watak baik, "common sense" manajemen, usaha keras, pembagian kerja serta kerja sama tim dilatarbelakangi oleh kehati-hatian dan kendali keuangan yang ketat.

Dalam perjalanan waktu selama 15 tahun itu telah terbit beberapa majalah (Intisari, Bobo, dan Hai), selain surat kabar Kompas, berdirinya toko buku dan penerbitan Gramedia, percetakan dan radio Sonora. Saat itu, korporasi sudah mempekerjakan kurang lebih sekitar 600 karyawan.

Apakah yang dilakukan Kelompok Kompas-Gramedia selama itu merupakan upaya yang ketinggalan dan terlambat? Bukankah sebuah perusahaan begitu berdiri sudah harus punya visi dan misi pegangan yang jelas dan tertulis?

Ternyata kalau dilacak dari sejarah berdirinya berbagai perusahaan yang berhasil di negara maju halnya tidakdemikian. Demikian menurut penuturan James Collins, et. al. dalam Built to Last (Random House, 1996). Pengarang buku itu menumbangkan sejumlah mitos yang selama ini diterima dan kuat beredar. Pertama, perlu sebuah ide besar untuk membangun perusahaan besar. Atau sejak awal berdirinya, perusahaan telah mempunyai visi-misi yang eksplisit (tersurat). Atau perusahaan yang amat berhasil itu melakukan langkah terbaiknya dengan perencanaan strategis yang kompleks dan cemerlang. Atau korporasi-korporasi berhasil itu memusatkan perhatiannya terutama untuk mengalahkan kompetitor.

Mitos-mitos itu coba disangkal dengan bukti-bukti oleh penulisnya. Justru hanya sedikit perusahaan visioner yang mulai kehidupannya dengan sebuah ide besar bahkan beberapa di antaranya tanpa suatu gagasan spesifik. Juga perusahaan-perusahaan itu mulai langkah awal terbaiknya lewat eksperimentasi dan bukan serta merta mulai dengan skenario canggih, ("Visionary Companies" versi Collins adalah perusahaan unggulan yang bertahan melewati sekian generasi kepemimpinan dan melampaui siklus kehidupan sekian banyak produk).

Dengan memakai acuan dari James Collins, sebagai retrospeksi saya dapat mengerti apa yang terjadi di Kelompok Kompas-Gramedia. Belum adanya visi, misi dan demikian pula perencanaan strategik tak menjadi halangan untuk sebuah perusahaan baru melangkah. Demikian yang terjadi di lebih banyak perusahaan yang berhasil dan berusia panjang. Sebetulnya juga tak begitu tepat untuk menyatakan "belum ada", hanya gagasan itu masih implisit dan ada di benak para pendiri serta belum sempat dijabarkan.

Ada parabel yang menggambarkan lomba antara kura-kura versus kelinci. Kelinci lincah, gesit dan kurang peduli terhadap sekelilingnya; sebaliknya kura-kura lambat, konsisten dan tahu ke mana harus pergi. Menurut penuturan parabel itu, akhirnya kura-kura yang menang —terlebih dulu sampai— dibanding sang kelinci. Tamsil itu berlaku untuk "The visionary companies" perusahaan-perusahaan unggulan yang walau tampak lambat "start" (mulai), di ujungnya muncul sebagai pemenang.

Falsafah Sebuah Perusahaan
Setelah sekian lama tanpa perencanaan perusahaan, sudah waktunya dilakukan penjabaran secara tertulis. Ada waktunya mulai dengan pelaksanaan, ada saatnya perlu konsolidasi dengan menata ulang secara lebih sistematik. Demikian dalam rangka menyusun "corporate planning", pihak konsultan LPPM minta agar pendiri perusahaan menuangkan pikirannya dalam satu risalah. Permohonan itu diajukan kepada PK Ojong, sebagai salah seorang pendiri.

Untuk itu, ia mengambil cuti beberapa hari di rumah peristirahatan perusahaan di Pacet. Hasilnya, sebuah risalah yang dengan rendah-hati disebutnya sebagai "Sifat Perusahaan Kita". Hakikatnya dokumen itu adalah cita-cita atau falsafah perusahaan Kelompok Kompas-Gramedia.

Ditulis dalam bahasa yang jernih dan mudah dimengerti, di situ dibentangkan bahwa para pendiri perusahaan berasal dari kalangan guru, pegawai negeri, dan wartawan. Inilah kalangan yang tidak bermodal sehingga tidak termasuk golongan ekonomi kuat. Yang dicita-citakan adalah perusahaan yang langgeng dalam arti tahan waktu, lebih dari satu generasi. Perusahaan-perusahaan di sini umumnya tidak bertahan lama. Dengan meninggalnya generasi pendiri, perusahaan itu mundurdan akhirnya mati.

Untuk mengatasinya, menurut konsep PK Ojong, pimpinan harus dilakukan secara kolektif, dengan team-work (berarti ia menjunjung interdependensi di atas independensi kepemimpinan seperti pendapat Stephen Covey), di antara persona yang berwatak baik. Watak baik yang mendapat tekanan utama itu ialah jujur, rajin, sederhana, rasional, berinisiatif, bersedia menerima pendapat orang lain, seimbang, adil, pandai membagi pekerjaan, dapat membedakan mana kepentingan sektoral dan mana kepentingan perusahaan secara keseluruhan. Baru syarat selanjutnya adalah kecerdasan, kepandaian, dan masa kerja.

Sewaktu pertama kali mendengar tekanan pada syarat "watak baik"', sebagai orang muda saya merasa PK Ojong terlalu menuntut keluhuran budi pekerti. Muncul sanggahan di hati, "Bukankah yang lebih penting prestasi dan kepandaian di pekerjaan?" Belakangan setelah makin mendalami manajemen, saya dapat mengakui kebenaran statement-nya. Peter Drucker juga punya pandangan serupa, "Integrity comes first, before the others" ("Integritas dilihat lebih dulu sebelum yang lain-lain"). Seorang boleh punya kekurangan di salah satu bidang dan itu masih bisa dimaafkan, tetapi kalau integritasnya sudah payah, dia tidak layak untuk menjadi pemimpin. T.P. Rakhmatyang lama menjadi CEO kelompok Astra pernah berceramah: "Bagi kami karakter mempunyai nilai lebih di atas kemampuan seorang pemimpin". Agaknya beberapa skandal sejumlah perusahaan di sini terjadi lebih karena tak ada ketulusan dan kelurusan hati pimpinannya.

Selanjutnya, dalam risalah itu juga dikatakan, "Dalam keadaan sekarang di mana negara kita belum merupakan negara kesejahteraan (welfare state) yang menjamin kesejahteraan setiap warga negara dari saat lahir sampai mati, tugas itu hendaknya seberapa bisa dilakukan oleh perusahaan". Ini berarti, ia (perusahaan) memperhatikan kebutuhan yang layak dari karyawan sejak masih berkarya sampai tidak mampu lagi, karena sudah lanjut usia atau sakit-sakitan. Dengan pandangan semacam ini, tak usah heran kalau Kelompok Kompas-Gramedia merupakan salah satu perusahaan swasta pertama yang tanggap dalam pendirian Yayasan Dana Pensiun.

Namun, ia juga memperingatkan, "... kesejahteraan karyawan itu tidak boleh demikian tingginya dan memahalkan biaya produksi sehingga perusahaan tidak dapat bersaing lagi dengan perusahaan lain yang sejenis dalam menawarkan produk atau jasa pada pembeli". Lebih lanjut "syarat dapat bersaing ini syarat mutlak, bila diabaikan... perusahaan kita lambat laun akan rugi dan hancur". Cukup logis dan dapat diterima akal.

Sekalipun demikian, secara keseluruhan konsep perusahaan sebagai "benteng keluarga" cukup dominan dalam mewarnai berbagai kebijakan dan peraturan di lingkungan Kelompok Kompas-Gramedia. Di samping gaji pokok, berbagai tunjangan sosiai atau fringe benefits merupakan komponen yang terberi (given) yang sering tak ada hubungannya dengan prestasi. Unsur sosial dan paternalisme menurut hemat saya tampak menonjol. Walaupun sebagian cukup besar karyawan merasa "happy", tidak sedikit dari mereka yang merasa dirinya profesional menganggap sistem yang ada kurang bersaing dan tampaknya memanjakan mereka yang kurang.

Saya kira semua ini tak terlepas dari pandangan hidup PK Ojong (yang bersama mentornya, Khoe Woen Sioe, mantan dirut PT Keng Po) terpengaruh oleh sosialisme Fabian. Fabianisme ini adalah paham sosialis-demokrat yang coba dipraktikkan Partai Buruh di Inggris. Sosialisme yang non-marxis ini berusaha memperjuangkan kesejahteraan pekerja dalam sistem ekonomi pasar bebas.

Konsultan LPPM tampaknya tak berniat menyentuh masalah-masaiah prinsipil yang berhubungan dengan falsafah perusahaan. Ia menganggap semua itu sebagai pandangan hidup pendiri dengan kekuatan dan kelemahannya. Yang lebih banyak digarap adalah bagaimana perusahaan menyusun misi, menentukan sasaran-strategis dengan jangka waktu dan penanggungjawabnya, setelah sebelumnya melakukan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman), kemudian lebih lanjut menuangkan dalam anggaran tahunan.

Di samping itu, dengan melihat besaran dan jumlah aktivitas yang ada, diusulkan adanya pengelompokan unit dalam divisi-divisi. Demikian beberapa bagian yang sejenis membentuk divisi. Dalam restrukturisasi yang diadakan tahun 1980 muncul beberapa divisi operasional. seperti Divisi Surat kabar, Majalah, Percetakan, Penerbitan, Toko Buku dan Radio dengan penunjangnya seperti Divisi Kontrol, Keuangan, SDM dan Umum. Beberapa manajer menjadi terangkat naik dari kepala bagian menjadi kepala divisi. Atau dari "letnan" tiba-tiba saja naik pangkat menjadi "letnan kolonel". Saya pun termasuk salah seorang di antaranya.

Kehadiran konsultan LPPM temyata sudah menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola kerja perusahaan. Lebih dari itu, telah menyuntikkan orientasi baru dalam budaya korporasi. Secara metafora Charles Handy (The Gods of Management) menulis mengenai pengaruh empat dewa Yunani dalam manajemen. Zeus lambang dari patriarki dan kekuasaan tokoh sentral yang kuat di pusat. Kemudian budaya Apollo yang lebih menekankan sistem, prosedur, ketertiban dan organisasi. Sementara gaya Athenian memberi tempat paling terhormat kepada meritokrasi dan keterampilan tinggi. Akhirnya, kultur Dionysus, sang individualis seniman yang anti sistem dan menyukai kebebasan.

Tidak syak lagi dengan adanya perencanaan dan anggaran, gaya Apollonian menjadi lebih dominan dan punya pengaruh paling besar. Selama lebih dari 20 tahun dengan Manajemen Berdasar Sasaran dan strategi tahunan, korporasi KKG berhasil mencapai pertumbuhan yang berarti, walau tidak eksponensial. Gaya Apollonian memang paling efektif untuk jenis usaha, di suatu masa, di mana keadaan relatif stabil dan perencanaan jangka panjang dimungkinkan. Dengan memakai pendekatan otak kiri yang sequential, dengan logika dan analisis, masa depan sepertinya sudah ter-"peta"-kan.

Kini dengan tak menentunya keadaan dan alur yang makin non-linear dan sepertinya mendekati chaos, tampaknya pendekatan Athenian, Dionysian dan Zeusian perlu juga mendapat tempat. Sebetulnya, tak ada yang sepenuhnya benar atau salah. Setiap organisasi, pada suatu waktu dan suatu tempat, memerlukan "adonan" yang senantiasa perlu diubah-ubah susunannya. Yang menjadi masalah adalah sikap dan keberanian untuk melepaskan diri dari pola pikir Aristotelian yang hanya mengenai bivalensi. Atau "ini" atau "itu". Atau mengibaskan diri dari stereotipe yang percaya hanya pada satu resep manjur tertentu —yang sudah bisa ditebak.

Prasetio dari Andersen Consulting (kini Accenture) pernah memuji nilai-nilai yang melekat pada Kelompok Kompas Gramedia. Semuanya tampak luhur dan dikagumi. Barangkali itu yang disebut ideologi inti (core ideology) yang perlu dipelihara. Namun, bagaimana dengan dorongan untuk kemajuan ("drive for progress") yang menghendaki perubahan terus-menerus dalam arah, metode, strategi, struktur, sistem, dan lain-lain?

Dengan bantuan LPPM, pernah dipancangkan tonggak kemajuan. Dengan upaya sendiri juga pernah ada terobosan. Persoalannya bagaimana kita dapat terus bergerak menari tanpa henti di seluruh lapisan sepanjang waktu? Tak begitu masalah untuk gajah yang istirahat menari, namun untuk sebuah korporasi? Korporasi itu wajib menari secara utuh dalam berbagai gaya campuran sebagai Apollo, Athena, Zeus dan Dionysus? Agaknya ini merupakan tantangan yang tidak ringan, apalagi jika untuk jangka panjang. Stamina, kelenturan dan semangat untuk pembaruan amat diperlukan.

Indra Gunawan, pecinta buku dan tinggal di Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 2/Oktober 2003