Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ngawur Karena Benar (Sujiwo Tejo)

Judul: Ngawur Karena Benar
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: Imania, 2012
Tebal: 248 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312

Pertandingan bola antara Dursasana dan Cakil ternyata ramai sekali. Belum ada seorang pun merasa pernah menonton wayang kulit maupun wayang orang, yang Dursasana bisa ketemu perang sama Cakil. “Satunya tinggi besar…seperti pemimpin…di mana itu…?” “Iya aku tahu…tahu. Dan satunya kecil-kecil. Dagu panjang maju… seperti…pokoknya salah satu orang terkaya…haha….”

Bisa ditebak, kisah satire itu menyentil siapa. Dursasana dan Cakil di tulisan itu merepresentasikan siapa? Bisa Anda tebak. Atau tidak ingin menghubungkannya dengan siapapun kecuali sosok Dursasana dan Cakil yang tokoh wayang juga tidak apa-apa. Toh Tejo juga membawa cerita ini ke arah semau dia. Loncat sana, loncat sini.

Demikian Sujiwo Tejo menuliskannya dalam tajuk “Hujan Bola di Negeri Orang, Hujan tangis di…”, termuat dalam buku Ngawur karena Benar yang merupakan kumpulan tulisan. Seluruhnya ada 37 tulisan, dan pernah dimuat di sejumlah media sepanjang 2010-2011. Dalang Mbeling ini menggabungkan lakon-lakon dalam wayang, atau hanya mencomot tokohnya, lantas disambungkan dengan peristiwa yang sedang panas saat itu.

Sujiwo Tejo adalah Presiden Jancukers dari Republik Jancukers, sebuah gerakan di dunia maya yang mengusung kejujuran, dan menolak bersantun-santun ria kalau bukan itu yang ada di hati. Melalui buku ini, dia menyatakan “berani karena benar” tak lagi istimewa. “Ngawur karena benar”-lah yang sekarang istimewa.

Ngawurisme ala mbah Tejo bermula dari palsunya kesopanan dan tata krama yang selama ini diagung-agungkan. Jancuk sebagai akarnya. Ketika sebuah tujuan tidak bisa dicapai karena terlalu banyak tata krama, cara satu-satunya adalah ngawur.

Ngawur di sini bukan berati arogan ataupun urakan yang sifatnya anarkis. Ngawur di sini maksudnya adalah keluar dari pakem. Tidak sesuai dengan aturan formal-prosedural yang ada. Dan mbah Tejo sendiri lebih menyukai cara yang ngawur namun tidak munafik dibanding santun namun munafik.

Isi buku ini adalah satire yang mbah Tejo ungkapkan dengan menyangkutpautkan kisah dunia perwayangan baik Ramayana maupun Mahabharata dengan kemelut yang terjadi Di Indonesia. Beberapa judul yang menarik adalah “Burisrawa Berwajah Gayus”, “Yudhistira Naik-naik ke Puncak Gaji”, “Memasuki Milenium Sengkuni”, dan maih banyak lagi.

Memang, mayoritas isi pemikiran buku ini cenderung liberal bagi saya. Namun alasan kuat yang membuat saya membeli buku ini adalah kisahnya yang diambil dari kisah pewayangan. Mengingat masa kecil saya sudah sangat akrab dengan kisah wayang. Dulu bapak saya selalu bercerita tentang wayang. Tak jarang pula saya diajak menonton wayang meski akhirnya tertidur di tengah cerita.

Jadi, buku ini cocok sebagai referensi untuk mengenal karakter wayang tanpa melupakan kemelut yang terjadi di negeri ini.