Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyikapi Pembajakan Buku

Kabarnya, mulai 1 Agustus 2003 pemerintah akan mulai bertindak tegas dalam penerapan Undang-undang Hak Cipta. Biasanya yang sering menjadi sorotan adalah pembajakan CD musik, VCD, dan software. Masalah pembajakan buku kurang mengemuka sebagai suatu bahasan.

Omong-omong tentang pembajakan buku ada sebuah berita yang cukup menarik. Satu truk trailer bermuatan buku dibajak pencuri. Akhirnya, truk tersebut ditemukan tanpa muatan lagi. Mau tahu buku yang dikejar pencuri itu? Apalagi kalau bukan episode terbaru dari Harry Potter yang secara resmi belum beredar. Di mana pencurian buku itu terjadi? Yang jelas bukan di Indonesia, Di Indonesia, kalau ada pencurian atau perampokan, itu hanya akan menimpa bank, toko perhiasan, toko elektronik, atau toko handphone. Para pemilik toko buku tidak perlu khawatir, tidak ada pencoleng yang berminat menjarah buku. Kalau suatu kali ada truk trailer bermuatan buku yang dicuri di Indonesia. Maka polisi paling hanya akan mendapati "muatannya" yang sudah dibuang, karena pencuri hanya mengincar truk trailer-nya, bukan bukunya. Begitulah penghargaan terhadap buku di Indonesia.

Memang, di sini belum ada "pembajakan buku" seperti yang dimaksud pada cerita di atas, tetapi yang banyak beredar adalah buku bajakan, meski tidak selaris VCD bajakan. Maklum, masyarakat kita masih lebih suka nonton daripada baca. Dalam sebuah acara yang ditayangkan oleh suatu stasiun televisi swasta, seorang pemirsa ditanya alasannya membeli buku bajakan. Jawabnya, "Karena harganya lebih murah. Sementara yang saya perlukan bukanlah kualitas fisik buku melainkan isinya."

Seperti halnya pembajakan VCD dan software, pembajakan buku juga menyebabkan keengganan pihak produsen, dalam hal ini pengarang dan penerbit, untuk memunculkan suatu buku. Pemikirannya, toh nanti kalau laris pasti dibajak sehingga keuntungan justru lebih banyakdinikmati oleh pembajak. Iklim tersebut bisa menimbulkan kemandekan kreativitas. Kita akan lihat sejumlah pemikiran yang mensikapi pembajakan buku ini.

Kalangan mahasiswa yang memerlukan buku-buku referensi berbahasa asing terbitan luar negeri tentu sering menemui mahalnya harga buku-buku tersebut. Sudah begitu, kadang susah pula memperolehnya pada toko buku. Mau pesan lewat internet, butuh kartu kredit yang tidak dimiliki semua orang. Dengan demikian, mereka terpaksa memfotokopi buku tersebut. Dalam hal ini, penulis belum pernah mendapati buku berbahasa asing yang dibajak sebagai suatu buku, maksudnya dibajak dalam bentuk cetak dan bukan difotokopi, kecuali kalau buku tersebut sudah diterbitkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang kemudian dibajak. Bahkan, penulis pernah mendengar cerita tentang seorang dosen yang mendapati sebuah buku asing yang bagus untuk dijadikan acuan kuliahnya, tetapi harganya cukup mahal. Nah, beliau kemudian mengeluhkan hal tersebut dengan mengirimkan surat pada penerbitnya di luar negeri. Yang terjadi justru si penerbit mengizinkan pak dosen meng-kopinya hanya untuk keperluan kuliah. Bila memang suatu buku asing dirasa terlalu mahal, sebenarnya para mahasiswa dapat membelinya secara patungan, untuk kemudian dipelajari bersama-sama. Kalau hal itu dirasa mengganggu, mereka memilih memfotokopi beberapa bab yang memang dipakai dosen untuk kuliah. Biasanya, dosen mengambil acuan untuk kuliah dari beberapa buku yang diambil bab-bab tertentu saja. Namun, kenyataannya mahasiswa akan kesulitan juga kalau harus memfotokopi keseluruhan isi buku-buku acuan yang umumnya tebal-tebal tersebut. Nah, kalau memang para mahasiswa terpaksa harus memfotokopi keseluruhan isi buku tersebut, sepatutnya mereka memiliki juga kewajiban moral untuk benar-benar membacanya. Bukan hanya sekadar aksesori untuk kepatutan status sebagai mahasiswa.

Untuk pihak penerbit, disarankan selain mengeluarkan edisi luks, juga mengeluarkan edisi ekonomi dengan kertas dan sampul berharga murah yang mampu dijangkau oleh kalangan mahasiswa yang umumnya kritis pada harga. Soalnya, meski kaum inteiektual muda ini gampang mengeluarkan uang untuk pacaran ke mal atau nonton bioskop, kalau urusan beli buku nanti dulu. Penerbit tetap bisa mengeluarkan edisi luks yang mempunyai pasar tersendiri, yaitu para profesional yang peduli dan membutuhkan penampilan fisik buku dan memiliki daya beli yang lebih tinggi.

Pemerintah perlu mengurangi pajak dan pungutan-pungutan pada usaha penerbitan buku ini, khususnya yang ditujukan untuk keperluan pendidikan. Seperti halnya pada industri lain di mana banyak pungutan pajak, baik yang nyata maupun pungutan 'siluman', yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi, pada penerbitan buku hal itu juga akan menghasilkan buku biaya tinggi. Tentu saja ongkos tersebut pada akhirnya akan ditimpakan oleh produsen kepada konsumen, dalam hal ini para pembeli buku. Sementara pemerintah bisa mengembangkan iklim yang kondusif untuk budaya membaca, bukan dengan "paksaan" kepada masyarakat (atau siswa sekolah) untuk membeli buku tertentu. Di era cyberspace ini masih rendahnya jumlah pelanggan koneksi ke internet di Indonesia, selain disebabkan kurangnya infrastruktur komunikasi juga rendahnya minat baca masyarakat. Padahal budaya membaca ini (baik bacaan cetak maupun bacaan elektronik) merupakan syarat untuk menjadi masyarakat informasi.

Bagi kalangan mahasiswa yang mengkopi buku (dan pembajak buku) usahakanlah untuk jangan sampai membajak/mengkopi buku karangan dan terbitan negeri kita sendiri. Toh, tidak banyak kesulitan untuk memperolehnya. Berbeda dengan buku impor yang lebih susah dicari. Sampai-sampai ada tempat fotokopi yang menerima pesanan fotokopi buku tertentu yang daftarnya tersedia hanya memuat buku-buku terbitan luar negeri. Mungkin juga pemiliknya takut kalau mengkopi buku lokal bakal gampang "dikejar" oleh penerbit/penulisnya. Kalangan penulis/penerbit yang bukunya laris sementara ini mungkin hanya bisa mengelus dada dan berbesar hati melihat kondisi pembajakan buku ini. Penulis mengutip sebuah kalimat (yang semoga bisa menjadi renungan kita bersama, baik untuk pihak penulis/penerbit, maupun pembajak dan pembeli), yang terdapat pada sampul kaset kumpulan lagu Emha Ainun Nadjib dan Gamelan Kyai Kanjeng (maaf, penulis sendiri tidak tahu apakah kaset yang penulis miliki asli atau bajakan), bunyinya begini, "Setiap benih kebaikan digandakan oleh Allah 700 kali lipat. Setiap benih pencurian, membuat kita kehilangan sampai anak cucu dunia akhirat".

Firrar Utdirartatmo, alumnus S-1 Teknik informatika ITB, dan Magister Teknik Elektro ITB Option Teknologi Informasi; menulis sejumlah buku di bidang teknologi informasi, diantaranya diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo.
Majalah Mata Baca Vol. 2/No.1/September 2003.