Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku, Film, dan Anak-anak Jalanan

"Cobalah sekali-kali ikut kegiatan kami," suatu hari salah seorang teman, yang cukup aktif di kegiatan sosial anak-anak jalanan bertandang ke rumah. Ia tampak kepayahaan dengan beban daypack yang tergantung di lengan, begitu diletakkan di lantai terdengar bunyinya, brug!
 
"Pakaian bekas lagi?" tanyaku, sebab beberapa kali kedatangannya ke rumah untuk meminta koleksi pakaian-pakaian bekas yang akan diberikan ke sekumpulan anak-anak jalanan. Entah itu yang di sekitar wilayah Pasar Senen, Pasar Rebo, Pasar Minggu, aku sendiri kurang hafal.

"Bukan," ia menggeleng, membongkar isi tasnya. Mataku terbelalak! Semua berisi buku, ada komik Donal Bebek, Asterix, majalah Bobo, buku Dongeng 1001 Malam, Putri Salju, Si Kancil, dan banyak lagi; dari yang masih bagus-bagus hingga lusuh.

"Kau punya buku cerita anak-anak yang sudah tak terpakai, atau cuma jadi koleksi pribadi? Lebih baik sumbangkan ke kami?" Aku menggeleng. Dulu, buku-buku seperti itu banyak sekali, tapi seiring waktu dan pertambahan usia, aku sudah tidak mengkonsumsinya, hingga buku-buku tersebut entah hilang atau lenyap ke mana. Mungkin ditukar abu gosok, diminta tukang sayur untuk pembungkus, atau terbuang ke bak sampah, aku sudah tidak ingat lagi.

"Payah," keluh temanku tampak benar ia kecewa. "Kau pasti akan berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan sebuah buku jika sekali-kali ikut kegiatan ini."

Itulah awal aku terjun ke perkampungan kumuh dengan puluhan bocah-bocah kecil, dari pengemis, gelandangan, pemulung, pengamen, beberapa waktu lalu bersama lima aktivis yang salah satunya temanku.

"Untuk berbuat seperti ini tidak perlu punya yayasan, minta dukungan ini-itu, cuma berlima kami sudah melanglang buana, memasuki kehidupan mereka dengan memberi baju-baju bekas, vitamin, obat generik, dan sekarang kami coba memasukkan dunia pendidikan dengan buku cerita dan tontonan anak-anak. Mereka kan bocah-bocah yang banyak kehilangan dunia kanaknya."

Luar biasa! Pikirku, mengamati bagaimana bocah-bocah itu berebutan buku cerita yang kami bagikan. Bahkan mereka yang masih buta huruf pun tertarik dengan cara melihat gambar-gambamya. Mereka juga tanya pada temannya yang sudah bisa membaca, atau pada kami.

"Makanya kalian harus belajar membaca, ya? Supaya bisa tahu apa yang sedang kancil lakukan terhadap ratusan ekor buaya di sungai ini. Ayo, siapa yang mau belajar membaca?"

"Saya!"
"Saya!"
"Saya!"
"Saya!"
"Saya!"

Puluhan tangan mungil, hitam, dekil, berebut mengacungkan jari. Kami menerangkan, mereka akan belajar di rumah salah seorang dari kami setiap hari minggu. Semua yang mau belajar akan dijemput, selain mendapat alat tulis gratis: buku, pensil penghapus, rautan.

"Ini untuk pertama kali aku coba mengenalkan mereka dunia pendidikan supaya tidak buta huruf dengan buku cerita, dan film anak-anak. Kalau dengan belajar seperti anak-anak sekolah beneran, susahnya minta ampun."

"Kenapa hanya seminggu sekali?" 

"ltulah, orangtua mereka terhimpit ekonomi, bantuan anak-anaknya sangat diharapkan. Kalau anak-anak mereka diculik waktunya, bisa-bisa rencanaku gagal total dan mereka tetap jadi anak-anak bangsa yang bodoh."

Minggu depannya pukul 10 pagi, dengan mobil kijang kami menjemput anak-anak tersebut. Lumayan banyak, ada sepuluh orang. Lucu-lucu karena mereka mengenakan pakaian yang terbagus, tercium aroma wangi bedak, layaknya mau pergi piknik saja. Sepanjang jalan mereka bersorak-sorak, nyanyi. Kami sibuk memberi intruksi agar mereka tertib.

"Habis baru kali ini naik mobil bagus dan wangi, Mbak!"

Ruangan yang akan dibuat kelas bagi anak-anak itu merupakan garasi yang telah disulap menjadi kelas sederhana, ada white board, televisi berukuran 20 inci, sementara anak-anak dibiarkan duduk beralas karpet.

Acara pertama mengenalkan mereka abjad a, b, c, d —bagi yang belum dapat membaca sama sekali, lain menyalinnya ke dalam buku yang telah dibagi-bagikan, diberikan PR untuk menghafal huruf-huruf tersebut. Mereka yang nilainya terbagus mendapat hadiah buku mewarnai dengan gambar-gambar menarik.

Sementara untuk yang sudah dapat membaca, diminta maju ke depan membacakan buku cerita untuk teman-temannya. Mengagumkan sekali, sebab ada yang membaca seperti seorang pendongeng, dan mereka sebenarnya cukup banyak yang pintar-pintar. Kalau saja mereka diberikan, atau memiliki kesempatan sama seperti anak-anak Indonesia lain yang tak ikut terbebani ekonomi dalam usia dini.

Enam puluh menit acara membaca dan menulis selesai. Sambil menikmati bubur kacang hijau, mereka diberi kesempatan menonton film anak-anak.

"Harus ditonton benar-benar ya, setelah itu buat yang sudah bisa menulis, ceritanya ditulis lagi di buku. Sementara buat yang belum bisa menulis, bisa diceritakan ke depan untuk pertemuan berikutnya."

Terlihat sekali anak-anak itu gembira, duduk dengan tertibnya, tanpa suara kecuali bunyi sendok dan seruan tertahan jika yang mereka tonton mulai tegang atau seru. Film yang dipilih memang bagus dan cocok untuk anak-anak seusia mereka, yang berusia antara 7 hingga 14 tahun. Film keluarga buatan Australia berjudul 'Babe', yang menceritakan tentang seeker babi muda ingin menjadi anjing penggembala.

Tepat pukul satu siang, anak-anak siap diantar pulang. "Kapan lagi, Mbak, kita bisa belajar di sini?"

"Kenapa gak sering-sering aja sih, Mbak? Sorenya kita, kan masih bisa ngamen."

"lya, Mbak. Nanti saya bisa baca buku cerita ya, bisa nulis juga kalau sering-sering ikut belajar?"

"Mbak, filmnya bagus banget. Besok juga nonton lagi, kan?"

"Mbak, kita juga bisa seperti Babe, kan?"

"Mbak, nonton film Harry penyihir seperti yang kita lihat di gambar bioskop, dong!"

Kebahagiaan, kebanggaan, yang membanjiri hati melihat respons anak-anak tersebut, membuat apa yang telah kami ;akukan demikian ringan --dan memang ringan. Mengumpulkan buku-buku bekas, mengumpulkan uang untuk sekadar beli alat-alat tulis yang tidak mencapai beratus-ratus ribu, menyewa film anak-anak yang sebuah hanya lima ribu perak, menyulap garasi menjadi ruang kelas, semua dilakukan seminggu sekali, dan kami cuma berenam, berikut aku. Buat kami yang penting niat, bukan begitu?

Walau dibandingkan dengan acara seperti Global Action Week yang diadakan tanggal 6-13 April silam atas kerja sama The Centre for the Betterment of Education (CBE) Indonesia dengan UNESCO, Oxfam, dan beberapa LSM nasional yang menggelar aksi "Pendidikan untuk Semua", jelas belum ada apa-apanya, namun setidak-tidaknya kami telah mengembalikan sekeping hak dan kebahagiaan mereka sebagai seorang anak. Mengenalkan dunia pendidikan dari buku dan film, walau kelak mereka cuma bisa membaca, tanpa ijazah, untuk memasuki taraf hidup yang lebih baik, hingga tak selamanya jadi seorang pemulung, pengamen, pengemis.

Bahkan mereka telah mengatakannya, betapa bahkan seekor anak babi bernama Babe saja bisa mewujudkan impian menjadi anjing penggembala, bahkan memenangkan kompetisi anjing penggembala sedunia. Bukan impian yang mustahil memang jika kita mau belajar dan yakin.

Namun, yang lebih menyakinkan dari itu, tiga bulan berjalan, selain peserta bertambah, satu-dua dari mereka yang sama sekali tak mengenal abjad mulai mampu mengeja huruf demi huruf, terbata-bata membaca cerita Si Kancil. Dan, kami tidak tahu berapa tepatnya jumlah penderita buta huruf di negeri Indonesia....

Membaca buku ibarat berenang
di lautan ilmu
Yang sangat luasnya,
Marilah kita latih anak-anak
bangsa kita
Berenang di samudera ilmu

(mengutip dalam ingatan, Taufiq Ismail, 2000)

Eny M., pencinta dunia buku dan anak tinggal di Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No.2/Oktober 2003