Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adakah Buku yang Memperbodoh dan Memiskinkan Masyarakat?

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap tulisan Darmaningtyas yang berjudul "Buku yang Memperbodoh dan Memiskinkan Masyarakat" pada harian Kompas di mana dia tak setuju dengan ungkapan bahwa buku merupakan gudang ilmu pengetahuan atau pelita ilmu. Dengan alasan bahwa sejak dua dekade terakhir sampai sekarang buku-buku ajar TK-SMU ternyata memperbodoh dan memiskinkan masyarakat. Mengapa? Kini setelah industri buku tumbuh menjamur, terutama di Pulau Jawa, yang tidak dibarengi kreativitas daiam sistem pemasaran, buku bukan menjadi gudang dan pelita ilmu, tetapi justru memperbodoh dan memiskinkan. 

Menurut Darmaningtyas, buku-buku yang dapat dikategorikan memperbodoh masyarakat adalah buku-buku ajar sekolah untuk TK-SMU yang dicetak dan dipasarkan tiap caturwulan/semester. Buku-buku tersebut dikatakan memperbodoh masyarakat karena alasan-alasan berikut ini. Pertama, kualitas buku-buku ajar kita dari beberapa penerbit berada di bawah standar, terutama menyangkut soal struktur dan nalar berpikir sehingga dengan sendirinya akan berdampak buruk pada proses berpikir murid.

Berdasarkan pengamatan penulis sebagai seorang guru, dosen, dan mantan Konsultan Pendidikan pada beberapa Proyek Peningkatan Mutu Sekolah di Departemen Pendidikan Nasional (Diknas), memang benar ada buku-buku ajar yang kurang baik, namun hanya pada materi tertentu dan bukan pada struktur atau nalar berpikirnya karena umumnya struktur dan nalar berpikirnya mengikuti apa yang dianjurkan dalam kurikulum. Disinyalir penerbit-penerbit itu melakukan pemasaran kurang etis secara langsung ke sekolah-sekolah sehingga beberapa oknum kepala sekolah dan guru memakai buku-buku itu karena dijanjikan komisi yang tinggi meskipun mutu buku-buku itu di bawah standar. Karena buku-buku itu kurang bermutu maka direvisi setiap cawu/semester dan orang tua siswa yang harus menanggung beban keuangan untuk membeli buku-buku yang telah direvisi itu. Saking kesalnya maka para orang tua siswa mengeluh dan menulis ke beberapa surat kabar. Ada yang menyebut perbuatan para oknum guru dan kepala sekolah itu sebagai mafia kepala sekolah dan guru. Namun, banyak pula kepala sekolah dan guru tidak tergiur oleh komisi tinggi yang dijanjikan para penerbit buku ajar yang kurang bermutu itu, dan mereka menyeleksi secara baik buku-buku yang dipergunakan di sekolah mereka.

Kedua, pendapat Darmaningtyas bahwa banyak buku ajar yang ditulis tidak berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan geografis murid berada, tetapi lebih berdasarkan latar belakang sosial, budaya, dan geografis penulis. Hal itu tidak seluruhnya benar karena hanya tampak pada buku PPKn dan Bahasa Indonesia. Berapa besar biaya produksi buku dan lamanya waktu yang dibutuhkan seandainya penulis harus melakukan survei dahulu ke masing-masing daerah di Indonesia hanya untuk memperkenalkan anak-anak dengan kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan geografis khas yang ada di sekitarnya? Agar para siswa tak tercabut dari akar-akar sosial, budaya, dan geografis mereka, para guru sebaiknya menerangkan perbedaan apa yang ada dalam buku ajar itu dengan membandingkan dengan kondisi dan situasi di tempat mereka belajar. Perbedaan beberapa buku itu sebenarnya terletak pada segi ilustrasi dan nama-nama orang yang bersifat Jawa sentris. Namun, hal ini secara positif bisa membuat para siswa di Indonesia Bagian Timur mengenal nama-nama dan budaya Jawa.

Ketiga, Darmaningtyas menyatakan bahwa isi buku-buku ajar dari TK sampai perguruan tinggi umumnya amat bias kelas menengah, bias kota, bias gender, dan bias Jawa. Hal itu terutama terjadi pada buku-buku IPS, Ketatanegaraan, Sosiologi, Antropologi, dan Bahasa Indonesia. Sering, baik contoh maupun situasi yang digambarkan dalam buku-buku itu adalah situasi kerja kantoran, kelas sosial yang mapan, kaum terpelajar, dan profit seorang ayah yang semuanya berada di Jawa.

Wajar bila kemudian mereka yang telah lulus sekolah cenderung menjadi kaum imigran ke Jawa, terutama Jakarta dan sekitarnya. Sebab, gambaran yang tertangkap dari buku-buku ajar di sekolah tentang Indonesia adalah kota Jakarta dan sekitarnya. Penulis setuju dengan pendapat Darmaningtyas karena memang buku-buku itu, terutama buku Bahasa Indonesia, kurang berisi cerita-cerita dari kawasan Indonesia Timur dan juga cerita-cerita yang mengandung suri teladan. Untuk mengatasinya, dalam rangka dipakainya kurikulum baru, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi, para penerbit perlu diimbau oleh Ikapi atau Diknas agar jangan lupa untuk memasukkan unsur-unsur yang berasal dari Indonesia Timur daiam buku-buku baru mereka yang ditulis berdasarkan kurikulum baru itu.

Keempat, Darmaningtyas mengemukakan bahwa buku itu memperbodoh bukan terletak pada substansinya, tetapi pada cara penyajian. Hal itu terkait dengan sistem pemasaran yang tidak etis. Mengingat buku-buku itu harus dijual tiap caturwulan/semester, maka agar murid harus beli tiap tahun dibuat seolah berbeda dengan cetakan sebelumnya. Contoh, bila seorang kakak yang duduk di kelas 5 SD sudah membeli buku Bahasa Indonesia, agar adiknya yang kini duduk di kelas 4 —setelah naik ke kelas 5 nanti juga membeli buku Bahasa Indonesia— satu-satunya cara adalah buku untuk kelas 5 ditulis dengan menggunakan kata yang agak berbeda meski substansinya tetap sama. Model ini mengesankan, apa yang dipelajari sang kakak di kelas 5 dulu berbeda dengan yang dipelajari sang adik saat duduk di kelas 5 tahun berikutnya.

Di sinilah proses pembodohan terjadi karena tidak memungkinkan si kakak membimbing belajar adik-adiknya, lalu terkesan bodoh. Penulis setuju bahwa pemasaran buku dengan model demikian memang tidak etis dan terkesan tak peka terhadap beban ekonomi para orang tua siswa dalam masa krisis muitidimensi yang besar dampaknya pada mereka. Penulis tahu bahwa penerbit-penerbit itu melakukan pemasaran kurang etis secara langsung ke sekolah-sekolah sehingga beberapa oknum kepala sekolah dan guru memakai buku-buku itu karena dijanjikan komisi yang tinggi meskipun mutu buku-buku itu di bawah standar. Namun, penulis tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Darmaningtyas bahwa buku-buku itu hanya sekadar diganti kata-katanya karena tak sedikit materi lain yang direvisi setiap cawu/semester. Jadi, bukan diubah kata-katanya saja karena tak jarang direvisi pada banyak unsur lainnya karena buku itu kurang bermutu. Orang tua siswalah menanggung beban keuangan untuk membeli buku-buku yang telah direvisi itu. Akibat keharusan membeli buku-buku revisi itulah —saking kesalnya— para orang tua siswa mengeluh dan menulis ke beberapa surat kabar. Bahkan ada yang menyebut perbuatan para oknum guru dan kepala sekolah itu sebagai mafia kepala sekolah dan guru. Oleh karena itu, diharapkan para kepala sekolah dan guru tidak tergiur oleh komisi tinggi yang dijanjikan para penerbit buku ajar yang kurang bermutu itu, dan menyeleksi secara baik buku-buku yang ingin dipergunakan di sekolah mereka.

Sementara buku-buku ajar itu dikatakan memiskinkan masyarakat menurut pendapat Darmaningtyas karena sistem pemasarannya menggunakan cara-cara premanisme, paksaan. Sekolah memaksa tiap murid membeli buku baru tiap tahun ajaran baru atau tiap semester. Akibatnya, orang tua harus mengeiuarkan biaya Iebih besar karena untuk membeli buku paket ajar rata-rata mencapai Rp. 100.000 per anak. Bila orang tua memiliki 2-4 anak yang bersekolah, biaya yang dialokasikan untuk membeli buku ajar rata-rata Rp. 200.000 - 400.000 per semester. Bagi golongan menengah ke atas, uang sebesar itu tidak terasa, tetapi bagi keluarga menengah ke bawah merupakan beban berat yang menyebabkan mereka malas menyekolahkan anaknya. Kalau tidak membeli buku baru, selain akan ketinggalan pelajaran, anak mereka merasa malu kepada kawan-kawan lain. Sekolah memaksa murid membeli buku-buku baru karena ada iming-iming komisi cukup besar dari penerbit. Dengan demikian, orientasi pembelian buku-buku ajar baru bukan untuk kepentingan murid, melainkan untuk kepentingan industri buku, penjual, dan pencari untung lain, termasuk pejabat pendidikan dan sekolah.

Menurut pendapat penulis, hal ini tak terjadi di setiap sekolah dan masih banyak sekolah yang memiliki kepala sekolah dan guru yang jujur dan tak mempraktikkan hal-hal tak terpuji itu. Untuk para orang tua siswa yang telanjur memasukkan anaknya ke sekolah yang mempraktikkan penjualan buku dengan cara per paket secara paksa, mereka dapat mengadu ke Diknas atau pers, seperti surat kabar dan majalah berita. Praktik penjualan buku per paket harus ditindak karena tidak peka terhadap beban ekonomi orang tua siswa yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Kalau tidak dipaksa membeli, mereka bisa meminjam atau membeli sebagian dulu buku-buku itu di toko buku atau bahkan membeli buku bekas dengan kondisi yang masih layak pakai di tempat penjualan buku bekas yang hampir selalu ada di setiap daerah. Hal yang terpenting di sini adalah tidak boleh ada sistem pemaksaan untuk membeli buku-buku secara sekaligus per paket di sekolah. Sekolah boleh menjual buku untuk membantu orang tua siswa yang sibuk dan tidak sempat ke toko buku, namun harus dengan harga wajar dan tidak memaksa.

Darmaningtyas mensinyalir bahwa tugas dan fungsi Pusat Perbukuan di Diknas telah menyimpang dari yang seharusnya menjadi tugas mereka. Apakah fungsi institusi itu hanya untuk melegitimasi praktik-praktik perbukuan yang memperbodoh dan memiskinkan —karena turut menikmati kuenya— atau menjadi pengontrol praktik-praktik perbukuan yang busuk? Darmaningtyas bahkan bertanya, adakah di antara penerbit buku ajar yang memperbodoh dan memiskinkan itu adalah kerabat atau kolega pejabat di Pusat Perbukuan Diknas sehingga ada contact of interest atau malah mungkin mereka sendiri yang mempunyai penerbitan itu, tetapi atas nama orang lain atau kerabatnya?

Penulis tak setuju dengan pendapat Darmaningtyas yang menyatakan jika hanya melegitimasi praktik penjualan buku yang tak etis melalui sekolah maka lebih baik institusi itu dibubarkan saja. Penulis berpendapat jika memang apa yang dinyatakan Darmaningtyas benar dan beliau memiliki bukti yang cukup maka sebaiknya hal itu dilaporkan ke pejabat yang berwenang untuk menginvestigasinya di Diknas, juga kepada pers dan Lembaga Konsumen Indonesia. Kalau benar, pejabat yang bersalah harus ditindak dan bukan institusinya yang dibubarkan.

Diknas ternyata cukup responsif terhadap keluhan-keluhan para orang tua siswa dan juga penerbit buku ajar bermutu terhadap praktik-praktik penjualan buku tidak bermutu secara paksa dengan sistem per paket itu. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Indra Djati Sidi (Kompas, 20 Agustus 2003) telah menjelaskan kepada pers bahwa sistem proyek dalam pengadaan buku telah ditiadakan untuk menghindari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

"Sistem proyek dalam pola lama sangat rawan KKN, mulai dari jajaran Depdiknas, penerbit, pemerintah daerah, hingga kepala sekolah. Sekarang, telah dibuatkan mekanisme yang sangat sulit dinodai oleh cara-cara tidak sehat," ujar Indra.

Sistem baru dalam pengadaan buku ajar dimulai dengan buku ajar untuk Matematika SD pada Maret 2003. Naskah diajukan oleh 29 penerbit kepada Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP) untuk dinilai mutunya. Setiap penerbit hanya mengajukan satu naskah.

Unsur penilai yang terdiri atas ahli materi dari perguruan tinggi, ahli penyajian dan pembelajaran, ahli keterbacaan dari guru, serta ahli grafika yang kemudian menyeleksi. Dari 29 naskah, hanya delapan yang meraih penilaian kelayakan untuk dipakai di sekolah (passing grade). Bobot penilaian terdiri atas materi 40 persen, penyajian 30 persen, bahasa dan keterbacaan 15 persen, dan unsur grafika 15 persen.

Delapan penerbit yang naskahnya dinyatakan lulus adalah Citra Aji Parama, Ganeca Exact, Grafindo Media Pratama, Intan Pariwara, Regina, Remaja Rosda Karya, Setia Puma Inves, dan Yudhistira. Naskah yang tidak lolos rata-rata lemah dalam konsep serta gambarnya tidak kontekstual sehingga sulit dipahami siswa. Misalnya, ada gambar gunung bersalju, padahal di Indonesia sulit menemukan situasi demikian.

Menurut Indra, materi buku Matematika SD kali ini sesuai dengan konsep yang dirancang Pusat Kurikulum. Masa pemakaiannya bisa lama, minimal lima tahun. Hal ini tentu bisa meringankan beban para orang tua siswa yang dahulu mesti membeli buku matematika setiap caturwulan/semester. Semoga sistem baru dalam pengadaan buku ajar bisa segera diterapkan untuk buku-buku ajar lainnya mengingat akan diterapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi pada 2004 nanti.

Danuyasa A., guru, editor buku, dan mantan Staf Konsultan Pendidikan pada Proyek Peningkatan Mutu Sekolah di Departernen Pendidikan Nasional.
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 2/Oktober 2003.