Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Buku Kehidupan: Hukum Pareto, Siapa Ingin Menyangkal?

I never saw a Moor
I never saw the sea
Yet know I how the heathen looks
And what a wave must be
I never spoke with God
Nor visited in Heaven
Yet certain am I of the spot
As if the chart were given

Emily Dickinson (1830-1886)

Secara terus terang saya merasa iri dengan senandung penyair Emily Dickinson itu. Ia dengan yakin mampu mengungkapkan kepercayaan penuh dirinya. Tanpa pernah jauh-jauh meninggalkan huniannya, ia sepertinya sudah "weruh", mampu melihat apa yang terjadi di jagat sekitarnya. Seandainya ia jujur dengan pernyataannya, mestinya penyair kita itu memiliki bakat clairvoyance, kemampuan melihat tembus pandang melewati ruang dan waktu. Tanpa hadir secara fisik, ia sudah mampu melihat dengan mata batinnya.

Di pihak lain, semasa muda kemampuan intuisi dan visualisasi saya masih lemah. Masih banyak bergantung pada penalaran dan pencerapan indrawi, terutama pada indra penglihatan dan pendengaran. Sebab itu tak usah heran, kesempatan untuk pergi ke Eropa saya terima dengan tangan terbuka. Sebelum itu, sebenarnya saya sudah pernah ke Eropa. Dahulu sebagai wartawan dan dalam cerita ini selaku manajer dalam persiapan. Ada perbedaan pendekatan kerja di antara keduanya, Sebagai wartawan kalau harus membuat tulisan serial, orang harus pontang-panting mencari banyak info. Informasi itu dikelompokkan dalam topik-topik sesuai skenario. Yang membuat gelisah kalau topik-topik tertentu masih "bolong-bolong" datanya, Dalam keadaan seperti itu, wartawan harus memburu rujukan di tengah jepitan waktu. Sementara manajer, kalau ingin kerja produktif, dia harus padat jadwal bertemu orang. Kesanggupan menyasarkan business deal yang menguntungkan menjadi taruhannya.

Perjalanan saat itu tidaklah begitu berat. Selama seputar tiga minggu saya mengunjungi Inggris dan Belanda. Di antara London dan Amsterdam, saya lebih memilih kota yang kedua. Di Amsterdam, karena kotanya relatif lebih kecil, saya lebih mudah bergerak. Kebanyakan dengan trem, yang sering tidak pula membayar karcis —untung belum pernah tertangkap tangan.

Sebaliknya di London, walau ada subway —kereta di bawah tanah— saya merasa kecil dan sukar bergerak. Apalagi di sana hampir tak punya kenalan.

Suatu kali saya pernah bertemu dengan August Parengkuan, wartawan Kompas yang tengah ke Belanda. Pengetahuan saya mengenai seluk-beluk kota Amsterdam, membuat ia sampai menjuluki saya sebagai "lurah" di sana. Sebaliknya, di London saya merasa tak berdaya, bagaikan ditelan raksasa. Saya merasa menguasai Amsterdam, sedang di London saya merasa dikuasai megapolitan.

Di kedua kota itu saya mengunjungi sejumlah penerbit dan toko buku. Tanpa banyak formalitas janji lebih dulu, wawancara dilakukan intensif. Kali ini bukan sebagai wartawan, melainkan selaku manajer dalam persiapan. Bagaimana praktik distribusi buku dari hulu sampai ke hilir, rabat yang ditarik di setiap mata rantai, memilih tempat yang dapat menarik pengunjung, apa yang perlu dilakukan terhadap penerbitan yang tidak jalan, dan sebagainya.

Sebagai manajer pemula, saya dibukakan mata terhadap hal-hal yang hubungannya tak selalu kausal. Buku laris tak sendirinya berarti buku bermutu, malah kerap kali buku "kacangan" yang laku terjual. Namun, ini bukan berarti buku bermutu tak bisa menjadi best seller (Zen and The Art of Motorcycle Maintenance sudah berapa puluh kali dicetak ulang). Atau dengan sendirinya buku "kacangan" pasti laku terjual. Taraf pendidikan, kecenderungan minat masyarakat pada zamannya, jitu tidaknya pilihan saluran penjualan, kemampuan mempengaruhi lewat promosi termasuk faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan. (Yang menarik kadang-kadang buku yang semula tak diperhitungkan oleh penerbit berpengalaman, seperti seri Harry Potter, malah "meledak" di pasaran. Pengarangnya sendiri sudah "mati" begitu karyanya masuk ke wilayah publik?)

Ada pula isu mengenai soal harga. Pada umumnya, orang beranggapan harga sebuah buku mempengaruhi jumlah penjualannya. Hal ini menyangkut daya beli dan minat baca yang di Indonesia masih rendah, Namun, dalam hal ini bisa diutarakan pula contoh-contoh yang membuktikan sebaliknya. Kamus Bahasa Inggris-lndonesia, John M. Echols-Hassan Shadily, walau harganya kini Rp. 75.000-90.000 (dua edisi harga) sejak terbitnya tahun 1976 di Indonesia hingga kini, senantiasa dicetak ulang berkali-kali. Setiap bulannya dicetak ulang paling sedikit 3.000 eksemplar dan ini sudah berlangsung selama 25 tahun. Demikian pula buku teks seperti terjemahan Marketing Management Philip Kotier setiap tahunnya dapat terjual 20.000-30.000 eksemplar, walau harganya berkisar Rp. 50.000-80.000 (ada dua edisi). Dalam jangka panjang, buku Kotler ini pasti lebih bertahan, dibandingkan buku sensasi petualangan seks seperti Jakarta Undercover. Tampaknya dalam sejumlah hal, tuntutan kebutuhan belajar lebih mendesak, mengungguli pertimbangan harga ataupun kehausan semata akan sensasi.

Setelah kembali ke Jakarta, saya resmi diangkat menjadi kepala bagian Toko Buku Gramedia atau istilah kerennya general sales manager. J.P. Ambar menjabat selaku kepala bagian impor. Saat itu hampir 80% buku yang dijual di Gramedia buku luar negeri. Buku-buku lokal masih langka, seperti masih terbatasnya jumlah penerbit Indonesia. Barangkali ini ada korelasinya dengan hasil penelitian sebuah lembaga manajemen saat itu "belum saatnya, masih belum feasible untuk usaha penerbitan buku di Indonesia".

Toh trio P.K. Ojong-Jakob Oetama dan J. Adisubrata lebih percaya pada intuisi mereka, yakin mampu menciptakan pasar dan tak sekadar berkutat dengan kenyataan yang ada. Sesudah toko buku, didirikan usaha penerbitan buku. Ternyata langkah itu kemudian benar, lebih jitu daripada hasil penelitian yang berpretensi "ilmiah".

Berguru di Lembaga Manajemen
Baru beberapa bulan menjadi manajer, ternyata perusahaan menugasi saya dan sekitar 30 kepala bagian untuk mengikuti lokakarya pemasaran dari Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM). Saat itu yang menjadi pimpinan LPPM Ir. Sadiman, sebelumnya Kadarman dan kemudian hari Dr. A. Pekerti.

Lokakarya berlangsung selama 10 hari, dimulai pukul 16.30 dan diakhiri pukul 22.00 WIB. Di antara para instrukturnya yang saya masih ingat antara lain V. Winarto, B. Suwartoyo dan R. Sutrisno. Cara mereka mengajar lebih menarik dibanding dengan sejumtah dosen dari perguruan tinggi di Indonesia.

Tampaknya mereka menguasai materi yang disampaikan —paling tidak secara teori. Setiap selesai satu hari lokakarya, diedarkan kuisioner untuk diisi para peserta. Isi kuisioner itu di antaranya: perihal materi yang disampaikan, cara instruktur membawakan, penggunaan alat peraga dan sound system. Cukup jelas dan komunikatif? Atau masih kurang? Lalu bagaimana dengan makan malam yang dihidangkan? Lezat atau masih kurang enak? (Menurut istri saya, bumbu vetsin yang ditabur agak berlebihan dapat membuat nikmat makanan.) Dari umpan balik bertahun-tahun semacam ini, para instruktur diharapkan dapat menggembleng dirinya lebih baik. Paling tidak dalam retorika dengan selipan humor renyah di sana-sini.

Saya sendiri memilih bersikap terbuka, mencerna dulu ide-ide dan tidak terburu-buru pasang kuda-kuda. Tak ada keinginan untuk menjadi seperti profesor yang menemui Master Nan-in untuk belajar Zen. Nan-in menuang teh ke dalam cangkir untuk tamunya; sekalipun sudah luber masih juga tidak berhenti mengisi. Sang profesor menjadi terperanjat, "Master, cangkir ini sudah kepenuhan, mengapa Anda terus menuang?" Dan Master Nan-in menjawab dengan tenang, "Anda adalah mirip dengan cangkir ini, belum apa-apa sudah penuh dengan pendapatmu sendiri. Bila Anda tak mengosongkan cangkirmu lebih dulu. bagaimana aku dapat mengajarkan Zen?"

Selama sepuluh hari, sebagai pemula saya mempelajari beberapa konsep pemasaran. Kebanyakan yang bersifat dasariah, Seperti perlunya 4P dalam taktik pemasaran (product, price, place, promotion). Keempatnya itu ibarat roda mobil. Kalau salah satunya kurang angin atau kempis, jalannya perusahaan akan terseok-seok. Kemudian hari 4P itu mekar menjadi 6P dengan tambahan public relations dan political power (wah, rupanya perusahaan harus bisa "main" politik juga). Karena masih ada yang belum puas juga diimbuhi lagi dengan people dan process. Malah ada mulut usil yang mengumpankan P dari perempuan untuk meningkatkan gairah dalam penjualan.

Selain itu, ada konsep lain yang lebih mengakar yang sampai sekarang masih saya coba cari relevansi dan kebenarannya, yakni apa yang disebut "Hukum Pareto" atau Prinsip 80/20 atau rahasia mencapai more with less.

Viltredo Pareto (1848-1923), seorang insinyur, ekonom dan sosiolog Itali itu menemukan adanya prinsip ketidakseimbangan dalam jagat di sekitarnya. Ia melihat umpamanya dalam pola pembagian kekayaan dan penghasilan dalam masyarakat Inggris pada abad ke-19, Pareto menyaksikan betapa 20% dari populasi menguasai 80% kekayaan. Yang menarik bagi dia, pola semacam ini terulang secara konsisten di banyak tempat dan pada periode waktu yang berbeda-beda.

Dibawa ke dalam konsep pemasaran, akan terjabar hal-hal sebagai berikut: 80% dari keseluruhan produk menghasilkan 20% saja. Sebaliknya, yang 20% memberi kontribusi 80% dari total laba. Atau 20% dari konsumen membeli 80% dari total produk. Atau 20% dari input menghasilkan 80% dari output.

Diusung lebih jauh ke dalam masyarakat: tersimpul angka-angka berikut: 20% dari jumlah penjahat melakukan 80% dari total nilai kejahatan; 20% dari jumlah pakaian dikenakan, selama atau sepanjang 80% dari waktu hidup kita; 20% dari total pengendara motor mengalami 80% dari jumlah kecelakaan di jalan.

Sudah tentu angka 80/20 bukanlah "magic formula", formula ajaib yang datang dari langit. Jumlah perbandingannya sendiri tidak mutlak harus 80/20. Ia dapat bergeser menjadi 90/10 atau 70/30 ataupun 80/1 (seperti dalam contoh 1% dari kata-kata dalam New Oxford Dictionary dipergunakan sebanyak 80% untuk percakapan sehari-hari) atau apa pun. Yang penting, beberapa yang vital (vital few) dapat membawa konsekuensi besar (major results). Atau sebaliknya. yang mayoritas (trivial many) hanya menghasilkan dampak yang kecil.

Selama banyak tahun, konsep Pareto itu mengendap di benak saya. Ada keinginan mencari tahu lebih jauh dan kalau perlu "menantangnya" dengan bukti-bukti lain. Sampai suatu hari, pada 2001, saya menemukan buku Richard Koch, The 80/20 Principle (Nicholas Bealy) di sebuah toko buku di Australia.

Richard Koch masih menjadi penganut Hukum Pareto, namun ia bergerak lebih jauh, mempersoalkan manfaat dan mudaratnya dan bagaimana menerapkan dalam berbagai segi kehidupan. Ia menulis cukup mendetail dan menarik dengan semangat positif. Ia bertanya apakah "small is beautiful" atau "big is beautiful"? Kedua-duanya dapat meleset atau salah. Kecil dapat berarti lemah, sebaliknya besar dapat pula berarti jelek. Buruk kalau terjebak dalam berbagai kegiatan yang hanya memboroskan waktu, dana dan tenaga. Dalilnya adalah simple is beautiful, complex is ugly ("sederhana itu indah, keruwetan itu buruk"). Keruwetan yang tak perlu itu harus dipangkas dengan berani. Umpamanya perusahaan memiliki 100 produk, 80% yang kurang menghasilkan itu harus dipilah-pilah. Mana yang masih bisa dipertahankan, mana yang segera —ibarat parasit— harus dibuang.

Yang menjadi persoalan adalah para manajer itu pada umumnya menyukai yang kompleks. Kompleksitas itu merangsang dan secara intelektual menantang, sebab itu keremeh-temehan senantiasa makin diperluas. Sekalipun sudah tidak menguntungkan lagi, namun permainan baru senantiasa diciptakan, sementara permainan lama yang merugikan tetap ingin dipertahankan.

Sebenarnya kalau dipikir secara tajam dalam konglomerasi lebih berlaku Hukum Pareto ini. Dua atau tiga dari total puluhan perusahaan menghasilkan 80% dari pendapatan. Sebaliknya, kalau terjadi bencana kebangkrutan, penyebabnya bisa datang dari dua atau tiga perusahaan saja (ini yang sudah menimpa beberapa konglomerasi di Indonesia).

Richard Koch tak hanya bicara soal bisnis dalam kaitan prinsip 80/20, tapi juga merambah ke bidang kebahagiaan manusia. Menurut dia, 80% dari kebahagiaan hidup terjadi dalam jangka 20% dari waktu kita. Nasihatnya sederhana; rentangkan waktu yang 20% itu menjadi 30% atau 40% atau lebih, hingga kebahagiaan dapat maksimal; dari 80% menjadi 90% atau 95% atau....

Sebenarnya setelah lebih dari seratus tahun Hukum Pareto ditemukan, sudah saatnya, kalau ada ilmuwan yang melakukan refutations —meminjam pemahaman Karl Popper— penyangkalan terhadap dalil-dalil dan bukti yang diutarakan oleh Vilfredo Pareto, George Zipf dan Juran. Maksudnya agar dapat lebih tajam, lebih benar, lebih bermutu. Atau Hukum Pareto itu sudah sedemikian sahih, kukuh dan jitu hingga sukar untuk dirontokkan? Kita menunggu.

Indra Gunawan, pencinta buku. tinggal di Jakarta.
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 12 / Agustus 2003