Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mencetak Buku Pelajaran Lebih Murah

Mahalnya harga buku pelajaran acap membuat pening kepala sebagian orangtua murid. Terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Misalnya Nurhayati, orangtua Andika, siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 01 Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Biasanya, setiap kenaikan kelas atau pergantian semester, ia harus mengeluarkan biaya tambahan sekitar Rp 250.000. Uang itu digunakan untuk membeli buku paket pelajaran sekolah anaknya.

Beruntung, pada Juli lalu, ketika Andika naik ke kelas II, Nurhayati tidak perlu mengeluarkan uang satu rupiah pun. Kali ini, buku paket pelajaran diberikan secara gratis oleh pihak sekolah. ''Pemberian buku gratis itu tentu sangat membantu orangtua murid yang miskin seperti saya,'' ujar Nurhayati kepada Jefira Valianti dari Gatra, Kamis pekan lalu.

Nurhayati adalah salah satu orangtua murid yang terbantu dengan adanya kebijakan buku murah dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tetang Perbukuan itu bertujuan mendobrak tradisi lama bahwa harga buku pelajaran mahal. Caranya, Depdiknas membeli hak cipta sejumlah buku pelajaran dari penulis ataupun penerbitnya. ''Pemerintah mengeluarkan kebijakan buku murah itu melalui pembelian hak cipta buku,'' kata Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo.

Bagi penulis buku pelajaran, program yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhono di Istana Negara, Jakarta, pada 20 Agustus 2008 itu merupakan berkah. Bagaimana tidak, untuk membeli hak cipta satu judul buku, Depdiknas mengeluarkan dana Rp 100 juta hingga Rp 175 juta.

Menurut Kepala Pusat Perbukuan Depdiknas, Sugijanto, pada saat ini terdapat 940 judul buku pelajaran, mulai jenjang pendidikan dasar hingga menengah, yang hak ciptanya telah dibeli Depdiknas. ''Tahun ini, Depdiknas menyiapkan dana Rp 46 milyar untuk membeli hak cipta buku pelajaran,'' ujar Sugijanto kepada Gatra.

Buku pelajaran yang hak ciptanya dibeli itu adalah buku-buku yang telah lolos proses seleksi kelayakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga profesional independen yang mengevaluasi pelaksanaan standar nasional pendidikan. Selanjutnya, buku pelajaran itu disajikan dalam bentuk e-book atau Buku Sekolah Elektronik (BSE).

Pihak sekolah, murid, orangtua murid, atau siapa pun boleh mengunduhnya secara gratis melalui situs khusus BSE milik Depdiknas, yakni bse.depdiknas.go.id. Tak hanya mengunduh, BSE juga boleh diperbanyak dalam bentuk CD atau dicetak dalam bentuk buku. Bahkan diizinkan memperdagangkan cetakan buku BSE itu, tanpa perlu khawatir dituding sebagai pembajak buku.

Hanya saja, karena ini program buku murah, pihak Depdiknas menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk setiap buku yang dijual. Hitung-hitungannya sederhana. Semakin tebal jumlah halaman buku itu, HET yang ditetapkan pun semakin mahal. Misalnya, HET buku pelajaran bahasa Indonesia kelas III SD dengan jumlah 80 halaman dipatok Rp 4.452. Sedangkan HET buku pelajaran ilmu pengetahuan sosial untuk kelas III SMP dengan jumlah 344 halaman ditetapkan Rp 20.593.

Selain tebal halaman, spesifikasi kertas ikut menentukan harga jual buku. Semakin rendah brightness kertasnya, harga bukunya semakin murah. Sehingga orangtua murid tidak harus merogoh kocek lebih dalam.

***

Program buku murah itu mendapat sambutan positif. Sejumlah pihak segera menyosialisasikan penggunaan buku BSE itu sebagai buku wajib para siswa di sekolah. Misalnya di Jawa Timur. ''Semua sekolah dan madrasah negeri, mulai tingkat dasar hingga menengah, di Jawa Timur wajib menggunakan buku BSE,'' kata Salamun, Kepala Sub-Bagian Penyusunan Program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.

Sejatinya, program itu dirancang untuk mempermudah murid memperoleh buku murah. Tapi implementasinya tak semudah membalikkan telapak tangan. Sejumlah persoalan berat menghadang. Misalnya, tidak semua sekolah, terutama yang berada di pelosok desa, memiliki komputer. Kalaupun ada komputer, fasilitas jaringan internetnya belum terpasang. Sehingga murid harus mengunduhnya di warung internet. ''Jangankan untuk bayar internet, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di keluarga saja mereka harus gali lubang tutup lubang,'' kata Agus Amrullah, guru SMP Negeri 3 Surabaya.

Belum lagi keluhan orangtua murid yang kesulitan membeli buku BSE. Sebab tidak semua toko buku menjualnya. ''Saya pernah mencari buku BSE ke beberapa toko buku, tapi nggak ada yang jual,'' tutur Wina Yunita, yang anaknya duduk di bangku kelas VI SD di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Pengamat perbukuan, Gregorius Aris Buntarman, mengatakan bahwa keengganan toko buku menjual buku BSE karena minimnya margin keuntungan. Soalnya, Depdiknas mematok keuntungan dari penjualan buku BSE setingi-tingginya 15%. ''Padahal, jika menjual buku pelajaran non-BSE, toko buku mendapat keuntungan hingga 40% dari harga jual buku,'' ujarnya.

Tak hanya toko buku, sejumlah penerbit juga tidak berminat memperbanyak buku BSE untuk dikomersialkan. Para penerbit lebih memilih menerbitkan buku pelajaran yang telah menjadi andalan dagangan mereka. Hanya ada beberapa perusahaan percetakan yang mau berpartisipasi dalam program buku murah itu. ''Karena punya percetakan sendiri, ongkos mencetak buku BSE bisa ditekan lebih murah. Sehingga percetakan masih bisa mendapat profit,'' kata Aris. ''Tapi paling besar keuntungannya hanya 10%. Itu pun percetakan yang menjual langsung ke sekolah,'' ia melanjutkan.

Kendati ada percetakan yang berminat menggandakan buku BSE, menurut Sekretaris Pusat Buku Murah Indonesia, Upi Tuti Sundari, masih ada persoalan pada distribusi yang belum sampai ke desa-desa di pelosok. Percetakan yang umumnya berlokasi di kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, enggan menerima pesanan dari sekolah yang lokasinya di pelosok desa. Alasannya, ongkos kirimnya yang mahal. Sedangkan percetakan di daerah belum sanggup mencetak buku BSE. ''Selain itu, bahan baku kertas yang ditetapkan Depdiknas sulit dipenuhi percetakan di daerah,'' kata Upi.

***

Bahan baku kertas yang dimaksud Upi, sebagaimana direkomendasikan Depdiknas, antara lain, jenis kertasnya. Yakni HVS dengan brightness atau tingkat keputihan kertas minimal 93%. Patokan brightness inilah yang acap menyulitkan percetakan. Selain harganya mahal, produsen penghasil HVS dengan brightness 93% juga terbatas --dikuasai produsen besar.

Usulan agar spesifikasi kertas untuk BSE diturunkan sebenarnya cukup sering disampaikan. Kalangan produsen kertas beberapa kali melakukan rapat dengan pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian. Pada pertemuan November-Desember 2008, misalnya, dicapai kesepakatan bahwa brightness kertas BSE bisa 70%.

Kesimpulan itu didapat setelah mengamati dengan saksama buku BSE yang dicetak pada kertas 70% (kertas tulis cetak grade A atau HVO) --satu di antaranya hasil produksi PT Aspex Kumbong. Departemen Perindustrian akhirnya merekomendasikan: mencetak buku BSE sebaiknya menggunakan kertas dengan brightness paling rendah 70%. Jadi, tidak harus dicetak di atas kertas dengan brightness 93% (kertas HVS).

Kertas dengan brightness 70% tidak akan mengganggu penglihatan murid. Selain itu, harganya lebih murah daripada kertas HVS, sehingga ongkos cetaknya bisa dihemat hingga 15%. Maka, negara pun diperkirakan bisa menghemat Rp 1,5 trilyun. ''Kertas untuk buku murah itu seharusnya lebih murah dari harga kertas HVS, tapi lebih mahal dari harga kertas koran,'' kata Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Muhammad Mansyur, kepada Rukmi Hapsari dari Gatra.

Maklum saja jika banyak pihak ikut peduli pada buku murah itu, sebab potensi pasarnya lumayan besar. Berdasarkan data APKI, kebutuhan kertas untuk mencetak 470 judul buku BSE ke seluruh siswa sekolah diperkirakan membutuhkan kertas hingga 1,5 juta ton. Menurut APKI, kebutuhan kertas untuk BSE dapat dipenuhi 22 perusahaan yang kini memproduksi kertas tulis cetak, dengan total kapasitas 5 juta ton per tahun.

Departemen Perindustrian, melalui Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Aryan Wargadalam, mengakui bahwa instansinya telah mengirim surat ke Depdiknas pada Maret lalu. Isi surat itu menyebut hasil rekomendasi pertemuan antara perusahaan kertas, APKI, dan Departemen Perindustrian. Yakni menyarankan agar Depdiknas menggunakan kertas dengan brightness serendah-rendahnya 70%, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. ''Harga kertas itu lebih murah jika digunakan untuk mencetak buku sekolah elektronik,'' ujar Aryan.

Kepala Pusat Perbukuan Depdiknas, Sugijanto, membenarkan adanya usulan menggunakan kertas brightness 70% untuk mencetak buku BSE itu. Namun, menurut dia, selama ini Depdiknas tidak menetapkan secara eksplisit batasan brightness kertas itu. Yang diatur hanya kegrafikaan, seperti desain sampul buku, ukuran buku, dan desain isi bukunya. ''Tapi kami berterima kasih dan akan kami bicarakan lebih lanjut usulan itu,'' Sugijanto menegaskan.

Sujud Dwi Pratisto, dan Arif Sujatmiko
Majalah Gatra edisi  42 / XV / 2 September 2009