Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Anne Frank hingga Latifa: Terkenal Menulis Catatan Harian

Cobalah sisakan sedikit waktu untuk menulis catatan harian, di sela-sela rutinitas ataupun kesibukan Anda; "tentu sangat mengasyikkan!" Berkat buku harian pula, nama-nama seperti Mahatma Gandhi, Ernest Hemingway, Ernesto Che Guevara begitu populer dan dipuja dunia. Dari membaca buku harian, kita pun tahu siapa Christoper Columbus sesungguhnya, ataupun pujangga klasik Perancis, Albert Camus, yang kabarnya sering meluangkan waktu untuk membaca catatan harian Fyodor Dostoyevsky, sastrawan Rusia yang menulis novel Brother Kamarazov. Dostoyevsky sendiri sempat menyelesaikan catatan hariannya sebelum meninggal dunia di usia 60 tahun di St. Petersburg, 1881. Rentan waktu yang begitu lama di abad modern ini pun muncul buku harian yang ditulis oleh Laura Ingals Wilder. Kemudian catatan hariannya diangkat ke dalam skenario film dengan judul Little House on The Prairie.

Pada 12 Juni 1929, pukul 07.30 waktu Frankfurt, di sebuah klinik bersalin di pinggiran kota Frankfurt, lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama Anne Frank oleh Ibunya, Edith Hollander Frank. Kelak bayi yang terlahir dengan panjang 21 inchi dan berat 8,5 pounds ini pun akan menggetarkan dunia dengan sebuah catatan harian. Anne Frank menulis buku hariannya dari tahun 1942 hingga 1944, ketika berusia 13-15 tahun. Buku harian yang diberi nama Kitty merupakan teman setianya, tempat ia menumpahkan segala perasaannya dengan bebas: kemarahan, kesedihan, kejengkelan, rasa cinta, dan hari-hari indahnya.

Catatan-catatan Anne Frank ketika itu menjadi simbol kebebasan dan perjuangan bagi rakyat Jerman, di saat jutaan manusia terbunuh di kamp-kamp konsentrasi di bawah kekejaman Hittler dan pemerintah Nazi. Pada 1933, keluarga Frank pindah ke Belanda, karena makin sulitnya bertahan hidup di bawah tekanan Nazi. Di Belanda pun tak lepas dari cengkeraman Nazi, Frank sekeluarga terpaksa tinggal di sebuah persembunyian. Hari-hari pun diwarnai kecemasan, dihantui ketakutan dan beban hidup yang terasa berat. Seperti yang diungkapkan Anne Frank saat ia berulang tahun ke 13: 

14 Juni 1942 
Kitty sayang...
Aku mendapat banyak hadiah dari Ayah dan Ibu, dan dimanjakan oleh teman-temanku. Di antara benda-benda itu ada kamera Obskura, gula-gula, puzzle, bros, buku-buku kisah dari legenda negeri Belanda karangan Joseph Cohen "Daisy berlibur di gunung" (buku yang memukau) dan sejumlah uang. Jadi, sekarang aku bisa membeli buku mitologi Yunani dan Romawi, luar biasa! Kemudian Lies datang menjemputku dan kami berangkat bersama ke sekolah. Pada saat istirahat kubagikan biskuit manis kepada teman-teman dan setelah itu kami belajar. Kurasa sekian dulu. Daaa...kita akan menjadi sahabat karib!'
Anne Frank.

Itulah awal perkenalan Anne Frank dengan Kitty teman imajiner yang kemudian menjadi karibnya. Kekejaman Nazi tampaknya berpengaruh pada perkembangan jiwa Anne; terkadang ia ketakutan dan gemetaran mendengar suara tembakan atau ledakan bom. Ia sering merasa letih dan sedih, tapi itu tak berlangsung lama karena pada dasarnya Anne anak yang periang dan pemberani. Pada 12 Februari 1944, ia menulis:

Kitty sayang...
"Matahari bersinar, langit-langit berwama biru, tiupan anginnya menyegarkan. Dan aku rindu betul-betul rindu pada kebebasan, pada kawan-kawan, rindu untuk sendirian saja. Dan aku juga sangat rindu...untuk menangis...." 
Salam Anne

Selain Anne Frank, Zlata (ketika itu 11 tahun) juga merekam hari-harinya yang mencekam di tempat persembunyian. Ia bercerita pada Mimy, teman imajiner dalam buku hariannya. Gadis kecil itu berkisah tentang perang saudara yang menghancurkan negerinya, Sarajevo. Ia bercerita lagi tentang lonceng kematian, tentang burungnya yang mati, dan tentang sahabatnya yang tewas tertembus peluru sniper.

"...seekor tikus kecil, begitu kecil sehingga aku hampir tidak melihatnya, ia lari di bawah rak buku yang dibangun di caruk dinding. Ibu berteriak. Ia naik ke kursi dan lari ke kamarku. Aku ingin lari keluar namun ... perang terus berkobar."

Kegelisahan Zlata tak jauh beda dengan Anne Frank yang mencatat hari-harinya dengan keharuan dan kecemasan. Perang telah menghancurkan impian mereka dan segalanya yang indah, tak ada tempat bermain, tak bisa pergi ke sekolah ataupun bertemu teman-teman. Yang bisa ditemui hanya tempat dingin tanpa pemanas, listrik, air bahkan kekurangan bahan makanan. Bagi Zlata, semua buku telah dibacanya, tapi untuk bermain piano ia tak punya keberanian karena di depan tempat persembunyiannya para sniper siap menarik pelatuk senjata.

Zlata bercerita lagi tentang kematian yang datang dan pergi setiap saat, kematian orang-orang yang dikenalnya dan teman-temannya yang entah di mana. Ketika perang makin berkecamuk, kota-kota di Sarajevo hancur, hanya pada Mimy ia mengeluh:

"Mimy sayang, aku tidak akan lagi menulis kepadamu melulu tentang diriku. Aku akan menulis tentang perang, kematian. luka, liang perlindungan, kesedihan dan kesengsaraan."

Seperti lazimnya anak-anak di dunia, Zlata pun rindu bermain dengan burung-burung, makan gula-gula atau cokelat kesukaannya. Namun, ia harus bicara politik yang tak dimengertinya. Ia hanya paham politik itu telah merenggut hari-hari indahnya, menghancurkan tempat bermainnya, membunuh semua tetangganya dan menghancurkan negerinya, Sarajevo.

"... Seorang siswa tanpa sekolah, tanpa kegembiraan dan keriangan sekolah. Anak-anak tanpa ruang bermain, tanpa kawan, tanpa matahari, tanpa burung-burung, tanpa alam, tanpa buah-buahan, tanpa cokelat dan gula-gula, hanya ada sedikit susu bubuk...."

Bagi Zlata, buku harian adalah kawan terbaik, "ia mendengar seluruh isi pikiran kita tanpa mengajukan pertanyaan ataupun melakukan protes."

Akhirnya, Zlata dan keluarga berhasil keluar dari kecamuk perang di Sarajevo menuju Perancis berkat bantuan sejumlah jurnalis. Bagi Zlata, Sarajevo tetap negerinya yang indah dan tempatnya bercerita, sekaligus protesnya terhadap perang dan kematian.

Sebagaimana Zlata, kini muncul wajah baru yang mengharukan dunia. Ialah Latifa, gadis kelahiran Kabul, Afganistan 1980, yang menulis catatan harian dan diterbitkan menjadi buku berjudul My Forbidden Face berkat bantuan penulis Shekeba Hachemi di tengah berkecamuknya perang di Afganistan. Pada 7 Oktober 2001, Latifa menuliskan kekesalannya terhadap perang:

"Amerika pergi berperang dengan Taliban. Aku ingin mengakhiri cerita ini, ketika senjata berbicara pada tempat kami. Azadi selalu mengatakan kita akan 'merdeka' pada kami. Tetapi siapa yang berbicara untuk Afganistan ? Aku tak tahu lagi harus berbuat apa...."

Sebagai layaknya gadis remaja, Latifa pun menyukai fashion, ingin pergi ke bioskop dan mengunjungi teman-temannya. Ketika rezim Taliban berkuasa, harapan itu seakan pupus. Sekolah-sekolah ditutup, perempuan dilarang bekerja di sektor publik. Bahkan ibunya yang dokter terpaksa berhenti bekerja. "Kini semua diselimuti awan hitam," ujar Latifa. Ia hanya bisa melihat tragedi, brutalisme dan kehancuran akibat perang.

Afganistan memang tradisi perang dan pertikaian saudara selama beberapa dekade: ketika Afganistan di bawah kekuasaan Presiden Noor Mohammed Taraki dan Perdana Menteri Hafizullah Amin terjadi kudeta (April 1978); campur tangan Uni Soviet terhadap persoalan dalam negeri Afganistan sehingga Mujahidin bergerilya selama 10 tahun (Desember 1979); Afganistan dilanda perang saudara yang tak ada habisnya (setelah 1979 hingga 1994), dan akhirnya Taliban berkuasa dan berhasil menggulingkan kekuasaan Mujahidin; Amerika dan sekutunya melakukan invasi militer ke Afganistan sebagai balasan atas tragedi WTC 11 September 2001 terhadap kelompok Al-Qaeda dan Taliban (7 Oktober 2001). Implikasi dari semua itu, ribuan jiwa rakyat sipil menjadi korban keganasan perang, bahkan anak-anak pun tewas mengenaskan.

Latifa melihat semua tragedi kemanusiaan itu di balik reruntuhan puing-puing kehancuran negerinya. "Semua rata dengan tanah, cuma debu-debu yang beterbangan di udara Kabul," keluhnya. Kemudian, ia mengungkapkan kegetirannya terhadap perang:

"Hidup selalu datang dan pergi, kita tidak memerlukan penindasan, tunduk pada kehidupan (kondisi perang). Aku tidak menginginkan perbudakan, hujan deras bagai emas, dan aku akan mengatakan pada langit, kita tak perlu lagi hujan."

Perang dan kekejaman rezim telah meninggalkan luka, trauma serta kepedihan yang tiada tara bagi Latifa dan Afganistan. Sejenak kekecewaannya pudar ketika keinginannya menjadi jurnalis begitu kuat. Kelak ia ingin berbuat sesuatu, mewartakan kepada dunia tentang Afganistan yang hancur. Namun, apa daya, ketika rezim Taliban mewajibkan burqa menutup seluruh tubuhnya dari ujung rambut hingga menutupi ke telapak kaki, Apalagi yang bisa ia perbuat, kecuali menulis catatan harian yang penuh dengan cerita duka.

Begitu pula di Indonesia, kita mengenal Sok Hok Gie lewat Catatan Seorang Demonstran beberapa tahun lalu. Buku harian ini pun sangat populer di kalangan aktivis 1980-an. Sayangnya, di Indonesia sedikit sekali catatan harian yang diterbitkan untuk dikonsumsi publik. Hal lain yang mendasari miskinnya referensi buku dari catatan harian adalah lemahnya budaya menulis masyarakat. Padahal, menulis catatan harian itu mudah dan sederhana, namun perlu keseriusan, bentuk penulisannya pun beragam, bisa catatan kejenakaan, realitas sosial, pengalaman pribadi sampai kisah cinta yang mengharu-biru. Menurut pakar psikologi Amerika, Dr. James W. Pannebaker, mencurahkan seluruh isi hati dengan menulis dapat memberikan pengaruh positif pada perasaan, pikiran dan juga sebagai terapi jiwa.

Masih banyak catatan harian seperti yang ditulis Latifa dalam My Forbidden Face atau karya lain yang bisa kita baca. Catatan harian yang populardi era 1980-an berjudul Catatan Harian Seorang Kosmonot; 211 Hari di Ruang Angkasa ditulis oleh si jenius Valentin Lebedev, kosmonot Rusia, yang terbang dengan pesawat Soyuz-T bersama A. Berenov menuju stasiun ruang angkasa Salyut-7. Pesawat mereka diluncurkan dari Baikonur, 13 Mei 1982, kembali ke bumi 211 hari kemudian, tepatnya 11 Desember 1982, pukul 10.30 dan mendarat di kegelapan musim dingin di lereng sebuah bukit di Kazakhstan.

Sebagaimana Laura Ingals Wilder, Anne Frank, Zlata, Latifa, Valentin Lebedev sampai Sok Hok Gie di Indonesia, timbul pertanyaan apakah akan muncul penulis catatan harian yang jauh lebih mengharukan ataukah barangkali Anda akan mengikuti jejak mereka, menjadi terkenal berkat buku harian? Silakan mencoba.

Farida Indriastuti Firdaus, koresponden di berbagai media.
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 12 /Agustus 2003.