Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Codex Code: Sekadar Menonton Buku

Di sebuah meja kayu panjang, tiga buku terbuka. Lembar-lembarnya menghadirkan gambar, teks, dan cerita. Lampu belajar, pensil, dan spidol warna-warni menemani. Mereka seolah mengundang siapa saja untuk duduk, membuka halaman demi halaman, dan menyimak kisahnya.

Siapa saja boleh membubuhkan warna dan cerita di bagian buku yang masih polos. Suka-suka. Di sudut-sudut lain, sejumlah buku juga tengadah memancing "pembaca". Namun ini bukan situasi di taman bacaan atau perpustakaan, melainkan suasana dalam pameran "Codex Code" di Kedai Kebun Forum, Jalan Tirtodipuran 3, Yogyakarta, sepanjang 3-27 Maret ini.

Ajang itu menjadikan buku sebagai medium dan ekspresi seni 20 orang dari berbagai latar belakang. Partisipan yang berbasis seni visual menjadikan buku sebagai penampil ilustrasi. Tiga buku tadi, misalnya, karya tiga perupa-visual muda.

Alhasil, buku-bukunya pun adalah buku gambar. Uji Handoko yang asal Yogyakarta menampilkan karakter-karakter khas street art secara monokrom tanpa cerita. Ia menyediakan pensil warna beserta rautannya bagi pengunjung yang mau mewarnai gambarnya.

Bersisian dengan buku Uji, ada binder dengan kertas aneka warna milik ilustrator dari Jakarta, Aprilia Apsari. Di sampingnya, spidol-spidol disusun tegak berdiri. Dari Surabaya, Irien Afianto (ia menyebut dirinya "Malaikat") memajang buku gambar berisi fragmen-fragmen masa kecilnya. Pada karya-karya ini, pengunjung bebas menumpahkan kreasi. Interaktif, meriah, dan eklektik.

Kompilasi ilustrasi dalam buku juga menjadi pilihan Henry Foundation, yang menyuguhkan karya-karya sampul CD musik indie yang telah dibuatnya. Juga ada Ariela Kristiantina (drawing/komik), Scandal (logo grafis), musisi Ican Harem (ilustrasi-ilustrasi deformis), dan Grace Samboh, yang seorang peneliti (drawing plus kolase foto).

Pilihan yang sama tapi dengan eksekusi cukup segar dibawakan Cahyo Basuki Yopi. Pelukis kelahiran Yogyakarta pada 1975 ini membuat 26 buku mungil dari bahan daur ulang. Setiap buku diwakili satu alfabet yang menjadi huruf pertama tema-tema gambar dalam buku tersebut.

Asyiknya, ilustrasi dan teks yang sederhana itu penuh banyolan. Huruf "N" untuk nanas, tapi pada "Q" muncul gambar seorang kiper dan mobil kijang (baca: q-per, q-jang). Selain buku kumpulan ilustrasi, juga ada buku kompilasi foto. Ini ditampilkan Wimo Ambala Bayang dari komunitas fotografer Mes 56, Yogyakarta. Berjudul Shot, buku ini berisi hasil jepretan Wimo pada objek-objek patung di berbagai lokasi. Rekaman dokumentasinya datar saja.

Pameran itu diniatkan untuk mendekonstruksi definisi buku. Kata codex dicomot dari bahasa Latin untuk menyebut lembar-lembar kertas yang dijilid. Sebagai dokumentasi teks, codex menggantikan gulungan kertas dan menjadi purwarupa atas benda yang sekarang kita kenal sebagai buku.

Dalam sejarahnya, produksi buku menjadi suatu kerja yang eksklusif. Butuh kekuatan ekonomi, waktu, dan teknologi tersendiri. Isinya juga mesti sesuai dengan kaidah penulisan hingga norma-norma sosial. Penulisnya tidak jarang adalah tokoh publik dan ditujukan bagi kelas sosial tertentu. Kalau pengetahuan adalah kekuasaan, buku adalah instrumen utamanya.

Intinya, buku mesti dibuat dengan serius. Dan karya-karya "Codex Code" lahir dengan rasa prihatin akan hal itu. Sedari belia, kita telah mengenal buku secara personal, yang bisa kita buat sendiri: diary. Perupa visual Jim Allen Abel mengingatkan ini melalui karya bertajuk E Semmessemmess. Ia mempertontonkan jurnal pribadinya yang berisi catatan pesan-pesan pendek (SMS).

Buku juga pernah hadir sebagai zine dalam perannya meruntuhkan sekat-sekat strata sosial. Zine dibikin dengan semangat do it yourself oleh komunitas film dan kalangan punk era 1960-an. Ketika itu, seniman fluksus dan dadaisme pun mulai menggunakan buku sebagai medium seni. Bambang Toko menafsirkan ini dengan pajangan semacam majalah dinding berisi montase kertas-kertas undangan, buletin, dan selebaran.

Teknologi informasi dan grafislah yang kemudian mempengaruhi produksi buku dan bentuknya. Dari situ, buku bisa diproduksi lebih personal, murah, bahkan cuma-cuma. Definisi buku pun makin longgar. Tema audio-book, misalnya, diterjemahkan rocker Woto Wibowo (Wok the Rock) dengan memasang MP4 dan headset yang memutar cerita pendek berjudul Genesis. Atau Muhammad Akbar yang "memasukkan" walkman lagu-lagu grup band indie dalam sebuah buku ilustrasi.

Adapun untuk merepresentasikan buku virtual atau e-book --yang mengandalkan peranti macam Adobe atau weblog-- kurator Farah Wardani sampai mengusung "isi kamarnya": seperangkat komputer personal, rak buku, bantal, poster, dan buku-buku. Keluar dari medium buku, dalam pengertiannya sebagai jilidan lembar kertas, dipilih oleh Narpati Awangga. Perupa spesialis piksel ini menampilkan rangkaian panel ilustrasi piksel laiknya kartun.

Namun buku sebagai tema sentral, teks sekaligus konteks, dalam "Codex Code" luput untuk dibaca lebih jauh. Barangkali ini terjadi karena sebagian besar karya lebih menyodorkan seni visual yang memprioritaskan style. Kemeriahan visual justru mengabaikan buku sebagai wilayah yang mesti dibaca, menjadi sekadar ditonton.

Hanya perancang grafis dari Jakarta, Irwan Ahmett, yang berani bermain-main dengan gagasan buku sebagai teks dan konteks. Ia mengembalikan ingatan kita akan muasal buku pada periode-periode awal produksinya: sebagai kitab suci.

Karyanya disajikan di mimbar setinggi pinggang, mirip tempat baca kitab suci. Lengkap dengan marka putih dan tulisan "batas suci" serta "berdoa gratis di sini". Buku tebal di atas mimbar juga berkelir putih polos. Satu halaman, satu kalimat doa.

Dengan menggelitik, asyik, juga bernas, doa itu tepatnya semacam keluhan dan permohonan khas kaum urban yang "remeh-temeh", ingin serba-instan. Contoh: "Jadikanlah aku anak kesayangan si bos", "Tolong gantengkanlah pacarku", "Lindungi kupingku dari lagu cinta murahan", "Putihkan kulitku", atau "Perpendek jarak kantorku".

Mungkin Irwan perlu menambah satu doa lagi: "Jangan buat aku ngantuk di depan buku".

Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
Majalah Gatra edisi 19 / XVI / 24 Maret 2010