Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Awas Buku Tak Ramah Anak

Ketika buku dianggap melabrak tabu, urusannya pun menjadi berliku. Mulai ditarik dari peredaran, hingga kemungkinan dibawa ke ranah hukum. Itulah nasib yang menimpa Aku Belajar Mengendalikan Diri, salah satu seri dari buku "Aku Bisa Melindungi Diri". Dalam buku terbitan PT Tiga Serangkai, Solo, Jawa Tengah, ini terselip kandungan tentang masturbasi oleh anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun mengundang manajemen Tiga Serangkai Group (Tiga Ananda), penerbit buku itu, Jumat pekan lalu.

Direktur Operasi Tiga Serangkai, Gatot Wahyudi, mengatakan bahwa pihaknya meminta maaf kepada seluruh masyarakat dan KPAI sehubungan dengan adanya kandungan perkara tabu dan tak pantas dalam buku tersebut. ''Kami sudah mengintrospeksi diri dan menarik buku-buku sejak Desember 2016. Mungkin, yang saat ini masih beredar adalah sisa-sisa dari buku yang telanjur tersebar atau masih ada yang menjualnya di toko online,'' katanya dalam jumpa pers di kantor KPAI, Jakarta.

Menurut Ketua Komisi KPAI, Asrorun Ni'am Sholeh, tujuan penulisan buku itu sebenarnya baik, hanya penyampaiannya saja yang kurang tepat. Terlebih, ada kesan buku itu ditujukan kepada anak-anak. Asrorun mengatakan, buku full colour itu dimaksudkan sebagai panduan bagi orangtua untuk memantau perkembangan seksual anak. "Memang ada masalah, yaitu judul buku yang mengesankan kepentingan anak. Padahal, untuk kepentingan guidence orangtua," katanya di kantor KPAI, Gondangdia, Jakarta Pusat.

KPAI sebelumnya juga merilis bahwa buku tulisan Fitria Chakrawati itu tidak ramah anak. "Bisa dimaknai mendorong penyimpangan seksual. KPAI meminta buku itu harus ditarik. Penerbit dan penulis harus meminta maaf ke publik dan mengakui kesalahannya," kata Asrorun.

Kasus buku tidak ramah anak, sudah berkali-kali terjadi. KPAI mengaku sudah pernah memanggil, bahkan memidanakan penulis buku cabul yang didedikasikan untuk anak dan remaja. KPAI meminta Mendikbud sebagai penanggung jawab sistem pendidikan nasional dan kebudayaan untuk bertanggung jawab dan mengambil langkah serius.

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) juga angkat bicara mengenai buku itu. Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak LPA I, Reza Indragiri Amriel, menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, konten buku berlatar negatif itu tidak cocok bila sasarannya untuk dibaca anak-anak. Penerbit seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih dan memilah buku bacaan anak. ''Penerbit perlu punya mitra bestari agar buku-buku anak menjadi lebih bermutu lagi,'' katanya.

Sebelumnya, LPAI sudah menawarkan diri secara langsung untuk membantu penerbit menerbitkan buku-buku anak yang berbobot. Namun, hal tersebut belum terlaksana lantaran belum adanya kesepahaman antara penerbit dan LPAI. ''Ketum LPAI Kak Seto Mulyadi sudah menawarkan diri secara langsung,'' katanya.

Buku terbitan Tiga Serangkai yang memuat cuplikan cerita 'masturbasi', menurut Reza, kurang elok disajikan untuk anak-anak. Alur penceritaan masturbasi yang terkesan vulgar, dapat memantik persepsi negatif anak. ''Ada banyak cerita lain yang lebih konstruktif ketimbang (cerita) memasukkan tangan ke celana,'' ujar Reza.

Ia tak menampik pada usia phallic (4-6 tahun), anak mulai mengenal dan mengeksplorasi tubuh termasuk alat vitalnya. Tahapan tersebut masuk ke dalam fase pengenalan organ, berbeda dengan motif seks orang dewasa. ''Apakah itu didorong motif seks seperti dewasa? Jelas tidak. Karena anak masih mencoba memahami konsep lelaki dan perempuan,'' katanya.

Reza menerangkan, perlu adanya pengawasan yang baik dari pemerintah, terutama Kemendikbud dan asosiasi penerbitan. Kontrol perlu, tapi jangan sampai membatasi kreativitas. ''Silakan diawasi. Tapi, jangan sampai kontrol itu malah membuat buku menjadi membosankan dan miskin kreativitas,'' ujarnya.

Awaluddin Tjalla, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memastikan bahwa buku ''Aku Bisa Melindungi Diri'' tidak pernah diajukan penerbit, baik kategori buku jenis teks maupun non-teks. ''Artinya, buku itu tidak memenuhi syarat untuk diuji Puskurbuk karena masuk kategori buku umum dan bukan buku penunjang pembelajaran,'' katanya kepada Gatra.

Awaluddin menjelaskan, Puskurbuk tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi semua buku yang dikeluarkan penerbit. Sebab, ada lembaga tersendiri yang mengaturnya. ''Puskurbuk hanya sebatas melakukan pengendalian buku melalui mekanisme yang ada sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016,'' katanya. Intinya hanya mengawasi buku yang digunakan satuan pendidikan, baik buku teks maupun non-teks pelajaran.

Tentang mekanisme pengawasi Puskurbuk, Awaluddin menjelaskan alurnya berupa penerimaan usulan buku dari penerbit yang dinilai oleh staf ahli dari perguruan tinggi yang diwadahi Puskurbuk. Staf ahli itu meliputi bidang studi psikologi, ahli bahasa, dan grafika yang menilai empat komponen. ''Kebenaran materinya, bahasanya, penyajian, dan grafiknya dalam buku tersebut. Empat komponen ini yang akan dinilai pada setiap buku yang diajukan penerbit,'' katanya.

Penilaian buku, lanjut Awaluddin, biasanya dilakukan selama dua kali setiap tahun. Namun, untuk tahun ini akan dilakukan tiga priode setahun dengan memberikan layanan optimal kepada penerbit supaya tidak menunggu terlalu lama. ''Nah, buku-buku yang memenuhi syarat dan kriteria atau layak digunakan di sekolah akan dibuatkan keputusan dari Kemendikbud,'' katanya.

Data di tahun 2016 lalu, tercatat sekitar 1.500 judul buku yang diajukan penerbit. Namun, yang memenuhi syarat hanya 840 judul. Buku itu dipakai untuk jenjang sekolah dasar hingga SMK dan memenuhi syarat masuk kategori non-teks pelajaran. Artinya, bukan buku pelajaran seperti matematika, tetapi merupakan buku pengayaan pendidikan.

Menanggapi buku yang tengah heboh di masyarakat, Awaludddin menjelaskan, Puskurbuk membuat surat edaran dari Kemendikbud yang meminta dinas di tingkat provinsi, kabupaten/kota untuk tidak menggunakan buku tersebut. Selain itu, Kemendikbud juga bersikap lebih proaktif dengan mengingatkan sekolah agar tidak menggunakan buku-buku yang tanpa rekomendasi Kemendikbud dan sesuai dengan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016.

Namun, kata Awaluddin, Puskurbuk memiliki keterbatasan dalam bertindak jika buku semacam itu telah beredar luas di masyarakat. Mengingat Puskurbuk tidak bisa mengatur industri penerbitan buku, dan hal tersebut memang bukan domain Dikbud. ''Kami juga tidak bisa mengatur penerbit. Namun, itu bisa diatur melalui UU Pornografi dan UU Hak Cipta,'' katanya.

Puskurbuk juga tidak bisa mengambil langkah untuk menangani buku umum. Apalagi, buku semacam itu tidak pernah diajukan penerbit untuk dinilai Puskurbuk. ''Artinya, buku ini kami anggap sebagai buku illegal, dan buku umum di luar batas Puskurbuk untuk menilainya. Puskurbuk hanya terbatas menilai buku teks dan non-teks,'' katanya.

Rohmat Haryadi, Anthony, Andhika Dinata, dan Hidayat Adhiningrat P.
Majalah Gatra edisi  18 / XXIII / 8 Maret 2017