Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Paulo Freire: Bapak Pendidik Kaum Tertindas

Paulo Freire (1921-1996) adalah "Bapak Pendidik Kaum Tertindas" yang cukup dikenal di seluruh dunia. Pemikirannya senantiasa relevan untuk dikedepankan berkaitan dengan pendidikan dan kebangkitan masyarakat, dari manusia-manusia yang bodoh, terbelakang, dan tertindas menjadi manusia-manusia yang memiliki pengetahuan, harga diri, dan kebebasan menggapai kemajuan. Tentu saja, mengenal dan mempelajari gagasan dan pemikirannya membutuhkan keterbukaan dan pembebasan diri yang cukup, setidaknya menjauh dari dogma anti-Marxian yang banyak dikaitkan dengan tokoh satu ini.

Tulisan ini mencoba memaparkan sebagian pemikiran Paulo Freire, terutama yang dipaparkannya melalui buku Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the Oppressed (Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, Kanisius, 2001). Kedua buku ini layak untuk disimak, antara lain karena ditulis oleh Freire di penghujung usianya, setelah melewati berbagai pengalaman lapangan yang membuatnya mampu merefleksikan kembali pemikiran tentang pendidikan kaum tertindas. Satu buku lagi dari seri penghujung usia ini adalah; Letters to Christina dan Pedagogy of the City (1993), yang semoga akan segera kita dapatkan terjemahannya dalam bahasa Indonesianya. Karya-karya terakhir ini terasa penting karena menghidupkan kembali gagasan-gagasan dan semangat revolusioner Freiran, yang telah dituangkan dalam magnum opusnya Pedagogy of the Oppressed (1972), untuk mengentaskan kaum tertindas yang dibelanya secara mati-matian demi terciptanya masyarakat yang lebih adil dan ramah.

Gagasan dan semangat revolusioner tersebut bisa kita simak dalam perjalanan panjang kehidupan Freire yang terekam dalam karya-karyanya dan media massa pada tahun 1960-an sampai 1990-an. Dilahirkan di kota Recife, Brazil pada 19 September 1921, Freire mengalami sendiri kesengsaraan kaum papa yang ditindas oleh tuan-tuan tanah yang berkolaborasi dengan penguasa militer. Kematian ayahnya sebagai penyangga perekonomian keluarga di kala Freire masih remaja dengan adik-adiknya yang kecil, menambah penderitaan keluarganya. Himpitan ekonomi ini segera mendesak Freire untuk bekerja sebagai guru bahasa Portugal, sebuah bahasa yang dikuasainya dengan baik.

Jiwa pendidik ini sesungguhnya telah dirasakan Freire sejak kecil. Dia menceritakan bagaimana, misalnya, pada masa kanak-kanak dirinya memperhatikan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan. Menginjak dewasa, meski sempat menjadi pengacara, minatnya pada dunia pendidikan tidak surut, tetapi malah berkobar-kobar seiring dengan pengalaman-pengalaman yang dijumpainya di tengah-tengah kondisi sosial, ekonomi dan politik Brazil yang carut marut. Kiprah pendidikannya untuk kaum tertindas inilah kemudian yang merangsang lahirnya pemikiran-pemikiran dan praksis-praksis kebebasan, yang juga mengantarkannya ke alam pengasingan dan pembuangan. Dan kerja keras ini akhirnya berhasil mengubah wajah pendidikan di Brazil dan mengharumkan namanya di seantero dunia.

Banyak hal memang yang bisa dicatat dari pemikiran dan praksis tokoh pendidikan yang satu ini. Boleh dikata seluruh hidupnya memberikan sebuah skema gerakan yang lengkap, sejak dari caranya melihat dan merumuskan persoalan, merancang pendekatan dan strategi, menerapkannya dalam praksis atau aksi kongkret, dan mengevaluasinya secara berulang-ulang. Lagi pula, perjuangan Freire tidak hanya dipraktikkan di Brazil, tetapi juga di negara-negara lain termasuk Guinea-Bissau dan Amerika Serikat sebagai bagian dari Dunia Ketiga dan Dunia Pertama. Persoalan pokok yang dijumpainya di sejumlah negara itu adalah penindasan oleh kelompok-kelompok yang dominan terhadap kelompok-kelompok yang lemah secara ekonomi, politik, sosial dan pendidikan.

Cara pandangnya ini tampak sangat Marxian yang mengelompokkan masyarakat menjadi borjuis dan proletar. Namun, bukan berarti Freire setuju sepenuhnya dengan ide-ide Marxis. Misalnya, dia menentang aksi kekerasan yang dianjurkan Marx untuk menumpas kelas borjuis. Freire cenderung pada pendekatan dan strategi damai melalui kancah pendidikan untuk mengurai benang kusut penindasan. Menurutnya, penindasan ini tidak akan lenyap jika kaum tertindas tidak menyadari ketertindasannya dan tidak berusaha melepaskan diri dari jerat penindas-penindasnya yang sistemik. Oleh karena itu, pendidikan individu dan pendidikan masyarakat ini sangat signifikan untuk menyadarkan manusia atas persoalan penindasan yang menimpanya dan apa yang harus dilakukan demi masa depan yang lebih baik.

Tujuan utama pendidikan Freire adalah Conscientizacao, konsientisasi, penyadaran (William A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, 2001). Lebih tepatnya adalah peningkatan menuju kesadaran kritis sebagai fase kesadaran tertinggi. Paulo Freire membagi tingkat kesadaran menjadi tiga, yakni: magis, naif, dan kritis. Orang yang berkesadaran kritis akan mampu melihat akar persoalan penindasan dengan objektif , yakni sistem dan struktur politik, ekonomi, sosial dan kultural masyarakat. Oleh karena itu, yang harus diubah adalah sistem dan strukturnya secara keseluruhan, bukan sekedar pelaku dan bentuk lembaga-lembaga yang ada.

Berbeda halnya orang yang masih dalam tingkat kesadaran magis dan naif, dia melihat apa yang sedang terjadi di sekelilingnya secara subjektif. Orang yang berkesadaran magis memandang, misalnya; kemiskinannya sebagai masalah yang di luar jangkauannya, karena menurut dia, disebabkan oleh kekuatan-kekuatan supranatural. Dia merasa dikepung oleh kekuatan-kekuatan magis, sehingga cara berpikir seperti ini menandai kebudayaan magisnya. Sementara itu, orang yang berkesadaran naif melihat akar persoalan yang menimpanya terletak pada faktor manusia. Walaupun manusia itu merupakan faktor penting, tetapi ia hanyalah salah satu faktor dalam sebuah sistem, dan makanya tidaklah cukup mengubah penindasan dengan membidik manusianya semata.

Dicontohkan oleh Smith dalam bukunya itu, jalan keluar yang ditempuh oleh orang yang berkesadaran naif adalah menebar kebencian subjektif terhadap tuan-tuan tanah dan para penguasa sebagai pelaku penindasan. Sikap ini agak mirip, untuk tidak mengatakan sama, dengan euforia banyak kelompok masyarakat di negara kita yang menempuh cara-cara kekerasan subjektif untuk memperjuangkan aspirasinya. Kalaupun cara-cara ini berhasil, sifatnya hanya sementara dan parsial, sedangkan sistem kehidupan kita yang korup masih menyisakan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Di sinilah Paulo Freire memberikan solusi sistemik dan struktural dalam teori dan praksis pendidikannya.

Dalam buku Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire mengisahkan perjuangannya di lingkaran pemerintahan. Dipaparkannya pengalamannya sebagai Sekretaris Departemen Pendidikan Kota di Sao Paulo semasa pemerintahan Walikota Luiza Erundina. Sebagai pejabat pemerintah di Departemen Pendidikan, saat itu dia dihadapkan pada persoalan, yang disebutnya sebagai, kebangkrutan pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif. Ada sekitar lima puluh sekolah yang rusak, lima belas ribu bangku sekolah hancur, juga macetnya keran-keran air dan putusnya aliran listrik di sekolah-sekolah di kota Sao Paulo. Bagaimana mungkin keadaan sekolah yang sedemikian mengenaskan ini bisa mendidik siswa-siswa secara baik? Belum lagi iklim kehidupan sekolah yang otoriter, kacaunya prosedur perekrutan dan pembinaan guru dan keroposnya kurikulum. Situasi ini mungkin sedikit lebih baik dibandingkan kehidupan pedesaan yang digeluti sebelumnya, tetapi secara keseluruhan: bangkrut.

Paulo Freire, khususnya melalui kedua buku di atas, menekankan pentingnya optimisme (harapan) dan hati nurani untuk menghadapi dan menuntaskan bangkrutnya kehidupan masyarakat. Lazimnya, kebangkrutan itu, apalagi kebangkrutan yang berkepanjangan seperti yang melanda Indonesia ini, menimbulkan kegusaran, kemarahan, irasionalitas, pesimisme dan sikap-sikap negatif lainnya. Sikap-sikap negatif ini pada gilirannya akan melahirkan penyakit-penyakit sosial yang semakin memperparah keadaan, padahal sangat diperlukan adanya perbaikan yang segera dan menyeluruh. Dalam hal ini, Paulo Freire mengingatkan kita untuk selalu memupuk optimisme dan hati nurani.

Kelelahan kita dalam usaha mengentaskan krisis yang tak kunjung reda ini sudah cukup menghempaskan asa kita. Kemarahan kelompok-kelompok masyarakat telah cukup memiriskan hati kita. Hampir-hampir kita limbung dan terjatuh. Di sinilah pentingnya optimisme dan hati nurani. Optimisme itu menggugah kita akan masa depan yang lebih baik. Nurani itu menyejukkan dan menenangkan jiwa kita untuk merumuskan solusi secara jernih serta mempraktikkannya. Optimisme itu menggerakkan kesadaran untuk melangkah, sedangkan hati nurani memantapkan ayunan dan pijakan kaki. Krisis ini bukannya tanpa akhir, niscaya ada hari esok yang cerah. Rasa-rasanya, optimisme dan hati nurani ini merupakan kebutuhan ontologis manusia yang akan bisa menyangga eksistensinya di dunia ini.

Lebih dari itu, optimisme dan hati nurani tersebut perlu diobjektivikasi secara kongkret. Artinya, optimisme dan hati nurani harus diejawantahkan dalam penerapan solusi sistemik berdasar modal-modal yang masih dimiliki. Dalam konteks negara kita, modal yang bisa dicatat di antaranya bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu, Pancasila sebagai kontrak sosial (meminjam istilah Ong Hok Ham), kemauan kolektif untuk keluar dari krisis, sumber daya alam yang masih cukup dan utang dari luar negeri yang masih mengalir. Akan tetapi, seperti kata banyak pengamat, sumber daya manusia (SDM) kita yang rendah menyebabkan penyelesaian krisis ini menjadi lebih lambat dibandingkan dengan Thailand dan Korea Selatan.

Dalam kasus ini, lagi-lagi kita bisa mengaca pada program-program Departemen Pendidikan Kota Sao Paulo semasa Paulo Freire menjabat sebagai pimpinannya. Untuk membidani lahirnya generasi yang menyadari kondisi lingkungannya dan yang berkualitas, Freire membentuk tim reformasi kurikulum dan pembenahan prosedur perekrutan dan pembinaan guru. Tim reformasi kurikulum beranggotakan ahli-ahli dari berbagai bidang, seperti sosiologi, antropologi, fisika, matematika, bahasa, seksologi, dan feminisme di sejumlah universitas. Sementara Freire sendiri terjun langsung ke sekolah-sekolah untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya di lapangan.

Reformasi kurikulum yang digagas Freire tersebut juga melibatkan seluruh komponen sekolah: guru, siswa, tenaga administrasi, tukang kebon, karyawan kafetaria, wali murid, dan masyarakat sekitar sekolah. Mereka diwawancarai oleh Freire dan diundang dalam konferensi atau seminar yang membicarakan persoalan-persoalan pendidikan bersama-sama dengan tim reformasi kurikulum. Konferensi ini bertujuan mengeksplorasi masalah dan merumuskan solusinya dengan partisipasi seluruh peserta. Salah satu hasilnya adalah pembentukan dewan sekolah sebagai wakil masyarakat untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka. Yang hendak digarisbawahi Paulo Freire dalam program ini adalah keseriusan dan partisipasi seluruh pihak secara demokratis.

Sementara itu, untuk memperbaiki fisik sekolah, Paulo Freire mengajak pihak-pihak yang memiliki banyak dana untuk membantunya, apalagi mengingat keuangan pemerintah sangat minim. Dikisahkan, Freire merekam sekolah-sekolah yang rusak dalam video kaset, yang kemudian dipertontonkan kepada para peserta konferensi. Dari sinilah dana swadaya masyarakat mengalir, sehingga sedikit demi sedikit bangunan sekolah dan sarana pendidikan lainnya diperbaiki, bahkan dilengkapi dengan alat-alat teknologi canggih seperti internet yang dibanggakan Freire. (Freire terkejut ketika diberitahu cucunya Alexandre Dowbor, bahwa dirinya mendapat e-mail dari seorang Jerman yang ingin mengetahui alamat Freire. Tidak lama kemudian, Freire bisa berkomunikasi langsung dengan orang Jerman itu).

Apa yang dilakukan Paulo Freire tersebut baru dalam lingkup sebuah kota, dengan dukungan penuh dari walikotanya. Perlu dicatat bahwa hasil dari program-program Freire tidak langsung bisa dipetik, tetapi yang jelas Freire meninggalkan jejak yang telah mengubah wajah pendidikan Brazil, meski dia tidak lagi menduduki jabatannya di Departemen Pendidikan. Dan memang kembali harus disadari bahwa pendidikan ini merupakan investasi jangka panjang yang akan menentukan nasib sebuah bangsa. Pendidikan, peningkatan SDM, dan masa depan bangsa niscaya sangat terkait. Oleh karena itu, daya saing sebuah bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di era kompetisi ini benar-benar ditentukan oleh kebijakan pemerintah dan masyarakat yang berorientasi pada peningkatan SDM via pendidikan.

Terakhir, meski pemikiran dan praksis Paulo Freire diakui kepopulerannya, setidaknya ada dua kritik yang bisa disampaikan. Menurut A. Sudiarja dalam sebuah diskusi buku Paulo Freire ini, sebelum diterbitkan ke dalam edisi bahasa Indonesia, Pertama, pendekatan strukturalis Freire terhadap struktur masyarakat yang tidak adil tidak tepat lagi karena dinamika masyarakat. Anthony Giddens, misalnya, lebih melihat dinamika ini sebagai praktik sosial dalam rangka strukturisasi yang kontinu. Kedua, penolakan Freire atas perjuangan kelas Marx tidak diimbangi dengan eksplorasi yang lebih mendalam tentang aksi dialog multilateral sebagaimana yang dikembangkan oleh Martin Buber dan Habermas. Freire sebatas mengusulkan dialog bilateral antara guru dan siswa, elite penindas dan kaum tertindas. Sampai di sini, tampaknya pemikiran dan praksis Freirean ini membutuhkan pemikiran dan praksis generasi penerusnya supaya lebih sesuai dengan konteks (pasca) anno horribilis ini.

Oleh: Agung Prihantoro
Majalah MataBaca