Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mimpi Menulis Buku

"Saya baru saja selesai membaca buku Anda & trims karena isinya sgt mbantu & menjwb per?an saya ttg dunia pnulisan. Saya dpt blajar dr Anda. Selamat. Salam. Palupi."

"Bapak Bambang Yth, salut & trima kasih atas dibuatnya Menggagas Buku edisi 1. Buku yng sngat apik, lugas, Gamblang, prvokatif. Salam pmbaca/pnlis pmula: Dibyo."

Baris-baris kalimat tersebut adalah kutipan SMS yang untuk kesekian kalinya saya terima dari para pembaca buku saya. Sungguh saya menerima respons yang luar biasa antusias dari banyak orang hanya karena menulis buku tentang menulis buku (Menggagas Buku, Bunaya, 2002). Mereka berasal dari berbagai profesi, ada seorang insinyur ahli bendungan, doktor ahli pengemasan makanan, dokter hewan, pakar sound recording, dokter spesialis anak, dosen, mahasiswa, dan banyak lagi. Ini fakta yang menunjukkan betapa sebenarnya orang-orang bergairah untuk menulis buku. Namun, mereka kerap tidak memiliki pengetahuan tentang itu, motivasi serta semangat untuk mewujudkan mimpi mereka. Betapa sebenarnya banyak orang yang bermimpi untuk menulis buku-bukan sekedar godaan finansial belaka-karena idealisme yang menggebu untuk mengalirkan ilmu, imajinasi, dan pengalaman hidup yang berarti, atau dalam lingkup yang lebih luas lagi hendak menggagas sebuah peradaban baru.

Dengan fenomena ini, sangat beralasan jika pada Kongres Ikapi 2002 didengungkan juga perlunya kampanye gemar menulis mendampingi kampanye gemar membaca -diusulkan sebagai salah satu butir program kerja pengurus Ikapi. Niat dan motivasi menulis buku harus ditumbuhsuburkan karena kita hendaknya tidak melupakan bahwa selain bermasalah dengan kebiasaan membaca, bangsa kita pun sangat bermasalah dengan kebiasaan menulis. Meminjam istilah Taufik Ismail, bangsa kita rabun membaca dan buta menulis. Apalah artinya ketika telah sampai masa kegemaran membaca buku bangsa Indonesia begitu menggebu, tetapi di satu sisi karya para penulis pribumi justru tidak membumi hanya karena tidak terjadinya perkembangan dunia tulis menulis yang cukup signifikan.

Berkembangnya kegemaran menulis buku meniscayakan hidup dan bergairahnya dunia perbukuan kita di samping juga memberikan pekerjaan, pembelajaran, sekaligus pelatihan berharga bagi para "perajin buku", seperti editor, ilustrator, dan disainer, karena mereka bisa berkreasi dengan teks dan visualisasi yang berciri Indonesia. Selain itu, lahirnya penulis-penulis buku dari berbagai kalangan dan bidang ilmu sungguh akan membantu percepatan pencerdasan bangsa dan harapan munculnya generasi yang lebih baik dari masa ke masa. Secara tidak langsung, para penulis buku ini bias membentuk komunitas profesi; bisa mendorong disusunnya standarisasi penulisan naskah oleh pihak yang berwenang, seperti Ikapi, Pusat Perbukuan, dan Pusat Bahasa; bisa mendorong munculnya profesi literary agent di Indonesia; bisa menguatkan bargaining position penulis dan penerbit; bisa mendorong lahirnya wacana-wacana kritis dan serius yang membuat bangsa ini lebih pintar menyikapi sesuatu, dan pada ujungnya bisa menjadikan profesi penulis sebagai profesi terhormat yang penuh gengsi.

Inilah sebagian mimpi saya "mengompori" orang untuk beramai-ramai menulis buku dan menerbitkannya. Jangan ragu dengan persoalan menerbitkan, mencetak, atau memasarkan buku. Mereka bisa mencoba konsep sebagai self-publisher (penerbit swakelola): menulis sendiri, menyunting sendiri, mengemas sendiri (kalau bisa), dan memasarkan sendiri buah pikiran mereka dalam bentuk buku sehingga mereka bisa bekerja cukup di ruangan seluas 3x3 meter.

Teknologi desktop publishing kini telah memberi jawaban meyakinkan bagi para penulis bahwa mereka bisa menerbitkan buku sendiri layaknya sebuah buku. Mereka pun bisa memilih percetakan yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, apakah dengan printer laser, fotokopi, digital printing, cetak offset, atau cetak dengan teknologi print-on-demand (POD). Mereka bisa menjualnya dengan cara menitipkan di toko buku besar semacam Gramedia atau juga di toko-toko retail, bahkan melalui pertemuan-pertemuan, seperti seminar, lokakarya, dan pelatihan atau sistem direct selling dan direct mail dari rumah ke rumah. Jangan cemas tentang pengakuan bahwa di Kongres Ikapi 2002 pun dinyatakan para self-publisher bisa diakui atau masuk dalam asosiasi penerbit Ikapi.

Lalu, mimpi saya lagi untuk pendukung para penulis buku: kalau saja saya punya percetakan, saya akan beriklan begini. "Kami mendukung self-publisher. Percayakan cetak buku Anda kepada kami. Daftar harga terlampir untuk 100, 500, 1.000, hingga 3.000 eksemplar". Saya akan membantu para penulis untuk menghitungkan biaya cetak buku mereka yang bertiras kecil sehingga mereka bisa menghitung-hitung anggaran penerbitan buku dari kocek mereka. Jika saya punya toko buku, saya pun akan berlaku sama untuk membantu para penulis yang menjadi self-publisher. Saya akan menjual buku yang khusus hasil "kerajinan" para self-publisher yang mungkin hanya dititipi kepada saya satu, dua, atau sepuluh eksemplar. Buku itu benar-benar eksklusif karena dicetak terbatas. Siapa tahu dari buku-buku yang dicetak terbatas ini akan menjelma menjadi buku yang mengguncang dunia, lalu dicetak missal, seperti halnya A Time to Kill karya John Grisham (sebelumnya dijual dari bagasi mobilnya -Chicken Soup for the Writer's Soul) dan One Minute Manager karya Ken Blancard- yang awalnya diterbitkan sendiri dan dijual sendiri.

Apa yang sebenarnya paling penting dan paling dicari oleh orang-orang yang bermimpi menulis buku adalah pengakuan masyarakat terhadap kredibilitas dan kapabilitas mereka karena bukunya diterbitkan, gagasannya mencerahkan dan menolong banyak orang, serta kualitas keilmuannya mengundang decak kagum. Di Amerika terkenal ungkapan publish or perish yang menyindir para dosen agar sudah sepantasnya mereka menulis buku. Lalu, ada pula ungkapan All scientist are the same, until one of them writes a book. Ini bukti pengakuan terhadap keintelektualan seseorang yang menulis buku dibidang ilmiah. Para penulis buku diagungkan sedemikian rupa.

Para penulis buku akan menjadi warga terhormat, baik untuk lingkup Indonesia maupun global. Mereka akan dianggap sebagai orang yang punya kontribusi dalam mewarnai sejarah peradaban manusia. Kini, siapa yang akan melupakan Daniel Goleman dengan gagasan EQ-nya karena ditulis dalam buku, Robert T. Kiyosaki dengan gagasan Cash Flow Quadrant-nya, Bobbi DePorter dengan gagasan Quantum Business dan Quantum Learning, Stephen R. Covey dengan Seven Habits-nya? Di Indonesia siapa yang kini tidak mengenal penggagas konsep yang juga sekaligus penulis buku, seperti Jalaludin Rakhmat, Ary Ginanjar, Hermawan Kartajaya, Andreas Harefa, Rhenald Kasali, Anand Krishna, dan Aa Gym? Mereka termasuk raja-raja buku best seller di Indonesia.

Saya ingat ucapan penulis buku best seller yang saya sebut terakhir yaitu Aa Gym, agar sebaiknya kita bermimpi ketika tersadar karena gratis serta dapat membayangkan yang paling spektakuler sekalipun. Mimpi menjadi penulis besar ketika sadar adalah mimpi yang bisa memotivasi dan memancing lahirnya ide-ide brilian. Oleh karena itu, iklim kondusif bermimpi menjadi penulis buku ini haruslah dihidupkan. Pusat Perbukuan dan Pusat Bahasa harus mampu menjadi muara bertanya bagi para penulis buku yang memerlukan bimbingan. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) juga harus mampu menjadi basis motivasi, pencerahan, dan apresiasi yang layak agar orang mau beramai-ramai menulis buku. Sekolah-sekolah harus mulai menganggap penting pelajaran menulis dan mengarang dengan konsep dan kurikulum yang benar-benar berbasis kompetensi. Pemerintah juga harus mampu mengeluarkan kebijakan yang mendorong lahirnya para penulis buku yang salah satu bentuk nyatanya adalah menghapuskan pajak penghasilan bagi penulis atau pengarang serta memberikan penghargaan (award) atau sponsor biaya penelitian bagi para penulis. Kalau demikian yang terjadi, menulis buku? Siapa takut?

Bambang Trim
Majalah MataBaca