Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kiswanti dan Warung Baca Lebak Wangi

''Akhirnya sampai di sini juga,'' Kiswanti menyapa Gatra, yang bertandang ke rumahnya yang sederhana di Kampung Saja, Parung, Bogor, Jawa Barat. Perempuan 44 tahun itu dengan ramah mempersilakan Gatra duduk di tikar pandan yang digelar di ruang tengah rumahnya. Di pojok ruangan seluas 3 x 4 meter itu, selain ada tumpukan koran dan majalah, juga terdapat rak buku.

Di ruang tamu ada lemari tempat barang dagangan dan dua komputer yang berjejer sedang dioperasikan empat bocah cilik berusia tujuh tahunan. Sayup-sayup dari ruangan samping, yang tersambung dengan rumah induk, terdengar salawat Nabi yang dilantunkan anak-anak yang sedang belajar mengaji. Di ruang berukuran 4 x 9 meter itu terpasang dua rak buku besar, tempat Kiswanti meletakkan buku-buku koleksinya.

Kebanyakan buku itu untuk anak-anak, resep makanan, novel, cerita rakyat, komik, dan keterampilan praktis. Warga di sekitar tempat Kiswanti tinggal menyebutnya ''Warabal'' alias ''Warung Baca Lebak Wangi''. Sejak Januari tahun lalu, setiap hari rumah itu tak pernah sepi dari suara anak-anak. Dari yang sekadar ingin meminjam buku sampai belajar mengaji.

Senin sampai Jumat, aktivitasnya dimulai pukul delapan pagi, untuk mengajari anak-anak umur 3-5 tahun belajar membaca. Karena terbatasnya media untuk mengajar, perempuan yang akrab dipanggil Bude ini sering mengajak mereka ke kebun singkong sebelah rumahnya. ''Saya petikin gagang daun singkong dan membentuknya jadi huruf,'' ujar Kiswanti.

Metode itu ternyata mampu membantu anak-anak membaca dengan cepat. Karena keberhasilan ini, dalam jangka enam bulan, anggotanya bertambah dari lima menjadi 30-an anak. Kiswanti menamai kegiatan itu ''Pendidikan Anak Usia Dini''. Ia tak mendaftarkan kegiatan itu ke Departemen Pendidikan Nasional, kata Kiswati, karena prosesnya ribet.

Lagi pula, kegiatan ini tak memungut biaya, sehingga Kiswanti tak merasa bersalah. Rumahnya agak lengang ketika anak-anak itu pulang. Namun, sekitar pukul dua siang, rumah itu mulai ramai lagi oleh anak-anak sekolah dasar yang belajar komputer dan mengaji. Usai salat magrib, giliran anak-anak SMP yang datang untuk belajar kelompok.

Untuk kegiatan siang sampai malam hari, Kiswanti hanya bertugas mengawasi. Tugas mengajar diserahkan kepada para sukarelawan, yang punya pendidikan lebih tinggi. Ia sangat sadar, sebagai lulusan sekolah dasar, kemampuannya terbatas. Namun ia tak menyerah pada keterbatasannya. Ibu dua anak ini memulainya 11 tahun lalu.

Kiswanti memperkenalkan budaya membaca kepada masyarakat sekitarnya dengan cara unik. Ia berjalan kaki dari rumah ke rumah sembari berjualan jamu gendong. Bukan hanya barang dagangan itu yang dibawa, melainkan juga sejumlah buku. Itulah yang dibacakan, lalu dipinjamkan kepada warga yang dijumpainya.

Sejak lima tahun lalu, Kiswanti menyisihkan uang belanjanya sebesar Rp 3.000 per hari. Setahun kemudian, hasil tabungan itu dipakai untuk membeli sepeda. Wanita perkasa itu mengayuh sepeda untuk menebarkan ilmu dari buku-buku koleksinya. Rata-rata sehari ia menempuh jalak 20 kilometer. Dengan sepeda itu, Kiswani berkeliling kampung mengedarkan buku koleksinya, tanpa memungut biaya sepeser pun.

''Anggap saja perpustakaan keliling kecil,'' kata Kiswanti. Ia merasa, buku masih menjadi barang mewah untuk keluarga-keluarga itu. "Saya bilang ke mereka, kalau anak-anak saya bisa pintar dan masuk sekolah favorit, itu karena saya membiasakan membaca buku," ujar ibunda Afief Priadi, 16 tahun, siswa terbaik SMK II Ciluar, Bogor, dan Dwi Septiani, 12 tahun, kelas V SD Lebak Wangi, itu.

Usahanya bersepeda, selama sekitar sembilan bulan pada 2003, membuahkan hasil. Tetangga sekitar, yang mayoritas buruh pabrik garmen, mulai kecanduan membaca. Jiwa mendidik Kiswanti tak hanya tertuang melalui perpustakaan, melainkan juga pada sikap tegasnya untuk tak menjual barang dagangan yang tidak bermanfaat di warungnya.

Misalnya makanan ringan berpengawet tinggi atau mainan tiup yang konon mengandung racun. "Saya kira, tidak adil kalau kita hanya berbicara keuntungan,'' ia menegaskan. Untuk mengajarkan disiplin, ia hanya menjual permen kepada anak-anak yang sudah mandi, suka minum air putih, atau sudah makan.

Ide Kiswanti menularkan budaya baca timbul ketika ia sering mendengar anak-anak di sekitarnya kerap mengeluarkan kata-kata kotor. Prihatin atas kondisi itu, ia mengumpulkan mainan bekas dan mengajak mereka bermain. Sembari bermain, ia membacakan buku-buku koleksinya.

Kemudian muncul gagasan untuk berjualan sembari membawa buku. Ia yakin, banyak masyarakat yang punya minat baca tapi tidak mampu membeli buku. Ia mendendam karena tidak mampu bersekolah. Setelah ia lulus SD, ayahnya, Trisno Suwarno, meminta maaf karena tidak mampu menyekolahkan Kiswanti ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

Sang ayah berpesan, kalau ingin pintar, ia harus banyak membaca. Sebagai ganti sekolah, sang ayah membelikannya buku dan majalah bekas. Kecintaan Kiswanti pada buku sangat besar. Ia bahkan bermimpi memiliki perpustakaan sendiri. Cita-cita itu dituliskan pada selembar kertas yang ditempel di diding rumahnya di Bantul, Yogyakarta. ''Nama: Kiswanti, Lahir: Sabtu Wage, 4 Desember 1963, Cita-cita: Ingin Punya Perpustakaan Sendiri''. Begitu bunyi kertas tersebut.

Untuk mewujudkannya, ia pergi ke Jakarta dan menjadi pembantu rumah tangga untuk satu keluarga Filipina pada 1989. "Saya tidak minta dibayar dengan uang, tetapi dengan buku,'' ujarnya. Selama lima tahun bekerja di sana, Kiswanti mengumpulkan 180 buku. Sekitar tahun 1994, ia bertemu dengan Ngatmin, yang pada saat itu masih bekerja sebagai buruh bangunan. Keduanya kemudian menikah.

Setelah menikah, mereka pindah ke Parung, Bogor. Awal tinggal di sana, Kiswanti selalu takut karena setiap pulang dari Jakarta, banyak laki-laki yang mengira dirinya wanita tunasusila. ''Pada saat itu, Parung masih terkenal dengan warung remang-remang,'' ia mengenang. Setelah berumah tangga, Kiswanti masih rajin mengumpulkan buku, bahkan meminjamkannya kepada masyarakat setempat.

Karena belum punya rak buku, ia meletakkan buku koleksinya di dalam kardus. Hobinya berkeliling kampung dengan sepeda sembari meminjamkan buku sempat terhenti, karena ia terserang liver pada pertengahan 2005. Kiswanti sering merasa cepat lelah dan mual. Semula, ia mengira sedang hamil. Namun pemikiran itu hilang karena haidnya lancar. ''Tiba-tiba saja saya pingsan ketika pulang dari berkeliling,'' katanya. Ketika ia dibawa ke rumah sakit, dokter memvonis bahwa livernya terganggu.

Kiswanti pun diharuskan beristirahat. Selama enam bulan ia minum jamu temulawak. Kondisinya pun berangsur-angsur membaik. Meski ia sakit, perpustakaannya tetap berjalan. Bedanya, masyarakatlah yang mulai mendatangi rumahnya. Pada saat itulah Kiswanti merasa rumahnya sangat sempit dan tidak muat untuk menampung orang yang berkunjung.

Ketika mendapat bantuan dari Departemen Pendidikan Nasional sebanyak Rp 7 juta, ia memanfaatkan uang itu untuk membangun ruangan yang kini menjadi perpustakaan. Karena masih kurang, ia terpaksa menjual motor suaminya. Kemudian ditambah dengan uang hadiah ikut program ''Tantangan'' di Lativi. Sisa uangnya dibelikan rak dan buku-buku untuk menambah koleksi. Kini buku koleksinya mencapai 3.000-an.

Selain meminjamkan buku, Kiswanti juga mengusulkan berbagai kegiatan yang sangat bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya, seperti kursus memasak dan menjahit. Ia pun pernah mengadakan lomba jalan sehat dan seminar kesehatan. Kini Kiswanti sedang sibuk membujuk para tetangganya untuk menanam tanaman obat atau tanaman produktif lainnya. ''Kemarin sudah ada yang panen jeruk dan menyumbang buku ke perpustakaan sebagai ucapan terima kasih,'' ujarnya.

Usaha Kiswanti tak pernah disokong dengan modal yang besar. Hanya tekad dan kecintaannya pada buku yang mendorongnya berusaha tanpa kenal lelah.

Elmy Diah Larasati
Majalah Gatra edisi 28 / XIV / 28 Mei 2008