Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jokowi Undercover: Rasa Benci Tanpa Fakta

Jokowi Undercover
. Begitulah judul bersampul kelir hitam dengan tulisan berkelir merah-putih. Di subjudul tertulis ''Melacak Jejak Sang Pemalsu Jatidiri''. Buku berisi ratusan halaman itu ditulis oleh Bambang Tri Mulyono. Dalam promosinya di media sosial, Bambang mengatakan bahwa ia tidak rela Joko Widodo menjadi presiden. Sebab, menurut Bambang, Jokowi telah memalsukan riwayat hidupnya saat mendaftar sebagai calon preisden pada 2014.

''Ini merupakan aksi bela negara saya. Ini posisi saya,'' ucap Bambang dalam video di laman Facebook-nya pada 24 Desember 2016. ''Siapa pun yang menekan saya, akan saya hadapi. Termasuk Presiden!''

Kini, Bambang benar-benar harus menghadapi aparat penegak hukum. Sebab, sejak akhir tahun lalu, Bambang telah ditangkap oleh Kepolisian atas laporan Michael Bimo Putranto. Nama terakhir ini melaporkan Bambang dengan tiga tuduhan. Pertama, tuduhan seperti diatur Pasal 16 UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kedua, tuduhan seperti diatur Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa. Ketiga, tindakan seperti diatur Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pengenaan pasal-pasal tersebut wajar. Sebab, dalam buku tersebut, Bambang mengatakan bahwa Jokowi dan Bimo merupakan saudara, yang dari keduanya mengalir darah Partai Komunis Indonesia. Hal tersebut, menurut Bimo tidak benar. ''Itu fitnah. Buku itu banyak menyebar kebencian,'' kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Rikwanto, menirukan ucapan Bimo kepada Gatra Senin lalu.

Memang, bila diteliti lebih dalam, isi buku tersebut memang jauh dari nilai jurnalistik maupun akademis. Contohnya adalah dasar Bambang menulis buku ini. Dia beranjak dari sebuah foto D.N. Aidit tengah melakukan orasi yang Bambang ambil dari Wikipedia, ensiklopedia multibahasa dunia maya. Di foto tersebut, terdapat gambar seorang pria bernama Widjianto yang tampak dari samping. Foto Widjianto inilah yang kemudian dicocok-cocokan Bambang dengan profil kepala Jokowi.

Ketidakakuratan Bambang bukan hanya itu saja. Hampir di semua isi bukunya, Bambang seperti mengarang bebas. Seperti, ia menyebutkan bahwa sampai saat ini ada seorang nyonya X yang mengundang Jokowi untuk kampanye pilpres di Rumah Sakit Katolik Brayat, Minulyo, Solo, Jawa Tengah. Ny X ini, tulisnya, adalah ibu kandung Jokowi. ''Bisa dipastikan seorang wanita China yang berasal Lasem, Rembang, Jawa Tengah dengan marga Yap,'' tulisnya. Siapa Ny X ini? Bambang tak menyebutkan.

Dalam buku ini, Bambang pun menyangkutpautkan Jokowi dengan Stan Greenberg, yang ia tulis sebagai konsultan pencitraan untuk media-media internasional, seperti Time atau Washington Post. ''Penipuan Jokowi ini ditangani oleh konsultan Yahudi Greenberg bersama James Riady dan Eduard Wanadi,'' tulisnya.

Masih banyak lagi isi melantur dalam buku tersebut. Di semua pernyataan tersebut, tidak disertai dengan fakta-fakta keras. Buku tersebut juga berisi copy-paste komentar banyak orang di lini masa media sosial. ''Buku ini isinya banyak menyerang pribadi Presiden, bahkan sampai disebut keluarganya merupakan anggota PKI,'' kata Rikwanto. ''Tuduhan yang ditulis di buku dan media sosialnya hanya berdasarkan sangkaan pribadi, isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan.''

Jokowi Undercover sendiri, menurut Rikwanto sudah diperjualbelikan sekitar 300 eksemplar. Cara memasarkan Bambang melalui media sosial dengan harga Rp 75.000 untuk Pulau Jawa, Rp 100.000 luar Jawa dan Rp 150.000 luar negeri. Adapun soal motif, menurut Rikwanto, sederhana saja, yakni ingin terkenal. ''Mencari sensasi. Supaya masyarakat tahu kalau buku itu yang buat dia,'' kata Rikwanto.

Lalu, siapakah Bambang? Ia merupakan pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 5 Mei 1971. Ia pernah mengenyam bangku kuliah di Universitas Diponogoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah. Hanya sebentar di sana, Bambang pun keluar dari Undip dan melanjutkan studi di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.

Meski saat ini pekerjaannya tidak jelas, menurut informasi yang Gatra dapatkan, Bambang pernah menjabat sebagai ketua komisi pemilihan umum kecamatan salah satu daerah di Blora. Bambang juga pernah mencoba peruntungannya menjadi anggota legislatif daerah Blora sebanyak dua kali.

Dari sisi keluarga, bungsu dari enam bersaudara itu terhitung berasal dari kalangan cukup terpandang. Kakak pertamanya, Endah Suhartini, adalah mantan Kepala Desa Sukerejo. Sedangkan kakak keduanya, Bambang Sudono, merupakan senator DPD asal daerah pemilihan Jawa Tengah dan Ketua Pengkajian MPR.

Menurut Sadono, sang adik memang gemar menulis. Bahkan, menurutnya, Bambang sering membantu para tokoh --seperti guru besar di suatu universitas hingga anggota DPR-- untuk menulis di media. Sedangkan saat ditanya tentang tingkat intelektualitas Bambang dalam buku Jokowi Undercover, Sadono irit bicara. Sadono hanya menganggap isi buku adiknya itu merupakan kritik. ''Tanggapan dan kritik itu boleh saja,'' kata Bambang Sudono kepada Gatra. .

Sejauh ini, buku lain yang telah dibuat Bambang Tri adalah Adam 31 Meter. Buku ini berisi tentang seputar penemuan jejak Nabi Adam yang disebut berpostur raksasa dan dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran. ''Yang pernah ditunjukan ke saya, itu saja,'' katanya.

Akibat Jokowi Undercover, penerbit Adam 31 Meter, Pustaka Pesantren, sampai didatangi intel pekan lalu. Menurut staf Pustaka Pesantren, Bambang memang sempat menawarkan penerbitan itu untuk menerbitkan Jokowi Undercover. Sayang, staf tersebut enggan bercerita banyak seputar tawaran Bambang itu.

Kini, Bambang terancam dipenjara selama lima tahun karena diduga melanggar Pasal 16 UU Nomor 40/2008. Hal lain yang harus dicermati dalam kasus ini adalah beleid tersebut. Pasalnya, UU Nomor 40 terhitung sangat jarang digunakan oleh kepolisian untuk menjerat tersangka. Hal ini, setidaknya diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi W. Eddyono.

Banyak anggapan, minimnya penggunaan pasal ini dikarenakan akan sulitnya pembuktiaan di ranah pengadilan. Namun, Supriyadi tak sepakat soal hal ini. Menurut Supriyadi, jarangnya UU ini digunakan, lebih dikarenakan Kepolisian tak mempunyai niat saja. ''Justru membuktikan kasus judi online lebih sulit, tapi polisi bisa tangani kasus judi online,'' ia menguraikan.

Dalam UU Diskriminasi, khususnya di Pasal 4 dan Pasal 16, elemen utamanya adalah ''kebencian kepada orang karena adanya diskriminasi ras dan etnis''. Sedangkan jika menggunakan UU ITE, khususnya Pasal 28 ayat (2), juga mememiliki unsur penting, yakni ''menimbulkan rasa benci atau permusuhan... masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan''. ''Jadi dalam kasus ini harus dilihat substansinya; apakah diskriminasi ras dan etnis atau spesifik ''antargolongan'' dalam UU ITE,'' Supriyadi menguraikan.

Andya Dhyaksa, Averos Lubis, Sujud Dwi Pratisto dan Arief Koes Hernawan (Semarang)
Majalah Gatra edisi 11 / XXIII / 18 Januari 2017