Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Virginia Woolf: Akhir Dari Pergulatan Melawan Sang Bidadari

Apa pentingnya kegiatan menulis bagi perempuan? Apa bedanya kegiatan menulis dengan kegiatan kreatif lainnya bagi perempuan? Mengapa perempuan yang menulis hampir selalu menjadi perhatian khusus? Pertanyaan ini yang sering kali muncul di benak saya. Dalam hal ini, perjalanan kepenulisan Virginia Woolf adalah sebuah kasus menarik. Ia adalah seorang sastrawan Inggris yang hidup di awal paruh abad ke-20. Namanya seharum Kartini di negeri kita dan juga seanggun nama Simone De Beauvoir dari Perancis. Meski dalam dunia perbukuan kita, nama Virginia relatif tak dikenal karena dalam beberapa dasawarsa ini belum pernah terbit karya-karyanya yang telah dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia, kecuali sebuah buku yang merupakan pembahasan tentangnya. Buku itu berjudul Kegelisahan Seorang Feminis, Sosok Virginia Woolf yang ditulis oleh M.A.W. Brouwer dan Myra Sidharta, diterbitkan oleh Penerbit Grafiti. Dalam waktu dekat ini, akan terbit pengalihbahasaan karya-karyanya yang telah diperbincangkan terutama dalam dunia kesusastraan. Tulisan ini pun merupakan sedikit pemahaman dan pertanyaan saya sebagai editor karyanya yang berjudul Mrs. Dalloway.

Dalam sebuah tulisan pendeknya, yang bejudul Profesi bagi Kaum Perempuan, terdapat poin penting berkaitan dengan kegiatan menulis bagi perempuan. Dalam tulisan tersebut, Virginia membuka sebuah dunia perempuan yang berisi penghuni yang menjadikan perempuan selalu berhadapan dengan hal-hal problematis ketika akan menulis. Ia menyebutnya sebagai The Angel in the House atau Bidadari di dalam Rumah. Sang bidadari ini adalah pengganggu di dalam diri perempuan ketika akan melakukan kegiatan menulis. Karena menulis merupakan kegiatan berbahasa, dan bahasa selalu menyimpan nilai-nilai politis maka perempuan akan menemukan hal politis tersebut. Dialah yang biasanya muncul di antara aku dan lembaran kertas saat aku sedang menulis review. Dialah yang mengganggu dan menyita waktuku serta menyiksaku sehingga kubunuh ia pada akhirnya. Sang bidadari ini adalah konsekuensi dari bahasa yang bersifat patriarkal. Seakan-akan bahwa perempuan tak mempunyai tempat dan tak pantas untuk bergerak dan hidup dalam dunia bahasa. Bahasa adalah milik kaum laki-laki. Perempuan lebih akan menjadi perempuan ketika ia berdiam diri, tak bicara, tak juga menulis, dengan demikian ia tak diizinkan berfikir karena kegiatan menulis (berbahasa) adalah kegiatan kritis berfikir. Perempuan yang bisa menulis maka ia bisa berfikir kritis merupakan sesuatu hal yang tak lazim khususnya di zaman ketika Virginia hidup. Meskipun dalam perkembangan sejarah kesusasteraan Inggris, Virginia bukanlah perempuan pertama yang menulis, tetapi sang bidadari ini tetap saja menjadi semacam tantangan yang harus selalu Virginia lawan, tolak atau bahkan ia bunuh agar bisa menulis dengan leluasa.

Sang bidadari yang hidup di dalam perempuan terutama dirasakan dan dibeberkan oleh Virginia terlebih merupakan nilai-nilai yang tertanam sangat dalam di dalam diri perempuan. Namanya saja sang Bidadari yang berarti sosok yang sangat dekat dengan perempuan itu sendiri. Ia semacam sahabat karib perempuan, gambaran perempuan pada umumnya di zamannya atau bentukkan nilai-nilai masyarakat, seperti yang Virginia tulis, wanita itu sangat-sangat simpatik, sungguh menyenangkan dan juga tidak egois.

Dia pandai dalam seni kesulitan hidup berkeluarga. Dia mengorbankan dirinya setiap hari. Kalau tersedia daging ayam, dia makan bagian kakinya. Jika ada kesengsaraan, dia duduk di dalamnya, pendek kata dia terbentuk seperti itu hingga tak punya pikiran atau keinginan sendiri, tetapi memilih untuk selalu bersimpati dengan pemikiran dan keinginan orang lain. Sifat seperti Sang Bidadari ini merupakan sifat bentukan yang tak mudah untuk disingkirkan. Sementara penulis harus memiliki pemikiran sendiri atau katakanlah sebuah ruang yang harus dimiliki sendiri agar bisa menghasilkan pemikiran dan karya yang orisinil. Virginia menggambarkannya begini, Aku menoleh kearahnya dan mencengkram lehernya. Kulakukan yang terbaik sebisaku untuk membunuhnya. Jika dihadapkan ke pengadilan, alasanku adalah motif pertahanan diri. Jika aku tak membunuhnya dia akan membunuhku. Dia akan memetik pokok dari tulisanku. Karena sebagaimana kualami, langsung saja kuletakkan pena di atas kertasku. Kau bahkan tak akan bisa membuat sebuah review sebuah novel tanpa memiliki pemikiran sendiri, tanpa mengekspresikan apa yang menurutmu benar tentang hubungan antar manusia, moralitas, jenis kelamin. Dan seluruh permasalahan itu, menurut Sang Bidadari di dalam rumah, tak dapat diungkapkan secara bebas terbuka oleh kaum perempuan.

Kita bayangkan bahwa selama Virginia akan tengah menulis sebuah karya tulis maka ia harus terus-menerus melawan dan membunuh Sang Bidadari itu. Kemudian banyak melahirkan karya-karya yang diakui sebagai karya avant-garde. Gaya penulisannya adalah gaya yang baru dengan kegelisahan sebagai titik berangkatnya. Ia melahirkan karya-karya eksperimental yang mendobrak nilai-nilai yang telah mapan, terutama nilai-nilai yang berkaitan erat dengan dunia perempuan, seperti perkawinan. Kegelisahan yang mengganggunya pada akhirnya melahirkan interpretasi baru terhadap segala hal, termasuk terhadap dunia kepenulisan terutama tulisan fiksi yang telah lama digelutinya. Meski selalu dengan taruhan ketergangguan jiwa semacam depresi, ia berupaya keras menulis novel dengan corak yang sama sekali baru. Seperti halnya sifat alamiah perempuan, yaitu melahirkan, Virginia harus menulis untuk menciptakan sebuah dunia yang hanya terdiri dari imaji-imaji ciptaannya karena menulis adalah kegiatan vital baginya. Meski dengan konsekuensi melawan terus-menerus, Sang Bidadari di dalam rumah tersebut. Sejumlah karya ia lahirkan terutama untuk menentang ketidakbahagiaan di dalam perkawinan. Virginia membicarakan bahwa perkawinan (keterikatan) membuat perempuan harus kehilangan ruang untuk dirinya sendiri. Seperti yang ditulisnya di dalam Mrs. Dalloway:

Clarissa masih menyadari dirinya bertengkar di taman St. James, masih membela dirinya dan ia harus melakukannya bahwa tepat baginya tidak menikah dengan Peter. Dalam suatu pernikahan harus ada izin, sedikit kebebasan antar dua manusia hidup bersama hari demi hari di rumah yang sama; seperti yang ada antara Richard dan dirinya. (Di manakah Richard pagi ini, Misalnya? Ikut suatu perkumpulan, Clarissa tidak pernah bertanya lebih lanjut.) Tetapi dengan Peter segalanya harus dibagi bersama; semua harus dijalani bersama. Dan Clarissa tidak tahan akan hal ini, dan saat kejadian di taman di dekat air mancur, Clarissa harus melepaskan diri dari Peter atau mereka berdua akan hancur, mereka berdua akan rusak, Clarissa yakin benar akan hal ini.

Tema tersebut terdapat juga dalam esainya, A Room For One's Own: bahwa tanpa kedudukan penting dan kekayaan mustahil bagi perempuan untuk mempunyai ruang bagi dirinya sendiri. Keberbagian dengan pasangan seperti perampokan akan sebagian dari diri. Cerita Mrs. Dalloway menguraikan tentang ketidakbahagiaan yang disebabkan oleh perampokan diri yang terjadi di dalam perkawinan, khususnya dalam relasi antara lelaki dengan perempuan pada umumnya.

Dalam Mrs.Dalloway-lah, Virginia menemukan hasil eksperimentalnya yang memuaskan. Kegelisahan dituangkan ke dalam penciptaan corak baru dalam membuat sebuah cerita dalam novel. Bila Syahrazad dalam Kisah Seribu Satu Malam bercerita hampir setiap malam agar ia tidak dipenggal oleh sang raja maka bila saja Virginia adalah Syahrazad ia tak akan berhenti bercerita hanya ketika ia menarik nafas panjang. Mrs. Dalloway adalah sebuah novel tanpa jeda atau pembagian cerita ke dalam bab seperti novel umumnya. Cerita Mrs. Dalloway diawali sebuah kalimat pembuka: Nyonya Dalloway bilang ia akan membeli bunga sendiri lalu cerita terus bergulir sampai akhirnya ditutup oleh sebuah kalimat pendek: karena Clarissa sudah datang.

Eksperimental yang ia ciptakan pun tampak dalam pengolah gaya penceritaan. Ia menggunakan tehnik stream of conciousness atau dikenal juga dengan istilah arus kesadaran atau dialog batin, istilah psikologis ini pertama kali diperkenalkan oleh William James, menghasilkan efek penting dalam pembacaan. Meski di satu sisi cerita itu terkesan sangat dingin karena minimnya dialog langsung di antara para tokohnya, tetapi pembaca akan menyadari sebuah kenyataan yang tak bisa disangkal karena kelazimannya, yaitu kenyataan tentang kesendirian manusia. Kesendirian di sini bukan berarti tanpa keberadaan orang lain, melainkan ketika kondisi manusia pada dasarnya sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan kerumitan pikiran dan kecamuk perasaannya sendiri. Hal ini menyebabkan dialog sangat sukar dilakukan. Maka tak heran bahasa tubuh (gesture) menjadi sangat penting. Dengan teknik arus kesadaran tersebut, pembaca seakan tengah mendengarkan keluhan-keluhan langsung dari orang yang hatinya sedang cemas. Di dalam hatinya seperti tengah terjadi konflik yang luar biasa rumit. Kenyataan bahwa manusia sibuk dengan dirinya sendiri pada akhirnya tak bersetuju pada kenyakinan umum bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi. Semacam sindiran terhahap keyakinan umum tersebut akan ditemukan ketika membaca cerita Mrs. Dalloway ini.

Efek lainnya dari teknik arus kesadaran ini adalah munculnya masalah ketidakjelasan waktu. Masalah pembagian waktu akhirnya bukan hal penting. Masa lalu dan masa kini seakan menjadi satu, campur aduk dan tak ada beda. Hal tersebut merepresentasikan kenyataan bahwa di dalam diri manusia, waktu sering kali bercampur aduk. Manusia hidup seakan-akan hidup dalam bayang-bayang yang berasal dari masa lalunya yang menyakitkan dan bayangan masa depannya yang mencemaskan. Kerumitan karena tiadanya pembagian waktu yang jelas ini akhirnya menjadi sebuah penyadaran bahwa pada dasarnya waktu sering kali menjadi tidak jelas bagi manusia. Kekinian sering kali menjadi sebuah ilusi karena yang ada hanya masa lalu. Dalam hal ini, Virginia sangat berhasil mencampuradukkan dalam pengolahannya. Meski menjadi kesulitan untuk membedakan antar adegan yang sedang dilakukan dan masa lalu, Virginia sangat piawai melakukannya. Terkadang kita terlena dibawanya ke masa lalu para tokohnya. Misalnya, ketika Clarissa tengah berjalan menuju kota bunga, kita akan dibawa berputar-putar ke dalam pikiran Clarissa yang dipenuhi kisah cintanya dengan Peter. Kisah cinta yang membuatnya cemas karena cinta menyeretnya ke dalam kondisi tatkala ia seperti kerampokan hartanya yang paling berharga, yaitu diri yang utuh.

Kecemasan akan relasi antara lelaki dan perempuan bukanlah relasi satu-satu yang disorot Virginia. Gejala safisme (lesbi) akan terlihat melalui relasi Clarissa dan Sally. Gejala tersebut merupakan perwujudan dari zaman Virginia, yaitu tatkala kaum intelegensia mulai membebaskan diri dari belenggu moral zaman Victoria. Banyak nama seperti Neo-pagans dan Heretics memberi perjuangan tersebut. Lingkungan Virginia pun sangat mendukung hal tersebut, seperti halnya di dalam kelompok tempat ia mengemukakan ide-idenya, yaitu Kelompok Blommsbury, mereka mencoba membebaskan tingkah laku seksual dari penilaian etis dan moral. Gejala safisme pun tercermin di dalam karyanya Orlando yang disebutnya sebagai Vita's Monument. Vita adalah teman perempuannya yang diyakini mempunyai relasi safisme dengan Virginia.

Lingkungannya pun sangat memungkinkan baginya untuk memasukkan tema snobisme ke dalam ceritanya. Virginia diyakini sebagai seorang snob yang artinya sine nobilitate, yaitu kelas menengah yang bukan bangsawan tetapi pura-pura bertindak sebagai aristokratik, dan luar biasa senang kalau ada kesempatan bergaul dengan unsur bangsawan di Inggris tidak begitu tajam seperti di Negara lain di Eropa. Virginia di dalam lubuk hatinya merasa tertarik pada gelar dan kemuliaan bangsawan, tetapi yakin bahwa kelas itu merupakan suatu sangkar emas.

Virginia pun seseorang yang terasing, misalnya dalam bidang sosial. Dalam seks dan keagamaan ia seorang the outsider, begitu pula dalam bidang kelas. Ia berada di golongan upper-middle class, bukan bangsawan dan bukan buruh. Virginia, meskipun pernah mengajar untuk kaum wanita golongan buruh, tetapi tak berlangsung lama. Sebagaimana telah ditulis oleh Forster dalam Howards End, bahwa kita tidak ada urusan dengan orang yang sangat miskin. Hidup mereka tidak masuk akal dan sulit dibayangkan. Hanya penyair dan ahli artistik bisa mengatakan sesuatu hal tentang mereka dengan cukup meyakinkan. Pendapat tersebut disetujui Virginia karena ia tak bisa mengajar wanita kaum buruh tersebut lebih lama lagi karena mereka golongan rendah, sedangkan ia born a lady yang sulit untuk merasa dekat dengan golongan tersebut. Hal tersebut terwujud di dalam cerita Mrs. Dalloway. Ketika menggambarkan dalam lingkungan golongan rendah, ia akan menggambarkan dengan cara yang samar. Misalnya, percakapan orang gelandangan menjadi hal yang tidak bermakna ditulisnya dengan ee um fah um so/foo swee too eem oo.

Begitulah sekian macam kegelisahan akhirnya Virginia tumpahkan ke dalam karya-karyanya. Kondisi jiwanya jatuh bangun seiring dengan lahirnya karya-karyanya. Dunia kepenulisan tidak bisa terus-menerus menjadi penyelamat jiwanya yang sering mengalami depresi. Kematian akhirnya menjadi pilihannya. Setelah sekian lama ia menjalani hidup dengan suaminya yang sangat menjaganya. Sebelum ia menenggelamkan dirinya, ia menulis surat untuk kakaknya (Vanessa) dan suaminya (Leonard). Sejumlah karyanya terus diterbitkan termasuk surat-surat, cerita pendek dan buku harian. Hingga akhirnya kehidupannya berakhir di sungai Osse pada 28 Maret 1941 dengan cara menghanyutkan diri. Dengan demikian, kepenulisannya berakhir sampai di situ. Timbul pertanyaan apakah itu merupakan keletihannya dalam melawan Sang Bidadari dalam rumah itu? Ataukah Virginia justru telah berhasil membunuh dengan bukti telah begitu banyak karya tulis yang ia lahirkan? Lalu ia merayakan kemenangan dengan sebuah kematian atas kehendak diri sendiri. Sebuah kemenangan karena pada akhirnya ia betul-betul mendapatkan sebuah kebebasan untuk mempunyai ruang untuk diri sendiri, yaitu kematian.

Kurniasih, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung, anggota Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB, dan editor pada Penerbit Jalasutra.
Majalah MataBaca Vol. 1 / No. 10 / Mei 2003.