Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nawal El-Saadawi: Menyikapi Cinderella Complex

Andai saja penulis novel Perempuan di Titik Nol bukanlah seorang yang sensitif terhadap persoalan perempuan dan selalu berupaya untuk memperjuangkan hak-haknya, mungkin Firdaus, tokoh utama novel tersebut, lebih memilih untuk dibebaskan. Tawaran pembebasan atas dirinya dengan syarat mengajukan permohonan pengampunan kepada pengadilan dengan mengaku bersalah, ditolaknya. Ia tetap bertahan dengan apa yang diyakininya benar meski harus mempertaruhkan nyawa di tiang gantungan. Kisah dalam novel tersebut sengaja diakhiri dengan kematian tokoh Firdaus, karena menurut penulisnya, kematian Firdaus justru membuatnya tetap "hidup".

Kisah Firdaus adalah sebuah representasi dari nasib banyak perempuan di dunia Arab; terbelakang, miskin, bodoh, tertindas, dan inferior, sekaligus merupakan ekspresi kegelisahan penulisnya tentang apa yang dialami perempuan. Sang penulis rupanya ingin menuntaskan ekspresi perasaannya dengan keteguhan tokoh Firdaus untuk tak menuruti kemauan pihak pengadilan. Pembunuhan yang dilakukan oleh Firdaus atas germonya adalah upayanya untuk membela diri, bukan kesengajaan, dan berarti bukan kesalahan. Firdaus tetap menolak meminta pengampunan, karena jika hal itu dilakukan berarti dia mengakui bahwa dia bersalah. Keteguhan memegang prinsip kebenaran untuk mempertahankan hak inilah yang ingin dihidupkan sang penulis.

Adalah Nawal el-Saadawi, dokter, novelis, pejuang hak asasi manusia khususnya perempuan, yang selalu menggelisahkan nasib yang menimpa kaumnya dan tersulut untuk selalu berjuang melawan. Kegelisahan tersebut ia tuangkan dalam banyak tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi. Novel Perempuan di Titik Nol hanyalah salah satu dari sekitar 35 karya sastranya (22 diantaranya sudah diterbitkan), di samping karya-karya ilmiah hasil penelitiannya. Menulis adalah salah satu upaya yang ia lakukan untuk mengkampanyekan isu-isu perempuan.

Selintas tentang Nawal
Nawal el-Saadawi dilahirkan di Kafr Tahla, suatu perkampungan kecil di tepi sungai Nil. Nawal tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang tradisional dan terbelakang; tidak adanya kesempatan untuk berpendidikan yang lebih tinggi bagi anak perempuan, kuatnya nilai-nilai keperawanan, serta domestikasi. Meski begitu, Nawal cukup beruntung karena mempunyai orang tua yang berpendidikan, ayahnya seorang sarjana dan bekerja sebagai Pengawas Umum Pendidikan untuk Provinsi Menouvia, sedangkan ibunya seorang pengajar pada sekolah Perancis, yang memberi kebebasan padanya untuk bersekolah dan menentukan bidang yang diminatinya.

Selepas menyelesaikan pendidikan lanjutan di sekolah asrama Helwan, ia memilih melanjutkan studinya di bidang kedokteran dengan masuk di fakultas kedokteran Universitas Kairo dan menamatkan studinya pada 1955. Ia memulai praktiknya di daerah pedesaan, kemudian di beberapa rumah sakit di Kairo. Meski ketertarikannya pada persoalan-persoalan perempuan telah tumbuh sejak kecil, tapi profesinya sebagai seorang dokter menjadi titik awal baginya untuk menyelami lebih dalam dunia perempuan dengan keterpurukan dan ketertindasan serta keterbelakangan yang dialaminya. Ia memanfaatkan pengalamannya sebagai seorang dokter untuk meneliti kondisi perempuan di Mesir. Di topang oleh kemampuannya menulis, persoalan-persoalan inilah yang ia tuangkan ke dalam karya-karyanya.

Muramnya kondisi perempuan yang dijumpai di lapangan menyebabkan Nawal selalu lugas dan tanpa tedeng aling-aling untuk menyampaikan hal yang sesungguhnya terjadi. Lembaga perkawinan merupakan hal yang sering digugatnya. Meski menurut pengakuannya, sesungguhnya bukan lembaga perkawinan itu yang ditolaknya, tapi lebih pada dominasi laki-laki dalam kebersamaan (perkawinan) itu.

Ia melihat banyak pernikahan yang justru menyengsarakan perempuan. Ia acap geram menyaksikan bagaimana kasarnya laki-laki memperlakukan istrinya. Kasus semacam ini banyak ia temui ketika berpraktik di kliniknya. Perempuan-perempuan yang datang ke kliniknya rata-rata adalah korban kekerasan yang dilakukan oleh suami, ayah atau pamannya. Tak hanya luka fisik yang dibawanya, tetapi lebih fatal lagi, luka jiwa atau psikis yang berimplikasi sangat dalam.

Alasan terjadinya hal tersebut pun seringkali sangat sepele dan tak prinsipil, bahkan kadang laki-laki hanya mencari-cari kesalahan istrinya agar dia bisa memukul dan menyakiti. Dalam salah satu novelnya, Nawal tanpa ragu menyamakan nasib perempuan-perempuan bersuami di dunia Arab tak ubahnya sebagai seorang pelacur, bahkan lebih buruk lagi. "Istri adalah pelacur yang dibayar paling murah," dan "sebagai seorang yang cerdas, saya lebih memilih sebagai pelacur yang bebas daripada menjadi istri yang diperbudak," demikian Nawal menyampaikan kegusarannya atas nasib perempuan lewat tokoh Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol.

Ini juga mengilustrasikan betapa perempuan harus menanggung beban ganda setelah menikah, melakukan pekerjaan rumah tangga; mengurus anak, mencuci, memasak, melayani suami, juga ke ladang atau pekerjaan penunjang lain untuk menambah income keluarga, sementara di satu sisi para suami sering tidak mau tahu dengan kelelahan yang diderita. Dari situasi inilah sering terjadi pemaksaan kehendak atas pelayanan hubungan seksual atas para istri. Bagi para suami, pengabdian istri terhadap suami adalah yang paling utama.

Penelitiannya yang terangkum dalam Women and Sex, berisi tentang kesengsaraan perempuan Mesir dalam perkawinan, membuat Nawal kehilangan jabatannya sebagai pemimpin redaksi majalah Health. Bukunya dilarang beredar dan tulisan-tulisannya disensor. Hal ini tak membuatnya jera, ia malah semakin nekad menjadi oposisi yang membuat rezim Anwar Sadat gerah. Akhirnya, lewat surat keputusan tanggal 5 September 1981, Anwar Sadat memenjarakan Nawal bersama 1.035 orang lainnya yang dianggap beroposisi dengan pemerintah Mesir.

Sekeluar dari penjara, Nawal mendirikan Arab Woman's Solidarity Association (AWSA). Itu pun tak berlangsung lama. Saat perang teluk berkecamuk, Nawal justru menentang Amerika dan memberikan dukungan terhadap Irak. Tentu saja hal tersebut membuat Presiden Husni Mubarak marah. Akhirnya, AWSA ditutup dan majalah Nuun miliknya diberedel.

Kata jera sepertinya tak dikenal perempuan tangguh ini. Ia tetap terus menulis. Tak hanya kelompok penguasa yang tersinggung dengan isi tulisannya, kelompok fundamentalis Islam dan Kristen pun demikian. Mereka bahkan mengancam ingin membunuh. Untuk menyelamatkan jiwanya, ia pun untuk sementara 'mengungsi' ke luar negeri. "Saya menerima tawaran dari Universitas Duke untuk mengajar di sana, di samping untuk menyelamatkan diri dari pembunuhan yang direncanakan oleh kelompok Islam dan Kristen garis keras," kata Nawal kepada majalah Tempo.

Nasib Perempuan dan Faktor yang Melatarinya
Perbincangan tentang isu-isu perempuan dari tahun ke tahun sepertinya memang tak pernah pupus. Praktik-praktik anti-emansipasi terjadi di hampir seluruh belahan dunia, tidak terkecuali masyarakat Arab. Kenyataan ini mendorong beberapa perempuan dari berbagai belahan dunia bertanya bahkan menggugat akan ketidakadilan dalam berbagai sisi kehidupan yang menimpanya; hukum, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain. Nawal adalah satu dari sedikit perempuan yang mempunyai kesadaran untuk menggugat dan melawan apa yang menimpa kaumnya. Kehidupan kesehariannya dalam masyarakat Arab memberikan banyak gambaran tentang kenyataan pahit yang terjadi.

Ada banyak sudut pandang yang digunakan untuk menganalisis sebab-musabab yang melatari ketimpangan yang terjadi atas perempuan: agama, ekonomi, politik, psikologi dan sebagainya. Seperti banyak feminis bersepakat, Nawal juga berpendapat bahwa hal yang menyebabkan tersubordinasinya posisi perempuan tidak bisa dilihat dari satu sisi semata. Ada semacam mata rantai yang saling terkait antar berbagai faktor tersebut.

Mesir adalah Negara republik dengan seorang pemimpin yang otoriter dengan corak kepemimpinannya yang maskulin (Anwar Sadat dan Husni Mubarok). Walau tak berazaskan pada salah satu ajaran agama, tetapi agama menjadi faktor dominan dalam kehidupan rakyat Mesir. Tak terkecuali penyikapan terhadap perempuan, semuanya dilihat dari kacamata agama.

Meski tidak melakukan penelusuran lebih mendalam terhadap tafsir-tafsir ayat suci seperti yang dilakukan oleh feminis muslim seperti Riffat Hasan dan Fatima Mernisi, secara implisit Nawal sepakat bahwa penafsiran atas teks-teks suci pada umumnya masih sangat bias gender. Padahal, di sisi lain, agama adalah variabel utama pembentuk kesadaran sosial dan berisi nilai-nilai baik-buruk, benar-salah, keridlaan-kemurkaan Tuhan, dan pada ujungnya soal surga dan neraka, maka justifikasi agama tentang posisi perempuan menjadi tak tergoyahkan.

Secara gamblang Nawal mendeskripsikan kondisi ini lewat salah satu tokoh dalam novelnya: suatu ketika Firdaus protes kepada pamannya karena suaminya sering memukulinya, padahal suaminya seorang syekh, tetapi pamannya mengatakan: "justru lelaki yang memahami agama itulah yang suka memukuli istrinya. Aturan agama mengizinkan untuk melakukan hukuman itu. Seorang istri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya adalah kepatuhan yang sempurna."

Tak dapat dipungkiri jika perempuan sendiri pada akhirnya terperangkap dalam sikap keberagamaan yang pasif, menerima ajaran agama yang 'diajarkan' oleh hanya laki-laki yang memanfaatkan Tuhan untuk mendiskreditkan perempuan. Kepasifan ini dijumpai pada beberapa temannya ketika ia berada di penjara. Nawal menulis, "mereka menutup seluruh tubuhnya dengan hanya menyisakan dua lubang di mata, otaknya hanya dipenuhi oleh kata haram, apa saja haram untuk perempuan termasuk olahraga, bahkan tertawa pun dianggap haram. Mereka menempatkan tabir dalam pikirannya dan tidak dapat menerima pendapat yang berbeda. Setiap orang yang tidak percaya sebagaimana apa yang mereka percayai adalah kafir."

Kepasifan ini secara paralel berimplikasi lebih dalam pada tertutupnya kesadaran akan eksistensi dirinya. Hampir semua perempuan Arab percaya bahwa larangan yang dikenakan atas diri perempuan adalah memang yang terbaik untuk dirinya. Misalnya, dengan alasan untuk menjaga 'kehormatan' diri dan keluarga, para suami meminta istri-istri untuk tetap berada di rumah. Konsep kehormatan yang sejatinya telah menyimpang, tetapi semakin melembaga dalam tradisi dan adat-istiadat Arab. Para lelaki menetapkan standar moral ganda dalam menilai kehormatan perempuan. Akar dari kondisi ini adalah adanya anggapan bahwa pemahaman seksual dalam kehidupan laki-laki merupakan suatu kebanggaan, sementara pengalaman seksual dalam kehidupan perempuan adalah aib dan simbol kejahatan. Untuk itu, perempuan harus menjaga kehormatannya dengan tidak keluar rumah dan menjaga keperawanan.

Adanya anggapan bahwa sebuah keluarga akan terjaga kehormatan dan martabatnya jika istri dan anak perempuannya terjaga kesuciannya, merupakan alasan utama yang membuat para perempuan 'dirumahkan.' Dunia di luar rumah adalah dunia yang penuh bahaya dan kejahatan. Kejahatan yang secara tidak langsung diakui sebagai dunia laki-laki.

Domestikasi pada perempuan ini membuat akses sosial secara otomatis tertutup. Secara perlahan penarikan perempuan dalam sektor domestik dengan dalih menjaga kesucian dan kehormatan menjadi hal yang juga dinikmati oleh perempuan. Sebagian perempuan pada akhirnya merasa bahwa rumah memanglah sebuah tempat yang paling cocok baginya, dan pekerjaan yang paling mulia bagi seorang perempuan adalah tugas sebagai Ibu Rumah Tangga. Bahkan tak sedikit perempuan yang akhirnya terjebak dalam apa yang disebut dengan "Cinderella Complex", yaitu suatu ketergantungan yang mendalam akan perlindungan dan kasih sayang. Memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga tentu bukan pilihan yang salah, tetapi memahami hal tersebut sebagai kodrat apalagi takdir, tentu sangat keliru. Sikap-sikap seperti ini banyak dikritisi Nawal, apa yang harus dilakukan perempuan adalah "menyingkapkan tabir yang selama ini menyelimuti pikiran." Ketergantungan perempuan kepada suami atau laki-laki dalam berbagai hal terutama ekonomi adalah suatu yang tidak terelakkan dari proses domestikasi. Perempuan hanya disibukkan oleh aktifitas yang tak memberi keuntungan secara ekonomi dan tak memberi nilai tambah bagi kemajuan intelektual. Lebih dalam Nawal merinci, perempuan-perempuan yang hanya menunggu nafkah dari suami membuat mereka kian masuk dalam jurang nasib kesengsaraan yang menganga, ia tidak bisa mengontrol keuangannya sendiri, bahkan untuk makan saja harus menunggu suami sehingga tak mengherankan jika kontrol suami semakin kuat.

Kondisi ini menjadi sangat ironis apabila dibandingkan dengan apa yang terjadi dengan masyarakat primitif. Dalam masyrakat pertanian yang primitif, perempuan justru memegang peranan penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Bahkan menurut Soekarno dalam 'Sarinah,' perempuanlah yang pertama kali menemukan ilmu bercocok tanam yang sampai sekarang menjadi tiang kehidupan manusia di muka bumi dan ia juga adalah pekerja pertanian pertama.

Begitu juga dengan kondisi awal keislaman, bukankah Siti Khadijah juga seorang saudagar perempuan? Namun, nilai-nilai egaliter yang dibawa Rasulullah pada masa kenabian sepertinya tak cukup ampuh untuk mengikis bias patriarki pasca-meninggalnya Rasulullah. Yang terjadi justru penggunaan ajaran agama untuk melakukan penindasan terhadap perempuan untuk berbagai kepentingan.

Lebih jauh Nawal menambahkan, hilangnya kesetaraan lelaki dengan perempuan dalam masyarakat primitif karena munculnya ide tentang kekayaan pribadi (private property) khususnya tanah, yang menggantikan kepemilikan komunal atau suku sekaligus hak untuk menyisakan tanah untuk diolah dari generasi ke generasi. Penggunaan alat-alat teknologi perlahan meminggirkan peran perempuan dalam proses pertanian. Tugasnya yang utama melahirkan anak-anak lelaki yang kuat agar bisa mewarisi harta-harta mereka. Kekayaan dan warisan dengan demikian telah merusak dasar-dasar sistem matrilineal dan matriarkal dalam kelas-kelas sosial.

Munculnya ide tentang kekayaan pribadi dan penggunaan dalil agama sebagai alat pembenar adalah awal ketertindasan perempuan dalam bidang ekonomi. Perempuan yang sebelumnya bekerja bersama dengan laki-laki dan mempunyai hak yang sama atas harta yang diperoleh, pada akhirnya ditempatkan di rumah untuk menjaga kesuciannya sehingga seorang suami yakin bahwa anak yang dilahirkannya adalah benar anaknya yang kelak akan mewarisi hartanya.

Dari sini kemudian terjadi proses pemiskinan atas perempuan, pemiskinan pada perempuan ini muncul bersamaan dengan feodalisme di mana kepemilikan sepenuhnya ada di tangan laki-laki. Laki-laki adalah pemilik modal dan perempuan adalah budak.

Proses domestikasi yang pada gilirannya melahirkan pembagian kerja secara seksis; perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, dalam skala lebih luas adalah sebuah skenario besar yang menyangkut ideologi-politik sebuah negara. Nawal menegaskan bahwa lemahnya kedudukan perempuan serta penindasan yang mereka alami sepanjang abad adalah bagian dari sistem sosio-ekonomi yang dilestarikan masyarakat untuk kepentingan segelintir orang saja, yaitu para pemilik tanah atau pemilik modal. Politisasi agama dalam sebuah negara seperti yang terjadi di Mesir memberi andil besar terhadap apa yang menimpa perempuan dan kaum miskin.

Menguatkan pendapat Nawal, Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar untuk novelnya menuliskan bahwa di sepanjang sejarah Mesir sendiri telah terjadi semacam persekongkolan antara penguasa, agamawan dan orang kaya yang menyebabkan terputusnya hubungan antar-kelas bawah (orang miskin dan perempuan) dengan agama, sehingga nilai-nilai keadilan yang ada dalam ajaran agama nyaris tak tersentuh. Dengan demikian, perempuan yang didudukkan dalam kelas dua dalam segala segi kehidupan secara terus-menerus akan mengalami penindasan. Kondisi ini terus berlangsung sampai pada beralihnya kehidupan agraris ke industri dan munculnya kelas kapitalis.

Pada masa industri ini, untuk memenuhi permintaan besarnya jumlah tenaga kerja yang menjamin mesin dan pabrik tetap berjalan, pemodal banyak merekrut tenaga perempuan dan anak dalam proses produksi. Hal ini sejatinya bukan sebuah isyarat berakhirnya "pemenjaraan" perempuan dalam rumah tangga, tetapi karena lebih pada pertimbangan bahwa upah bagi tenaga perempuan dan anak lebih murah dibandingkan lelaki, bahkan untuk jenis pekerjaan yang sama, sehingga bisa menekankan ongkos produksi. Hal ini terjadi karena asumsi bahwa perempuan hanyalah pencari nafkah tambahan, bukan utama seperti yang dilakukan lelaki. Dengan kondisi tersebut, beban perempuan bukannya berkurang tetapi mereka justru harus memikul beban ganda, yaitu bekerja di luar rumah untuk menafkahi keluarga dan juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya. Sementara seorang lelaki sepulang bekerja bisa langsung beristirahat tanpa peduli dengan pekerjaan rumah tangga.

Nawal menggambarkan beratnya beban kerja ganda yang dialami perempuan lewat tokoh Zakeya dalam novelnya berjudul Matinya Seorang Mantan Menteri.

Dalam masyarakat di mana perempuan miskin dan bodoh, menjadi wajar jika kemudian ia kehilangan unsur-unsur kepribadiannya, kosong dari kualitas-kualitas kemanusiaannnya dan pada akhirnya menjadi sebuah objek atau sekadar alat untuk menjual produk-produk kapitalis lewat iklan.

Minimnya pengetahuhan perempuan karena akses pendidikan yang terbatas semakin mendudukkan perempuan pada posisi kelas dua secara intelektual dibandingkan dengan laki-laki. Situasi ini semakin menggenapkan alasan pembenaran bagi laki-laki untuk tidak melibatkan perempuan dalam sektor publik. Hampir di semua negara, jabatan-jabatan strategis di lembaga apapun hanya dipegang oleh laki-laki. Kendati mereka mengklaim bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama, tapi nyatanya kekuasaan untuk menentukan kebijakan dan mengambil keputusan hanya di tangan lelaki. Dalam konteks kekinian, beberapa kasus individual dapat dicatat sebagai kekecualian. Misalnya, naiknya Cory Aquino sebagai Presiden Filipina, Margareth Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, atau di dunia Islam dengan naiknya Benazir Butho dan Beghum Khalida Zia yang menjadi pucuk pimpinan negara masing-masing.

Sementara di Mesir, meski Revolusi Mesir tahun 1952 memberikan kursinya di parlemen sebanyak 50% kepada kaum petani dan buruh, tapi kaum perempuan tetap tidak mendapat satu kursi pun. Data yang disodorkan Nawal lebih mengenaskan lagi, karena ternyata perempuan Mesir tidak diikutsertakan dalam pemilu sebelumnya, kesempatan untuk memilih baru diberikan pada pemilu 1952. Ironisnya, akibat tidak adanya kesadaran berpolitik, meski sudah mendapat kesempatan untuk memberikan suara dalam pemilu, jumlah perempuan yang memilih tidak lebih dari 0,53% dari seluruh pemilih. Perempuan baru memperoleh kesempatan duduk di kabinet (satu orang) dan enam orang yang duduk di parlemen pada pemilu 1962.

Nawal tentu tak bermaksud mengecilkan peran segelintir perempuan yang telah "berhasil" menempati pos-pos penting dalam pemerintahan seperti di atas, ia hanya menyodorkan fakta lain bahwa duduknya perempuan pada pos-pos penting tersebut ternyata tidak serta merta mengubah nasib perempuan. Kenyataan di lapangan yang ia jumpai menunjukkan bahwa jauh lebih banyak perempuan yang hidup dalam lorong gelap penderitaan; ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan. Indikasi tersebut dapat dijumpai, misalnya pada masih tingginya tingkat buta huruf, atau tidak tersentuhnya persoalan-persoalan perempuan yang lain.

Lemahnya posisi tawar dan sedikitnya jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pemerintahan menjadi salah satu sebab mengapa kebijakan yang dikeluarkan sering bias gender. Perempuan tidak punya perlindungan hukum dan selalu menjadi pihak yang salah meski jelas-jelas menjadi korban. Nawal mencontohkan kasus yang sering mengorbankan perempuan adalah kekerasan, pelecehan seksual bahkan perkosaan. Kekerasan dalam wilayah domestik (rumah tangga) bahkan sulit untuk terjamah hukum.

Penjelasan tentang fungsi hukum hanya menyentuh wilayah publik dengan alasan potensi konflik kepentingan muncul di wilayah itu. Dengan demikian, hukum hanya mengenal wilayah publik yang berarti wilayah laki-laki, sedang wilayah domestik tidak mendapat jaminan dan pengaturan hukum. Padahal, kekerasan dalam rumah tangga adalah hal paling sering terjadi. Propaganda yang selalu didengungkan tentang "menjadi seorang istri dan ibu yang baik" dan kepatuhan kepada suami adalah kualitas tertinggi perempuan sekaligus tanda ketaatan kepada Allah, memaksa perempuan untuk tetap bungkam dan merasa malu jika sampai "aib"nya diketahui umum.

Kepatuhan mutlak terhadap suami bahkan dikukuhkan dalam Undang-Undang Perkawinan Mesir. Seorang istri tak diperkenankan mengeluh atas apa pun perlakuan seorang suami atas dirinya, karena jika hal itu terjadi maka akan menjadi aib dan mendorong pecahnya "ikatan-ikatan suci keluarga." Kondisi serba salah rupanya juga yang membuat banyak perempuan lebih memilih untuk menahan kepedihan hatinya ketimbang pergi ke pengadilan untuk meminta keadilan. Karena beberapa kasus yang sampai ke pengadilan justru membuat perempuan tersudut dan dipersalahkan.

Ide Kemerdekaan Perempuan
Memberikan pemahaman tentang apa yang terjadi serta menumbuhkan kesadaran untuk bangkit dari ketertindasan yang terjadi selama bertahun-tahun memang bukan sesuatu yang mudah, apalagi untuk mewujudkan kemerdekaan itu. Ada banyak hal yang menyebabkan tersubordinasinya perempuan, di samping juga banyaknya kepentingan yang bermain. Lewat tulisannya, Nawal tak pernah lelah menggugah kesadaran perempuan untuk bangkit dan merebut apa yang menjadi haknya. Sudah saatnya bagi perempuan untuk menyingkap tabir yang menyelimuti pikiran dan menumbuhkan kesadaran kritis bahwa perempuan diciptakan bukan hanya untuk memasak, mencuci dan melayani suami. Namun, lebih dari itu, sebagaimana lelaki, perempuan juga harus berpartisipasi dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Kesadaran itu digambarkan lewat tokoh Firdaus:

"Saatnya telah tiba bagi saya untuk melepaskan butiran terakhir dari kebajikan, tetesan terakhir dari kesucian di dalam darah saya. Kini saya telah sadar mengenai kenyataan, mengenai kebenaran. Kini saya telah tahu apa yang saya inginkan. Kini tak ada lagi ruang bagi khayalan, seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksa penipuan kepada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah."

Bukan suatu kebetulan jika hampir semua karya sastranya berkisah tentang perempuan dengan latar belakang kemiskinan dan kebodohan. Nawal agaknya ingin menegaskan bahwa hal paling dasar yang harus diselesaikan oleh perempuan adalah persoalan pendidikan dan kemandirian ekonomi. Kebodohan yang disusul dengan kemiskinan mempermudah perempuan masuk dalam perangkap kepentingan pihak-pihak tertentu; laki-laki, penguasa, pemilik modal, dan sebagainya.

Namun, persoalan di luar dua hal tersebut bukan berarti tak mendapat perhatiannya. Justru faktor lainnya, seperti keterlibatan perempuan dalam politik yang bertujuan untuk mengkampanyekan tentang pentingnya memperjuangkan hak-hak perempuan, juga sebagai upaya untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak, menjadi faktor lain yang sangat menentukan bagi terwujudnya perubahan dalam dua hal yang dianggap paling dasar tersebut. Pada akhirnya, memang semuanya akan saling terkait, seperti mata rantai yang tidak terputus. Adalah suatu kesia-siaan ketika persoalan perempuan hanya dilihat dari satu sudut pandang.

Nawal sangat menyadari bahwa apa yang ia lakukan masih sangat jauh dari apa yang ia cita-citakan. Tetapi sepertinya kelelahan tak pernah singgah dalam dirinya. Bahkan hingga kini, ketika rambutnya telah memutih dan usianya semakin uzur, ia masih seorang petarung yang hebat dan tak pernah berhenti berjuang.

Fitri Yani, Aktif di organisasi Serikat Tani Merdeka (SeTAM) Yogyakarta, Alumni Fakultas Ushuluddin-Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Majalah MataBaca Vol. 1 / No. 10 / Mei 2003.