Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melawan Kutukan 3.000 Eksemplar Buku

Melawan Kutukan 3.000 Eksemplar Buku: Sekilas Tentang Penerbit, Penulis, dan Pembaca Buku Dalam dan Luar Negeri

Pasar buku internasional memiliki persaingan yang sangat ketat. Dalam setiap pameran, jutaan judul buku, dari yang eksotis hingga yang paling spiritual, ditawarkan berbarengan. Pameran buku yang biasanya jatuh pada musim semi, musim panas, dan kemudian musim gugur, ada puluhan judul yang dianggap berpotensi menjadi blockbuster. Akhir tahun lalu, buku terbaru Donna Tartt The Little Friend, dianggap sebagai buku yang paling ditunggu. Donna Tartt menghabiskan sekitar dua puluh tahun untuk menyelesaikan buku ini setelah sukses dengan buku perdananya, The Sicret History.

Tetapi bagaimana dengan jutaan judul buku lainnya? Setelah penerbitan dan sedikit promosi, kebanyakan buku-buku itu akan berpindah ke bagian bargain toko buku dan dijual secara besar-besaran ke pengedar buku-buku bargain. Buku-buku tebal yang tadinya dijual sekitar 22 dolar akan dijual dengan harga 2 atau 4 dolar saja. Semua ini terjadi dalam kurun waktu yang sangat singkat, kurang lebih 6 hingga 9 bulan.

Situasi di atas sangat berbeda bila dibandingkan dengan dunia perbukuan kita. Dengan populasi penduduk yang sangat besar, lebih dari 200 juta orang, penerbit-penerbit di Indonesia masih berpikir pada angka oplah 3.000 eksemplar. Penerbit masih bekerja secara serabutan; menerbitkan sebanyak mungkin judul-judul baru daripada mencoba memaksimalkan promosi buku-buku yang diterbitkannya. Demikianlah, setiap buku yang diterbitkan diharapkan bisa terjual paling banyak 3.000 eksemplar, dan setelah itu tamatlah riwayat dan sejarah buku itu.

Dengan begitu, bagaimana penulis di negeri ini bisa hidup dengan layak? Bagaimana mereka bisa memiliki modal untuk menulis buku berikutnya, buku yang bagus dan berkualitas? Lalu bagaimana pula dengan buku yang terjual habis? Semua tergantung kemauan sang penerbit, kadang buku itu dicetak ulang, kadang dibiarkan begitu saja walaupun sebenarnya masih memiliki potensi di pasaran.

Di dunia penerbitan Indonesia, sepertinya tidak ada istilah Back List, yaitu daftar buku-buku yang sudah diterbitkan dan tetap tersedia dan tetap tersedia dalam stok. Ini suatu situasi yang aneh, karena justru Back List inilah gudang emas penerbit di luar negeri. Seorang pemenang nobel seperti V.S. Naipaul diperebutkan oleh para penerbit bukan karena dia masih produktif, tetapi karena karya-karya sebelumnya yang bakal meledak karena dicari oleh para pembaca yang baru mengenal namanya dan sekarang mencari karya-karya sebelumnya.

Tidak heran ketika beberapa tahun yang lalu saya mulai menekuni bidang penerbitan buku-buku sastra, saya tidak menemukan list lengkap karya-karya penulis besar kita. Bagaimana kita bisa berharap dunia akan mengenal atau menemukan kehebatan sastra Indonesia jika karya-karya besar dari Danarto, Sitor Situmorang, Achmad Tohari, atau Budi Darma sudah tidak beredar?

Bisa dikatakan, dunia penerbitan Indonesia sebenarnya belum memiliki satu sistem atau aturan main yang sistematis. Penerbit dikelola dengan serabutan, penerbit-penerbit jarang memiliki katalog yang menawarkan buku-buku yang diterbitkan. Buku-buku ditekan harganya dan hasilnya juga sama: tipis, tak layak koleksi dan dipamerkan.

Contoh lain dari kesemrawutan penerbitan ini tercermin dari tidak adanya kategorisasi yang jelas. Di negara-negara seperti Inggris dan Amerika, setiap kategori buku merupakan satu industri tersendiri. Sebagai contoh, satu kategori seperti Romance memiliki jutaan pembaca. Penulis-penulis bintang di kategori ini, seperti Danielle Steel, Barbara Taylor Bradford, Julie Garwood, dan Judith McNaught, semuanya menjadi miliuner. Dan kategori ini kemudian berkembang ke sub-genre seperti Historical Romance, Harlequin, dan sebagainya. Karena ada kategori yang jelas semacam itu, jumlah peminat dari setiap kategori pun semakin berkembang dari tahun ke tahun. Kategorisasi ini juga secara otomatis memunculkan penulis dan penerbit khusus. Misalnya, John Grisham dan David Baldacci yang akan segera dikenali sebagai penulis kategori Blockbuster Mystery and Thrillers. Kategorisasi ini ditentukan oleh penerbit, karena hanya dengan menciptakan kategori-kategori mereka bisa memasarkan buku-buku dengan target yang jelas. Berbeda halnya dengan penerbitan buku di negeri ini. Akibat tidak adanya pengelompokan kategori yang jelas, potensi pasar pembaca tidak dapat digarap dengan maksimal. Logikanya bukan karena tidak ada batasan kategori-kategori membuat ruang lingkup pasar terbuka luas. Sebaliknya, pembaca tidak gampang mengenali buku yang mereka inginkan, dan penerbit juga tidak bisa membina pangsa pasarnya. Seorang penulis di negeri ini bisa malang-melintang di segala kategori -menurut yang berlaku di luar negeri. Ia bisa menulis buku sastra, lalu buku pop, kemudian menulis buku komik, dan kemana pun dia pergi dia mau dianggap seorang sastrawan. Amy Tan, Stephen King, atau Michael Crichton, tidak dianggap sastrawan seperti Milan Kundera atau Jonathan Frantzen. Mereka adalah penulis bestseller atau penulis sastra populer. Mereka tidak akan diminta massa pembaca untuk membahas kiat menulis sastra seperti Milan Kundera. Kemungkinan mereka mendapatkan Hadiah Nobel Sastra dibanding Milan Kundera boleh dikatakan nihil.

Bisa jadi, tiras 3.000 eksemplar memang menguntungkan, tetapi jelas tidak banyak berguna bagi pengembangan penerbit dan penulisnya. Apalagi jika kita menghitung persentase pembaca dari populasi 200 juta lebih penduduk Indonesia. Singkatnya, penerbit-penerbit harus mulai menimbang persoalan-persoalan berikut:
  • Terlalu banyak buku tidak bermutu yang diterbitkan
  • Buku yang diterbitkan kurang dipromosikan secara konsisten
  • Tidak ada kategorisasi yang jelas yang mengakibatkan tidak adanya tolokukur potensi pasar yang bisa dikembangkan.

Dunia tidak butuh lebih banyak lagi penulis, tetapi butuh lebih banyak editor bertangan dingin dan berotak jernih untuk memilih penulis unggulan yang kemudian bisa dikembangkan menjadi seorang penulis bintang di kategori tertentu. Dengan adanya kategorisasi, kelak akan hadir bintang-bintang penulis, yang secara otomatis juga berkembangnya para pembaca dan peminat fanatik. Dari sini bisa diharapkan tumbuhnya industri yang semarak dengan beragam kategori dan dengan pelbagai kelompok penulis. Pekerjaan ini memang membutuhkan waktu dan perjuangan, tapi haras dimulai dengan segera. Yang jelas, tugas ini ada di pundak para penerbit dan editornya.

Dengan kata lain, pasar dalam negeri sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar dan belum banyak digarap dan ditangani secara maksimal. Mungkin memang tidak ada salahnya, sembari mulai membenahi persoalan-persoalan yang ada di dalam negeri, para penerbit sekaligus mengarahkan penataan itu menuju pasar pembaca luar negeri. Beberapa hal berikut ini dapat dijadikan titik tolak untuk itu:

Penerbit dan asosiasi penerbit Indonesia harus lebih aktif dalam kegiatan pameran perbukuan di luar negeri. Dalam hal ini, sekali lagi kategorisasi dan penggolongan buku yang jelas merupakan persoalan yang perlu dipikirkan dengan baik.

Pada awalnya, penerbit-penerbit buku Indonesia dapat memfokuskan diri pada buku-buku yang memiliki keunikan budaya yang khas, misalnya buku tentang jamu dan obat-obatan, kepercayaan ketimuran, budaya, mitos, sejarah, musik dan kesenian tradisional, dan semacamnya.

Pengembangan kelompok penerjemah yang mapan. Selama ini, dunia penerbitan Lebih banyak mengandalkan penerjemahan pada beberapa akademisi asing, yang jumlahnya sangat sedikit dan tentu kurang optimal. Bidang ini perlu mendapat perhatian yang serius, karena hanya dengan memiliki penerjemah yang mapan maka penerbit dapat mengekspor buku-buku ke luar negeri.

Untuk menjual buku-buku ke luar negeri, yang dibutuhkan sebenarnya adalah beberapa buku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Buku-buku ini kemudian ditawarkan ke bagian Right Center, atau pusat penjualan hak, yang biasa ada di setiap pameran buku. Di sinilah jual-beli buku dilakukan di dunia penerbitan internasional. Cara ini jelas jauh lebih efektif daripada para penerbit menerbitkan sendiri buku-bukunya dalam bahasa Inggris dan kemudian memasarkannya secara langsung ke berbagai negara, dengan mekanisme pengiriman, penyimpanan, ataupun sistem penjualan yang berbiaya mahal. Jika fokus pembidikan memang hanya di kawasan Asia, perdagangan langsung ini dapat dilakukan dengan menggandeng satu atau dua distributor yang jangkauannya cukup luas di kawasan ini. Yang harus diingat, penjualan buku internasional biasanya memiliki aturan pembayaran sekitar 120 hari dan rabat mencapai 65%, sedang biaya pengiriman bergantung pada negosiasi.

Satu kiat yang perlu dipikirkan lebih lanjut adalah kemungkinan penyelenggaraan Book Fair secara besar-besaran dan profesional di dalam negeri dengan mengajak para agen dan penjual hak serta penerbit internasional untuk berpartisipasi. Dalam pameran ini, penerbit-penerbit Indonesia dapat mengenal dan bertransaksi penjualan buku ataupun cross sales, penerbit luar negeri menjual hak cipta buku-buku mereka dan penerbit dalam negeri menjual hak cipta buku yang dimilikinya. Jelas, terlebih dahulu dunia penerbitan Indonesia harus bekerja secara profesional dan terhormat, yakni mengurus dan membayar royalti atas buku-buku asing yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Arah mana pun yang hendak ditempuh para penerbit Indonesia, masih ada banyak hal yang harus dibenahi dengan pemikiran yang serius dan kerja keras yang sungguh-sungguh. Misalnya, membiasakan para penulis Indonesia untuk tidak terlalu nyeniman sehingga enggan berpromosi. Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, acara peluncuran dan diskusi buku dilaksanakan bagaikan tes kelulusan sarjana, serius dan tidak menarik. Bagaimanapun, buku ditulis dan diterbitkan bukan hanya untuk dinikmati oleh satu kelompok kecil tetapi untuk khalayak yang seluas mungkin. Bagaimana mungkin sebuah buku sastra bisa menjangkau tiras sepuluh ribu eksemplar jika arahan jangkauannya hanya pada sekelompok kecil peminat, biasanya di antara kawan dan kalangan yang sama. Bagaimana mungkin penulis Indonesia bisa sejahtera seperti J.K Rowling yang setiap tahun menghasilkan sekitar 77 juta dolar!

Bagi kebanyakan penulis Indonesia, bakat menulis bagaikan kutukan Tuhan untuk berkarya di satu sisi dan bertahan dalam penderitaan di sisi lainnya. Di dunia luas, kutukan itu hanya berlangsung selama penulis itu sedang mencari bentuk dan mencoba berkarya; setelah dia berhasil, semua jerih payahnya akan terbayar secara setimpal. Ini bisa terjadi karena seorang penulis yang berhasil rata-rata bisa menjual bukunya di atas 300.000 eksemplar, ini masih termasuk kategori penulis peringkat B. Untuk penulis peringkat A, seperti John Grisham dan Agatha Christie, omzet penjualan bukunya bisa mencapai jutaan eksemplar. Tentu saja, pendapatan dari royalti bisa menjamin ketenangan hidup si penulis untuk terus berkarya. Kesejahteraan penulis yang terjamin dan prestise di bidang ini pun menjadi inspirasi bagi penulis generasi berikutnya.

Karya seorang penulis yang diwujudkan dari pengorbanan besar, baik materi, waktu, pikiran, ataupun gagasan, yang bisa memakan waktu sekian tahun dalam hidup si penulis, perlu ditangani dengan penuh perhatian. Mereka layak diperjuangkan semaksimal mungkin sehingga mereka mendapat tempat di kalangan pembaca. Inilah misi dan sekaligus kepuasan penerbit sejati.

Oleh: Richard Oh
Majalah MataBaca Vol. 1 / No. 10 / Mei 2003