Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karen Armstrong: Pengalaman Dramatis Seorang Penulis

Masyarakat baca Indonesia pertama kali mengenal reputasi Karen Armstrong secara utuh persis dari adikaryanya. Yakni Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yamg Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 Tahun (Bandung: Mizan, 2001). Buku ambisius itu terbit justru di tengah-tengah krisis ekonomi yang banyak sekali menimpa penerbit Indonesia, dicetak hard-cover; sebuah pilihan berat yang membuat buku setebal 581 halaman itu harus berharga cukup mahal, nyaris mencapai 100.000 rupiah. Namun respons pembaca dan pasar Indonesia ternyata di luar dugaan semua orang, bahkan bagi penerbitnya sendiri. Pada kurun itu, buku tersebut bukan saja ramai didskusikan oleh para sarjana agama terkemuka Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Franz Magnis-Suseno, Th. Sumartana, dan M. Amin Abdullah, melainkan juga kerap memenuhi rubrik resensi media massa, termasuk secara khusus dikupas oleh majalah mingguan terkemuka saat itu, Gatra.

Segara buku itu menjadi best-seller, juga merupakan suatu keluarbiasaan bahwa buku bertema serius seperti itu bisa mendobrak pemasaran. Sejak diterbitkan, buku ini telah cetak ulang enam kali, cetakan terakhir pada Mei 2003. Dengan berseloroh, seorang pekerja penerbit berkata, "Bisa jadi itu adalah buku autobiografi 'Tuhan' yang paling laris di Indonesia". Di Amerika Serikat, buku itu pun termasuk best-seller yang langka. Sangat jarang buku tentang Tuhan bisa menduduki tangga teratas daftar buku terlaris New York Times selama beberapa waktu yang cukup signifikan.

Bersama naiknya popularitas Armstrong karena dikatrol buku tersebut, sejumlah penerbit Indonesia seperti biasa langsung berusaha secepat mungkin menerbitkan karya dia lainnya, dan seperti biasa tanpa mengindahkan hak cipta. Bukan kebetulan kalau karya dia memang banyak. Di pasar Indonesia muncullah Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (Risalah Gusti); Islam: Sejarah Singkat (Serambi); Buddha: Melintas Jalan Sempit (Bentang). Buku lain, The Battle for God, sempat mengemuka menjadi bahan pembicaraan kalangan pembukuan karena terjadi kasus pelanggaran hak cipta penerjemahannya. Penerbit Mizan memiliki hak penerjemahan buku tersebut, tetapi ternyata edisi bajakannya (pirated edition) lebih dahulu diedarkan Serambi. Tentu saja Mizan merasa dirugikan, menuntut agar edisi itu ditarik dari pasar. Namun, ternyata kesepakatan yang terjadi kemudian adalah buku tersebut diterbitkan bersama, dengan judul Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Yahudi, Kristen, dan Islam. Kita, masyarakat buku, tidak tahu persis kesepakatan seperti apa yang diambil untuk menyeleseikan perselisihan dua penerbit itu. Seandainya dibeberkan, barangkali ada pembelajaran yang mungkin diambil oleh praktisi penerbitan lain di Indonesia.

Sebenarnya Through the Narrow Gate (1981) tampak sudah memberi cukup keterangan lengkap perjalanan awal spiritual dan intelektual Armstrong. Itu adalah autobiografinya yang sempat menggemparkan masyarakat Inggris Karena kejujuran dan gaya tulis tanpa tedeng aling-aling, berisi tentang pengakuan kehidupannya selama di biara ordo Katolik Roma. Karya itu laris dan sukses, tetapi buku itu juga menjadikan dirinya semacam pesakitan. Armstrong masih bisa merasakan kebencian orang-orang terhadap dirinya karena buku itu, "Umat Katolik Inggris membenci saya. Mereka pernah mengirim tinja di dalam surat kepada saya," kenangnya pahit.

Armstrong banyak sekali mengalami pengalaman hidup yang serba drastis, begitu berbeda-beda; jika tidak bias dikatakan ekstrem. Meski tentu saja mampu mengubah kisah hidup seseorang dengan cepat, dampak baiknya peristiwa semacam itu mampu mengajarkan seseorang pada sesuatu yang baru, memberi wawasan segar terhadap segala sesuatu. Harus diakui, pengalaman baru kadang-kadang memang membawa seseorang pada sebuah dunia yang berbeda sama sekali. Tak disangka-sangka sebelumnya.

Pada usia sangat muda, 17 tahun, Armstrong memutuskan masuk sebuah biara ordo Katolik Roma, di Society of the Holy Child Jesus pada tahun1960-an. Di sana dia bersumpah menjalani hidup dalam kezuhudan dan kepapaan, berusaha menjadi seorang suster, menjalani hidup dengan amat keras dan teratur. Mereka tidak diperkenankan bertanya tentang dunia luar. Misalnya, cerita Armstrong, ketika krisis rudal Kuba terjadi pada 1962, banyak diantara mereka yang tak tahu bahwa krisis itu telah berakhir beberapa minggu lamanya. Mereka masih bersembunyi ketakutan.

Kehidupan di biara seperti itu ternyata tidak berakhir sesuai cita-cita dan rencananya. Kenyataan di biara justru membuat dia menyerah terhadap agama. "Saya seolah-olah ingin membunuh diri," katanya mengenang saat usia di ambang akhir 20-an itu. "Saya tak tahu melepaskan diri dari kehidupan yang demikian ketat itu." Akibatnya, setelah tujuh tahun menjadi suster, dia memutuskan kabur pada 1969.

Jadilah dia suster pelarian. Mulai memberontak terhadap keyakinannya, dan berlidah tajam terhadap agama. Tak hanya itu, dia bahkan menyatakan bahwa dirinya ateis. Pemberontakan itu justru membawanya pada pencarian tentang Tuhan, yang menurutnya memang berbeda dengan institusi agama. Keluar dari biara dia mengambil jurusan sastra Inggris di Oxford University. Sambil mengajar sastra abad ke-19 dan ke-20 di University of London, dia mulai mengambil Ph.D. Sayang disertasinya ditolak. Penolakannya itu membuatnya gagal menjadi dosen tingkat universitas. Karenanya dia beralih menjalani karier sebagai kepala jurusan bahasa Inggris di sebuah sekolah khusus perempuan di London. Tak lama berselang dia divonis epilepsi. Akibatnya, Armstrong segera diminta berhenti. "Setelah enam tahun di sekolah itu, saya diminta berhenti," katanya. "Tapi untunglah hidup saya sejak awal sudah merupakan sebuah bencana sempurna. Ternyata itu adalah latihan untuk sesuatu yang terbaik."

Setelah menulis Through the Narrow Gate, barulah dia meninggalkan sekolah pada 1982. Pada 1984, dia diundang Channel 4 London untuk membuat film dokumenter tentang hidup dan karya St. Paulus. Karir jurnalistiknya segera dimulai. Proses itu juga membuka jalan baru untuk dirinya, membawanya mengunjungi Jerussalem, dan mengubah kesan awal dia tentang Tuhan dan Agama. Berbagai kontras peristiwa dan pertikaian yang terjadi di "Tanah Suci Tiga Agama" itu mengilhaminya suatu introspeksi yang sangat serius. Pada fase inilah dia sungguh-sungguh mengejar penemuan kebajikan dan penelitian baru dalam subjek Judaisme (Yahudi), Nasrani (Kristianitas), dan Islam. Buahnya adalah Holy War: The Crusades and Their Impact On Today's World, yang di Indonesia diterbitkan Serambi dengan bantuan Yayasan Adikarya Ikapi, berjudul Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk; buku terjemahan Hikmat Darmawan itu total halamannya mencapai 927, sebuah jumlah yang sangat tebal, apalagi untuk kajian tentang akar perang agama.

Ketika agama Abrahamik itu merupakan pusat perhatian dan bahasan buku-buku yang ditulisnya. Lebih dari itu, subjek itu mendekatkan kembali Armstrong pada religiusitas, Tuhan, meski bentuknya sudah berbeda dibandingkan masa naif ketika awal-awal masuk biara. Dengan tekun dia melakukan penelitian. Kepada Mary Rourke dari Los Angeles Times, dia mengatakan, "Persatuan saya dengan Tuhan terjadi di perpustakaan, tempat saya menghabiskan waktu hingga tiga tahun untuk riset. Saya mendapatkan spiritualitas ketika studi. Orang Yahudi mengatakan kadang-kadang hal seperti memang bisa terjadi, yakni ketika seseorang sedang mengkaji Taurat."

Riset yang intensif terhadap hubungan dan pertikaian pemeluk ketiga agama besar yang sama-sama bersumber dari Nabi Ibrahim di Timur Tengah melahirkan sebuah pendekatan yang disebut Armstrong sebagai 'visi tiga sisi' (triple visons). Dengan tesis itu, Armstrong bermaksud mencoba mempertimbangkan posisi dan sudut pandang dari masing-masing perspektif, tak bisa salah satunya diabaikan. Memperhatikan masalah dari dua sudut pandang belum cukup, melainkan harus mencapai keseimbangan tiga sisi. Tujuannya untuk mencapai pemahaman bersama. Armstrong tahu betul betapa perih trauma umat ketiga agama itu, betapa ketiganya sama-sama terjebak konflik mematikan.

Karena itu, dengan hati-hati dia mengajari agar masing-masing pihak meruntuhkan prasangka lamanya, mencoba memasuki kebudayaan lain; sesuatu yang oleh Armstrong sendiri dianggap nyaris mustahil dan musykil dilakukan, kecuali bila seseorang mau jauh lebih arif mengkaji identitas, mitos, emosi dan semangat masing-masing. Dalam pendekatan itu, dia menyertakan unsur teologi dan sastra (seni) untuk memandang persoalan tersebut. Alasannya teologi dan sastra memungkinkan pandangan terhadap agama bisa diperbaharui dalam setiap generasi, jika tidak diubah ulang secara total. Alih-alih sebagai kesatuan doktrin eksklusif, dalam pandangannya agama itu lebih merupakan media untuk imajinasi dan alat kreativitas (penciptaan) manusia.

Dia berharap pendekatan itu memberi sesuatu yang berbeda dibandingkan pendekatan sejarahwan akademik maupun profesional yang cenderung lebih ketat. Armstrong memang lebih mendekati agama dari sisi manusiawi, dengan kacamata jurnalisme-populer. Itu sebabnya, meski dikenal sebagai teolog, sudut pandang yang digunakannya bukan akademik (scholarly); dan benar, dia lebih nyaman bila disebut sebagai 'komentator agama' saja.

Pengembaraan itu membuatnya jadi seorang penulis subur. Sudah lebih dari lima belas buku ditulisnya, dengan jangkauan yang bisa dikatakan luas. Tema utama bukunya adalah upaya rekonsiliasi dan pemahaman antar-agama dari ancaman fundamentalisme ketiga agama Abrahamik tadi, meski secara umum Armstrong memiliki perhatian luas terhadap masalah-masalah agama apa pun; misalnya bahwa dia pun menulis tentang Buddhisme dan Mistisisme. "Saya memilih memusatkan perhatian pada fundamentalisme karena sejauh ini merupakan gerakan yang paling mencolok dan berpengaruh. Sebagai fenomena, fundamentalisme mulai ada di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Gerakan fundamentalis merupakan salah satu yang paling genting mempengaruhi masyarakat Barat. (Namun) sebelum bisa berharap memahami fundamentalisme budaya lain, pertama-tama harus dipelajari kenapa dan bagaimana fundamentalisme bisa meledak dalam masyarakat kita sendiri." Kedalaman studi dan padatnya detail informasi tentang tradisi agama besar itu menjadi ciri khas bukunya; sebuah ketelitian dan kecerdasan ulasan yang diakui banyak kalangan. Selain Through the Narrow Gate (St. Martin's Press, 1982), sejumlah bukunya menjadi best-seller, antara lain Jerusalem: One City, Three Faiths (Knopf, 1996); Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World (Anchor Books, 1991); The Battle of God (Knopf, 2000); In the Beginning: A New Interpretation of Genesis. Dan terutama A History of God: The 4000 Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam (Ballantine, 1993) yang merupakan best-seller internasional, yang sudah diterjemahkan dalam 16 bahasa. Luas dan berpengruhnya karya itu mengangkat reputasinya sebagai komentator terkemuka masalah keagamaan kontemporer di Inggris dan di Amerika Serikat. 'Kegemarannya' menulis tentang sosok utama tradisi agama membuatnya dijuluki sebagai biographer of the enlightened one; penulis biografi mereka yang tercerahkan.

Seistimewa apakah Sejarah Tuhan? Oleh banyak kalangan buku ini dianggap merupakan sumbangan luar biasa terhadap pergulatan manusia dalam menelusuri Tuhan, agama, peradaban. Sebuah buku yang mampu memicu lagi perdebatan panjang mengenai Tuhan, menguatkan kembali elan agama, setelah semangat itu sedikit melemah karena dihantam sekularisme, materialisme, dan pertentangan antar-agama. Inilah buku yang berhasil menyodok kesadaran manusia, bahwa mereka harus berbenah kembali terhadap konsep yang dinamakan 'Tuhan'.

Pencarian terhadap Tuhan sesungguhnya merupakan hal alamiah dan melekat bagi seluruh manusia. Dimulai oleh para Nabi, tampaknya tidak ada satu pun manusia yang begitu saja berhenti mancari Tuhan di dalam kehidupannya. 'Menemukan Tuhan' bagi beberapa orang, misalnya kaum sufi; merupakan obsesi yang akan dikejar kemana pun, bahkan bila perlu dipertaruhkan dengan nyawa dan keyakinan semu.

'Tuhan' selama ini cenderung hanya diklaim oleh lembaga agama dan kerap diperalat untuk sesuatu yang justru demikian kerdil. Padahal, Tuhan adalah dimensi tersendiri, luhur, adil, mulia, bebas dari segala ciri manusiawi. Tuhan adalah 'sosok' paling misterius, paling mempesona, paling menakjubkan dan paling dasyat yang pernah dipertanyakan manusia. Perbincangan tentang Tuhan merupakan wacana yang tak bakal lenyap selama manusia hidup di dunia. Selama manusia berusaha menyingkap misteri mengenai siapa sesungguhnya diri mereka, selama itu pula Tuhan akan kembali muncul dalam kehidupan. Pencarian terhadap Tuhan senantiasa seiring dengan upaya manusia mencari tahu segala rahasia alam semesta. Tuhan diperdebatkan dalam segala kesempatan: agama, ritual, keyakinan, seni, budaya bahkan kehidupan sehari-hari. Konsepsi mengenai Tuhan kemudian menjadi sesuatu yang sama misteriusnya dengan upaya mencari tahu 'apakah' sesungguhnya Tuhan itu.

Buku itu seakan-akan menjadi tonggak peringatan betapa manusia selama hayatnya, selama sejarah kehidupannya, terus bergumul dengan pencarian terhadap Tuhan. Apa lagi buku ini merekam dan menelusuri pencarian itu selama empat milenium. Armstrong berusaha melacak bagaimana persepsi manusia tentang realitas manusia itu berubah, tumbuh, saling mempengaruhi. Dia membuktikan bahwa 'Tuhan' memang dipikirkan berbeda-beda dan bervariasi oleh pemimpin agama selama berabad-abad. Sungguh menakjubkan menyaksikan manusia membuat dan kembali menciptakan beragam 'Tuhan' di dalam upaya itu. Kearifan untuk menghormati pikiran dan iman itu tentu harus terus dipupuk, dalam keadaan yang paling kritis sekalipun. Armstrong menilai agama samawi memiliki etos saling percaya dan tidak menghakimi, karena ketiganya lahir dari sejarah yang sama. Bisa jadi, buku seperti itu ikut menjaga manusia terus bergantung pada yang maha kuasa.

Sejarah Tuhan menambah panjang deretan buku tentang pencarian tiada henti manusia untuk menyatukan keragaman fenomena dan berupaya menurunkannya sebagai suatu keteraturan. Bukan menandai semakin sukarnya manusia menghargai keragaman atau Tuhan menginginkan monotonalitas, melainkan upaya menemukan realitas kebenaran.

Yang drastis, pengembaraan intelektual, keyakinan, dan kekritisan itu mampu mengubah pandangannya. Dari orang yang taklid, memberontak, ateis, kemudian berangsur menghargai agama dan ide mengenai Tuhan.
 
"Agama itu bagai sebuah rakit," kata Armstrong. "Begitu selesai menyeberangi sungai, Anda harus menambatkannya, dan meneruskan perjalanan. Jangan diseret jika anda tak memerlukannya lagi." Meski demikian, sekarang ini, dia lebih suka menyebut dirinya sebagai freelance monotheist, alih-alih kembali ke Gereja Katolik atau memeluk agama tertentu. Bagi Armstrong, freelance monotheist merupakan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan spiritualitas tanpa dibatasi kungkungan agama tertentu.
 
"Saya mendapat makanan dari ketiga agama Ibrahim itu," akunya saat wawancara dengan Bill Moyers. "Saya masih seorang biarawati, hidup sendiri, belum pernah menikah, dan menghabiskan hidupnya untuk menulis, membaca, mempelajari, dan berbicara tentang spiritualitas dan Tuhan. Intinya, saya tidak bisa melihat bahwa salah satu ketiga agama Ibrahim itu ada yang lebih unggul dari yang lain."

Karena itu, dia semata-mata mempersembahkan hidupnya mengkaji agama-agama tersebut, menganggap bahwa Yahudi, Kristen dan Islam sebagai sesuatu yang integral. Ini tampaknya merupakan pilihan yang sukar. Namun, dia yakin bahwa salah satu harapan hidupnya, dan itu diupayakan sungguh-sungguh; adalah mencoba agar umat ketiga agama itu untuk bersama-sama sepakat berpandangan bahwa mereka harus ikut berbagi dan bahu-membahu memberhentikan segala jenis kekejaman, kekerasan, pencabulan, dan perendahan moral.

Apa vonis epilepsi juga mempengaruhi pengalaman beragamanya? Armstrong mengakui, peristiwa itu membutuhkan diagnosis panjang. "Bertahun-tahun saya memang mengalami halusinasi, tapi sama sekali tidak pernah terpikir dampak itu sebagai religius. Tetapi ketika semakin sadar atas kondisi itu, saya mulai ingin tahu barangkali pengalaman religius itu bisa jadi neurologis. Namun, rasanya menarik bahwa orang dengan bentuk epilepsi tertentu seperti saya ini cenderung terpesona oleh pertanyaan religius, filsafat, etika, juga ingin menulis banyak-banyak. Coba bandingkan dengan Dostoevsky, dengan semua novel tebalnya tentang spiritualitas itu.

Armstrong kini merupakan salah satu sosok utama dalam upaya rekonsiliasi agama-agama. Terhadap Islam, umpamanya, dia menulis dua buku yang mampu menumbuhkan sikap apresiasi secara adil, Muhammed: A Biography of the Prophet (Victor Gollancz Ltd., 1991) dan Islam: A Short History (Modern Library). Atas upaya itu, pada 1998 Islamic Centre di California Selatan menganugerahinya penghargaan sebagai pembangun jembatan yang memajukan pemahaman antar-agama. Pada 1999, dia menerima anugerah dari Muslim Public Affairs Council Media. Pembaca bukunya bisa mempelajari kesamaan gagasan yang lebih optimistik dari esensi nilai tiap agama.

Perempuan kelahiran tahun 1945 dari keluarga Katolik Roma di daerah pedesaan dekat Birmingham, Inggris itu di samping terus menulis di berbagai media massa terkemuka, hingga kini tetap melakukan riset perpustakaan, menjadi pembicara dan pengisi acara televisi, diantaranya Varieties of Religious Experiences dan Tongues of Fire, juga mengajar Kajian Yahudi dan Pelatihan untuk Rabbi dan Guru di Leo Baeck College, London. Selain itu, dia merupakan anggota kehormatan Association of Muslim Social Sciences.

Begitulah, hidup ternyata bisa menjadi istimewa bila seseorang sempat mengalami peristiwa berbeda-beda, bahkan yang sangat mengerikan sekalipun. Pengalaman mampu mengubah seseorang secara drastis. Sangat terbuka kemungkinan dia akan menjadi orang dengan wawasan baru terhadap segala sesuatu. Pengalaman baru itulah yang kerap mengantarkan seseorang pada sebuah dunia yang berbeda sama sekali, barangkali menuju kedewasaan diri. Karen Armstrong mengajari banyak orang untuk bisa mengarungi arus serta menjalani kehidupan itu sebaik yang bisa dilakukan.

Anwar Holid, Eksponen komunitas penulis TEXTOUR, Bandung
Majalah MataBaca Vol. 1 / No. 10 / Mei 2003