Kama Sutra: Buku Terpopuler di Dunia
Anda pasti pernah mendengar tentang buku Kama Sutra. Sebuah buku kuno tentang 64 posisi berhubungan seks yang terkenal luar biasa seantero jagat. Walaupun sangat terkenal luar biasa, dan mungkin banyak di antara kita yang memilikinya, jarang ada orang yang benar-benar pernah membacanya dan menyelaminya dengan sungguh-sungguh.
Itulah sejumlah fakta yang disampaikan Nury Vittachi, pengarang buku The Kama Sutra of Business. Konon, kitab Kama Sutra sendiri ditulis seorang petapa, yang kemungkinan besar tidak memiliki teman wanita dan mungkin saja tidak pernah berpacaran dan berhubungan seks. Lho, kok bisa? Pengarang Kama Sutra adalah Vatsyayana, seorang akademisi yang tekun mempelajari Tuhan Sang Pencipta dan segala aspek ketuhanan dalam kehidupan kita.
Vatsyayana percaya benar bahwa kehidupan ini memerlukan keseimbangan antara spiritualisme, materialisme, dan seksualitas. Ia juga merasa bahwa literatur tentang seksualitas sangat jarang dan tidak ditulis dengan pendalaman yang sesungguhnya.
Saat ini, Kama Sutra mungkin buku karangan manusia paling populer di seluruh dunia. Uniknya, buku ini pernah dianggap sangat berbahaya dan di berbagai negara pernah dilarang karena dianggap porno. Walaupun Kama Sutra kini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan mudah dijumpai di berbagai toko buku, kenyataannya buku-buku Kama Sutra yang beredar di Barat, alkisah, hanya memiliki 20% dari isi aslinya.
Uniknya, walau saat ini sudah banyak buku pendidikan seks yang jauh lebih visual dan grafis serta modern, tetap saja hanya Kama Sutra yang dianggap sejajar sebagai kitab suci pendidikan seks. Aneh, bukan? Inilah fenomena yang dikatakan Nury Vittachi sebagai fenomena ''the first gurus were gurus''.
Walaupun zaman sudah semodern apa pun dan teknologi sudah canggih sedemekian rupa, kita tetap saja berguru pada ajaran dan guru-guru zaman kuno. Entah kenapa, mungkin dianggap lebih sah dan manjur. Jepang menganggap buku The Five Ring karangan samurai Musashi Miyamoto sebagai guru dan referensi strategi yang terbaik. Demikian juga bangsa Cina menganggap buku The Art of War, karangan Jenderal Sun-Tzu, sebagai kitab suci strategi yang paling pas.
Saya menggoda Mpu Peniti bahwa mungkin kita juga butuh ''guru'' seperti Musashi dan Sun-Tzu untuk menggugah kebangkitan Indonesia agar berpikir strategis. Barangkali kita harus mengangkat kembali karya-karya guru lama Indonesia seperti Raden Ngabehi Rangga Warsita atau Mpu Prapanca, yang mengarang sejumlah literatur seperti Serat Kalatidha dan Negara Kertagama. Siapa tahu pemberdayaan pemikiran-pemikiran guru kuno Indonesia menjadi sebuah inspirasi baru kebangkitan ekonomi kita. Mpu Peniti hanya manggut-manggut mengiyakan ledekan saya itu.
Mpu Peniti bertutur bahwa zaman dulu, masyarakat kuno memiliki ritual berguru yang sangat sakral. Seorang murid untuk pandai dan bijaksana seringkali menempuh kehidupan yang sangat sulit untuk bisa berguru pada seorang guru terkenal. Dalam cerita-cerita lama, kadang seorang murid rela tinggal di rumah sang guru dan menjadi pembantu untuk mengurus semua keperluan sang guru, tanpa harus dibayar. Tak jarang sang murid harus melewati sejumlah tes yang sangat luar biasa beratnya. Malah reputasi seorang murid ditentukan oleh reputasi gurunya. ''Mas Anu tentu saja hebat, kan gurunya adalah Mpu Anu,'' begitu komentar orang.
Ketika pertama kali bertemu Mpu Peniti, saya juga dites banyak hal. Mpu Peniti ingin melihat kesungguhan hati saya. Menurut beliau, saya hanya akan menikmati hasilnya kalau punya niat besar untuk belajar. Bukan sekadar niat mencari jawaban. Tahu jawaban yang benar belum tentu membuat seseorang pandai. Tapi proses belajar dan berguru itu sendiri yang akhirnya menjadikan kita berilmu.
Kadang saya melihat anak-anak SMP dan SMA hanya memiliki cita-cita lulus dengan angka bagus. Menurut mereka, pokoknya tahu jawabannya. Padahal, ilmu sesungguhnya ada pada pertanyaan itu sendiri, bukan pada jawabannya. Sayang, memang kita belum mampu menerjemahkan begitu banyak literatur kuno dan membuatnya menjadi bahan inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak guru kita zaman dulu yang pemikirannya pasti dahsyat dan luar biasa.
Mpu Peniti bertutur bahwa mustahil bangsa besar seperti kita yang mampu membangun Borobudur dan memiliki kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram tidak memiliki guru-guru besar. Mereka pasti memiliki kearifan dan pengetahuan luar biasa. Ilmu itu pasti ada di dalam darah bangsa ini. Demikian keyakinan Mpu Peniti.
Bagi saya, kalau guru-guru besar itu bisa kita berdayakan kembali seperti Sun-Tzu dan Musashi Miyamoto, barangkali kita juga bisa menyulut kebangkitan ekonomi yang baru.
Kafi Kurnia
Majalah Gatra edisi 24 / XIII / 2 Mei 2007
Itulah sejumlah fakta yang disampaikan Nury Vittachi, pengarang buku The Kama Sutra of Business. Konon, kitab Kama Sutra sendiri ditulis seorang petapa, yang kemungkinan besar tidak memiliki teman wanita dan mungkin saja tidak pernah berpacaran dan berhubungan seks. Lho, kok bisa? Pengarang Kama Sutra adalah Vatsyayana, seorang akademisi yang tekun mempelajari Tuhan Sang Pencipta dan segala aspek ketuhanan dalam kehidupan kita.
Vatsyayana percaya benar bahwa kehidupan ini memerlukan keseimbangan antara spiritualisme, materialisme, dan seksualitas. Ia juga merasa bahwa literatur tentang seksualitas sangat jarang dan tidak ditulis dengan pendalaman yang sesungguhnya.
Saat ini, Kama Sutra mungkin buku karangan manusia paling populer di seluruh dunia. Uniknya, buku ini pernah dianggap sangat berbahaya dan di berbagai negara pernah dilarang karena dianggap porno. Walaupun Kama Sutra kini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan mudah dijumpai di berbagai toko buku, kenyataannya buku-buku Kama Sutra yang beredar di Barat, alkisah, hanya memiliki 20% dari isi aslinya.
Uniknya, walau saat ini sudah banyak buku pendidikan seks yang jauh lebih visual dan grafis serta modern, tetap saja hanya Kama Sutra yang dianggap sejajar sebagai kitab suci pendidikan seks. Aneh, bukan? Inilah fenomena yang dikatakan Nury Vittachi sebagai fenomena ''the first gurus were gurus''.
Walaupun zaman sudah semodern apa pun dan teknologi sudah canggih sedemekian rupa, kita tetap saja berguru pada ajaran dan guru-guru zaman kuno. Entah kenapa, mungkin dianggap lebih sah dan manjur. Jepang menganggap buku The Five Ring karangan samurai Musashi Miyamoto sebagai guru dan referensi strategi yang terbaik. Demikian juga bangsa Cina menganggap buku The Art of War, karangan Jenderal Sun-Tzu, sebagai kitab suci strategi yang paling pas.
Saya menggoda Mpu Peniti bahwa mungkin kita juga butuh ''guru'' seperti Musashi dan Sun-Tzu untuk menggugah kebangkitan Indonesia agar berpikir strategis. Barangkali kita harus mengangkat kembali karya-karya guru lama Indonesia seperti Raden Ngabehi Rangga Warsita atau Mpu Prapanca, yang mengarang sejumlah literatur seperti Serat Kalatidha dan Negara Kertagama. Siapa tahu pemberdayaan pemikiran-pemikiran guru kuno Indonesia menjadi sebuah inspirasi baru kebangkitan ekonomi kita. Mpu Peniti hanya manggut-manggut mengiyakan ledekan saya itu.
Mpu Peniti bertutur bahwa zaman dulu, masyarakat kuno memiliki ritual berguru yang sangat sakral. Seorang murid untuk pandai dan bijaksana seringkali menempuh kehidupan yang sangat sulit untuk bisa berguru pada seorang guru terkenal. Dalam cerita-cerita lama, kadang seorang murid rela tinggal di rumah sang guru dan menjadi pembantu untuk mengurus semua keperluan sang guru, tanpa harus dibayar. Tak jarang sang murid harus melewati sejumlah tes yang sangat luar biasa beratnya. Malah reputasi seorang murid ditentukan oleh reputasi gurunya. ''Mas Anu tentu saja hebat, kan gurunya adalah Mpu Anu,'' begitu komentar orang.
Ketika pertama kali bertemu Mpu Peniti, saya juga dites banyak hal. Mpu Peniti ingin melihat kesungguhan hati saya. Menurut beliau, saya hanya akan menikmati hasilnya kalau punya niat besar untuk belajar. Bukan sekadar niat mencari jawaban. Tahu jawaban yang benar belum tentu membuat seseorang pandai. Tapi proses belajar dan berguru itu sendiri yang akhirnya menjadikan kita berilmu.
Kadang saya melihat anak-anak SMP dan SMA hanya memiliki cita-cita lulus dengan angka bagus. Menurut mereka, pokoknya tahu jawabannya. Padahal, ilmu sesungguhnya ada pada pertanyaan itu sendiri, bukan pada jawabannya. Sayang, memang kita belum mampu menerjemahkan begitu banyak literatur kuno dan membuatnya menjadi bahan inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak guru kita zaman dulu yang pemikirannya pasti dahsyat dan luar biasa.
Mpu Peniti bertutur bahwa mustahil bangsa besar seperti kita yang mampu membangun Borobudur dan memiliki kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram tidak memiliki guru-guru besar. Mereka pasti memiliki kearifan dan pengetahuan luar biasa. Ilmu itu pasti ada di dalam darah bangsa ini. Demikian keyakinan Mpu Peniti.
Bagi saya, kalau guru-guru besar itu bisa kita berdayakan kembali seperti Sun-Tzu dan Musashi Miyamoto, barangkali kita juga bisa menyulut kebangkitan ekonomi yang baru.
Kafi Kurnia
Majalah Gatra edisi 24 / XIII / 2 Mei 2007