Helvy Tiana Rosa: Menanam Berlian di Hati Pembaca
Banyak cara untuk merayakan hari jadinya. Helvy Tiana Rosa memilih dengan meluncurkan buku. Penyandang gelar Tokoh Perbukuan 2006 dari Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) itu merayakan ulang tahunnya yang ke-37 dengan meluncurkan buku Tanah Perempuan, di Rumah Cahaya Depok, 2 April lalu.
Tanah Perempuan merupakan naskah drama berlatar belakang sejarah. Dalam buku ini, Helvy berkisah tentang pahlawan perempuan Aceh. Mereka adalah tokoh armada laut, Laksamana Keumalahayati, pemimpin Kerajaan Aceh abad ke-17 Safiatuddin Syah, serta pemimpin perang Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, dan Pocut Meurah Intan.
Dengan terbitnya Tanah Perempuan, berarti Helvy sudah menelurkan 21 buku. Jika ditambah dengan antologi bersama, maka ia sudah menghasilkan 41 buku. Di usianya kini, Helvy kian menunjukkan konsistensinya mengangkat karya-karya bernuansa humanis kental yang ia sebut Islami.
Sebagai pengarang, Helvy mencatatkan banyak prestasi. Antara lain, pada 1992, kumpulan puisinya, Fisabilillah, menjadi juara Lomba Cipta Puisi Yayasan Iqra. Ketika itu, ketua dewan jurinya adalah H.B. Jassin. Lalu majalah sastra Horison pernah pula memilih Jaring-jaring Merah sebagai salah satu cerpen terbaik dalam satu dekade (1990-2000).
Helvy tak sekadar penulis produktif. Lebih dari itu, ia juga mendorong banyak orang untuk menghasilkan karya seperti dia. Ia yakin, semua orang bisa menulis. ''Faktor bakat itu 10%, yang 90% adalah tekad dan latihan,'' katanya. Bagi dia, bakat adalah bonus dari Tuhan.
Upaya itu kemudian diwujudkan lewat Forum Lingkar Pena (FLP). ''Tujuan terbesarnya, memasyarakatkan membaca dan menulis di Indonesia,'' ujarnya. Ketika didirikan pada 22 Februari 1997, forum ini hanya beranggota 30 orang. Setahun kemudian, Helvy diminta membuat pelatihan dan membuka cabang di Kalimantan Timur.
Pelatihan itu melahirkan buku antologi wilayah Kalimantan Timur. Sejak itu, program kerja FLP menjadi semakin banyak. Ia juga jadi kian sering diundang ke daerah untuk meresmikan cabang baru FLP. ''Targetnya, setiap bulan menghasilkan seorang penulis baru,'' kata Helvy.
Kini anggota FLP tercatat 5.000 orang. Hampir tiga perempatnya adalah perempuan. Semua tersebar di 125 cabang di 30 provinsi dan mancanegara. Mereka juga tak lagi hanya menerbitkan buku rame-rame. ''Banyak yang sudah menerbitkan buku sendiri,'' katanya.
Selama delapan tahun masa kepemimpinan Helvy saja, FLP menghasilkan 500 buku, bekerja sama dengan 30 penerbit. Bahkan, ketika ia diundang ke Amerika, FLP disebut sebagai organisasi kader. ''Lima ribu orang mau jadi penulis eksis, bagaimana caranya?'' kata Helvy.
Strateginya, menurut Helvy, 500 penulis yang sudah jadi mendukung 4.500 anggota lain. Resepnya, penulis yang belum punya nama digandeng penulis yang sudah punya nama. ''Kita harus merasa sukses bila orang lain sukses,'' katanya.
Tengok hasilnya. Ada Sakti Wibowo, seorang buruh kasar pabrik roti yang sudah menghasilkan lebih dari 20 buku. Kini ia beralih profesi menjadi penyelia naskah di lembaga penerbitan.
FLP juga memberi pelatihan pada buruh migran di Hong Kong. Untuk memacu semangat mereka, FLP membuat beragam acara semacam lomba karya tulis. Kini para wanita yang sehari-hari hanya mengurus rumah itu sudah bisa menunjukkan buku-buku karya sendiri.
Untuk melengkapi upaya melahirkan penulis baru, FLP juga membangun Rumah Baca dan Hasilkan Karya (Cahaya). Proyek pertama mereka dibangun di Depok pada 2002. Sasaran Rumah Cahaya, kata Helvy, adalah kaum duafa.
Kini ada belasan Rumah Cahaya yang sudah berdiri. Sebagian menumpang di rumah pengurus FLP, sekaligus sekretariat. Sebagian lagi dibangun di kantong-kantong kemiskinan. Misalnya di bawah Jembatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Wajarlah jika kemudian The Strait Times menjuluki Helvy sebagai pelopor fiksi Islami kontemporer Indonesia. Ia juga mendapat anugerah Tokoh Perbukuan 2006 dari Ikapi. Sebelumnya, pada 2004, Menteri Pemberdayaan Perempuan memberinya predikat Perempuan Indonesia Berprestasi.
Semua prestasi yang ia raih, kata Helvy, tak lepas dari pengaruh kedua orangtuanya semasa kecil. Riwayat kepengarangannya sendiri diawali kegemarannya akan dongeng. Sejak kecil, ibu Helvy, Maria Eri Susianti, selalu mengantarkan dongeng sebelum tidur. Tapi sang ibu baru akan bercerita kalau Helvy mendongeng lebih dulu.
Ketika usianya menginjak lima tahun, Helvy mulai melahap buku cerita setiap hari. Buku-buku itu sebagian adalah pinjaman. ''Ibu bekerja menjual seprai keliling,'' tutur Helvy mengenang.
Setiap hari, ibu Helvy meminjam buku dari pelanggannya untuk dibawa ke rumah. ''Saya boleh meminjam dengan syarat bisa merawat buku itu,'' katanya. Buku pertama yang dibaca Helvy adalah karangan Hans Christian Andersen.
Ketika itu, Helvy terpesona pada kisah The Little Mermaid. Dongeng ini mengisahkan seekor putri duyung yang mencintai seorang pangeran. Putri duyung rela melakukan apa pun demi cinta sang pangeran. Suara indahnya pun ditukar dengan racun penyihir yang bisa menumbuhkan sepasang kaki.
Putri duyung tak peduli racun itu terasa bagai pedang di tenggorokan. Begitu pun langkah kakinya yang seakan berjalan di atas pisau. Malangnya, sang pangeran justru memilih gadis lain. Tapi putri duyung tak tega membunuh pangeran. Ia memilih berubah menjadi buih di akhir kisah.
''Ending-nya sedih,'' ujar Helvy. Pada saat itu Helvy berpikir, seandainya menjadi pengarang, ia tak akan membuat akhir cerita sesedih itu. ''Enak juga jadi pengarang, bisa jadi Tuhan,'' pikir Helvy kecil.
Setahun kemudian, atas anjuran ibunya, Helvy mulai membiasakan diri menulis catatan harian. Kebiasaan itu kini ia tularkan pada putra pertamanya, Abdurahman Faiz, yang dikenal sebagai juara menulis surat untuk presiden.
Helvy mulai menyebut diri pengarang ketika berusia sembilan tahun. Pada saat itu, karangan pertamanya dimuat di sebuah majalah. Ketika itu juga ia mulai mengarang lagu. ''Judulnya Detektif Kecil,'' tuturnya.
Ayah Helvy, Amin Usman, memang seorang pencipta lagu. Seringkali ayah Helvy meminta saran soal lirik. Misalnya dalam lirik lagu Kau Bukan Dirimu, yang dipopulerkan Dewi Yull. Ayahnya pun menulis lagu Kekasih untuk Rafika Duri.
Ia juga membuat naskah drama untuk pementasan di sekolah. Helvy kecil bahkan sudah berani ngamen baca puisi di Taman Ismail Marzuki. Mulanya supaya bisa berjumpa sastrawan besar seperti Danarto, Taufiq Ismail, dan Putu Wijaya. Namun ia kemudian benar-benar ngamen di bus untuk membeli mesin tik.
Dengan segala keterbatasannya kala itu, Helvy berusaha terus menulis. Ia ingin terus menulis untuk mencerahkan diri dan orang lain. ''Supaya jadi berlian kecil di hati pembaca, bukan monster kecil yang jadi membesar,'' ujarnya.
Rita Triana Budiarti
Majalah Gatra edisi 23 / XIII / 25 April 2007
Tanah Perempuan merupakan naskah drama berlatar belakang sejarah. Dalam buku ini, Helvy berkisah tentang pahlawan perempuan Aceh. Mereka adalah tokoh armada laut, Laksamana Keumalahayati, pemimpin Kerajaan Aceh abad ke-17 Safiatuddin Syah, serta pemimpin perang Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, dan Pocut Meurah Intan.
Dengan terbitnya Tanah Perempuan, berarti Helvy sudah menelurkan 21 buku. Jika ditambah dengan antologi bersama, maka ia sudah menghasilkan 41 buku. Di usianya kini, Helvy kian menunjukkan konsistensinya mengangkat karya-karya bernuansa humanis kental yang ia sebut Islami.
Sebagai pengarang, Helvy mencatatkan banyak prestasi. Antara lain, pada 1992, kumpulan puisinya, Fisabilillah, menjadi juara Lomba Cipta Puisi Yayasan Iqra. Ketika itu, ketua dewan jurinya adalah H.B. Jassin. Lalu majalah sastra Horison pernah pula memilih Jaring-jaring Merah sebagai salah satu cerpen terbaik dalam satu dekade (1990-2000).
Helvy tak sekadar penulis produktif. Lebih dari itu, ia juga mendorong banyak orang untuk menghasilkan karya seperti dia. Ia yakin, semua orang bisa menulis. ''Faktor bakat itu 10%, yang 90% adalah tekad dan latihan,'' katanya. Bagi dia, bakat adalah bonus dari Tuhan.
Upaya itu kemudian diwujudkan lewat Forum Lingkar Pena (FLP). ''Tujuan terbesarnya, memasyarakatkan membaca dan menulis di Indonesia,'' ujarnya. Ketika didirikan pada 22 Februari 1997, forum ini hanya beranggota 30 orang. Setahun kemudian, Helvy diminta membuat pelatihan dan membuka cabang di Kalimantan Timur.
Pelatihan itu melahirkan buku antologi wilayah Kalimantan Timur. Sejak itu, program kerja FLP menjadi semakin banyak. Ia juga jadi kian sering diundang ke daerah untuk meresmikan cabang baru FLP. ''Targetnya, setiap bulan menghasilkan seorang penulis baru,'' kata Helvy.
Kini anggota FLP tercatat 5.000 orang. Hampir tiga perempatnya adalah perempuan. Semua tersebar di 125 cabang di 30 provinsi dan mancanegara. Mereka juga tak lagi hanya menerbitkan buku rame-rame. ''Banyak yang sudah menerbitkan buku sendiri,'' katanya.
Selama delapan tahun masa kepemimpinan Helvy saja, FLP menghasilkan 500 buku, bekerja sama dengan 30 penerbit. Bahkan, ketika ia diundang ke Amerika, FLP disebut sebagai organisasi kader. ''Lima ribu orang mau jadi penulis eksis, bagaimana caranya?'' kata Helvy.
Strateginya, menurut Helvy, 500 penulis yang sudah jadi mendukung 4.500 anggota lain. Resepnya, penulis yang belum punya nama digandeng penulis yang sudah punya nama. ''Kita harus merasa sukses bila orang lain sukses,'' katanya.
Tengok hasilnya. Ada Sakti Wibowo, seorang buruh kasar pabrik roti yang sudah menghasilkan lebih dari 20 buku. Kini ia beralih profesi menjadi penyelia naskah di lembaga penerbitan.
FLP juga memberi pelatihan pada buruh migran di Hong Kong. Untuk memacu semangat mereka, FLP membuat beragam acara semacam lomba karya tulis. Kini para wanita yang sehari-hari hanya mengurus rumah itu sudah bisa menunjukkan buku-buku karya sendiri.
Untuk melengkapi upaya melahirkan penulis baru, FLP juga membangun Rumah Baca dan Hasilkan Karya (Cahaya). Proyek pertama mereka dibangun di Depok pada 2002. Sasaran Rumah Cahaya, kata Helvy, adalah kaum duafa.
Kini ada belasan Rumah Cahaya yang sudah berdiri. Sebagian menumpang di rumah pengurus FLP, sekaligus sekretariat. Sebagian lagi dibangun di kantong-kantong kemiskinan. Misalnya di bawah Jembatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Wajarlah jika kemudian The Strait Times menjuluki Helvy sebagai pelopor fiksi Islami kontemporer Indonesia. Ia juga mendapat anugerah Tokoh Perbukuan 2006 dari Ikapi. Sebelumnya, pada 2004, Menteri Pemberdayaan Perempuan memberinya predikat Perempuan Indonesia Berprestasi.
Semua prestasi yang ia raih, kata Helvy, tak lepas dari pengaruh kedua orangtuanya semasa kecil. Riwayat kepengarangannya sendiri diawali kegemarannya akan dongeng. Sejak kecil, ibu Helvy, Maria Eri Susianti, selalu mengantarkan dongeng sebelum tidur. Tapi sang ibu baru akan bercerita kalau Helvy mendongeng lebih dulu.
Ketika usianya menginjak lima tahun, Helvy mulai melahap buku cerita setiap hari. Buku-buku itu sebagian adalah pinjaman. ''Ibu bekerja menjual seprai keliling,'' tutur Helvy mengenang.
Setiap hari, ibu Helvy meminjam buku dari pelanggannya untuk dibawa ke rumah. ''Saya boleh meminjam dengan syarat bisa merawat buku itu,'' katanya. Buku pertama yang dibaca Helvy adalah karangan Hans Christian Andersen.
Ketika itu, Helvy terpesona pada kisah The Little Mermaid. Dongeng ini mengisahkan seekor putri duyung yang mencintai seorang pangeran. Putri duyung rela melakukan apa pun demi cinta sang pangeran. Suara indahnya pun ditukar dengan racun penyihir yang bisa menumbuhkan sepasang kaki.
Putri duyung tak peduli racun itu terasa bagai pedang di tenggorokan. Begitu pun langkah kakinya yang seakan berjalan di atas pisau. Malangnya, sang pangeran justru memilih gadis lain. Tapi putri duyung tak tega membunuh pangeran. Ia memilih berubah menjadi buih di akhir kisah.
''Ending-nya sedih,'' ujar Helvy. Pada saat itu Helvy berpikir, seandainya menjadi pengarang, ia tak akan membuat akhir cerita sesedih itu. ''Enak juga jadi pengarang, bisa jadi Tuhan,'' pikir Helvy kecil.
Setahun kemudian, atas anjuran ibunya, Helvy mulai membiasakan diri menulis catatan harian. Kebiasaan itu kini ia tularkan pada putra pertamanya, Abdurahman Faiz, yang dikenal sebagai juara menulis surat untuk presiden.
Helvy mulai menyebut diri pengarang ketika berusia sembilan tahun. Pada saat itu, karangan pertamanya dimuat di sebuah majalah. Ketika itu juga ia mulai mengarang lagu. ''Judulnya Detektif Kecil,'' tuturnya.
Ayah Helvy, Amin Usman, memang seorang pencipta lagu. Seringkali ayah Helvy meminta saran soal lirik. Misalnya dalam lirik lagu Kau Bukan Dirimu, yang dipopulerkan Dewi Yull. Ayahnya pun menulis lagu Kekasih untuk Rafika Duri.
Ia juga membuat naskah drama untuk pementasan di sekolah. Helvy kecil bahkan sudah berani ngamen baca puisi di Taman Ismail Marzuki. Mulanya supaya bisa berjumpa sastrawan besar seperti Danarto, Taufiq Ismail, dan Putu Wijaya. Namun ia kemudian benar-benar ngamen di bus untuk membeli mesin tik.
Dengan segala keterbatasannya kala itu, Helvy berusaha terus menulis. Ia ingin terus menulis untuk mencerahkan diri dan orang lain. ''Supaya jadi berlian kecil di hati pembaca, bukan monster kecil yang jadi membesar,'' ujarnya.
Rita Triana Budiarti
Majalah Gatra edisi 23 / XIII / 25 April 2007