Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Sama, Penulis Beda

Cerita curang muncul lagi di dunia pendidikan. Kini lakon utamanya Djakaria Machmud, Rektor Universitas Swadaya Gunung Djati (Unswagati), Cirebon, Jawa Barat. Kamis pekan lalu, kasusnya sedang dikonsultasikan yayasan dengan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Jawa Barat.

Bola panas itu dilempar Taryadi, alumnus Fakultas Hukum Unswagati. Ia menunjukkan dua buku berjudul sama: Manajemen dan Strategi Perusahaan. Anehnya, nama penulis buku itu berbeda. Satunya ditulis Djaslim Saladin, 2003, yang lainnya ditulis oleh Djakaria Machmud, 2004.

Siapa penulis sebenarnya? Yang pasti, isi buku setebal 198 halaman terbitan Linda Karya, Bandung, itu juga serupa. ''Mirip hingga tanda titik dan koma,'' kata Koordinator Komunitas Mahasiswa Peduli Pendidikan, Taufik Hidayat. Taryadi menduga, Djakaria menjiplak. ''Ini pelanggaran hak cipta Undang-Undang Nomor 19/2000,'' ujarnya.

Munculnya buku itu, kata dia, diduga terkait syarat pencalonan Djakaria sebagai Rektor Unswagati, tahun 2005. Maklum, seorang kandidat rektor mesti berpangkat lektor kepala. ''Buku itu dijadikan syarat untuk menjadi lektor kepala,'' kata Taryadi.

Ia menyimpulkan, jika karya ilmiahnya menjiplak, lektor kepalanya tidak sah. ''Demikian juga rektornya,'' katanya. Aib yang dikuak Taryadi itu membuat Djakaria kebakaran jenggot. Di hadapan mahasiswa dan alumni, mantan Wali Kota Tangerang itu mengklarifikasi. ''Saya tidak tahu-menahu,'' ujar Djakaria, yang mengaku baru tahu setelah ramai di masyarakat.

Akhirnya Dekan Fakultas Ekonomi Unswagati, Ragil Sugito, mengaku bertanggung jawab. Penggantian nama pengarang buku itu adalah inisiatifnya. ''Buku Djaslim Saladin dicetak sekitar sembilan eksemplar,'' katanya.

Djaslim, penulis asli buku itu, menyatakan dimintai tolong oleh Ragil. ''Saya mengizinkan untuk diganti cover-nya dengan nama pengarang Djakaria Machmud,'' ujar pensiunan dosen Universitas Islam Nusantara, Bandung, itu.

Sekalipun sudah ada pengakuan, Koordinator Pembela Hukum Unswagati, Besus Suherman, tak mau kalah gertak oleh Taryadi. ''Kami akan menuntut balik,'' ujarnya. Ia mempertanyakan kapasitas Taryadi ketika membeberkan dokumen dugaan plagiat itu.

Dalam konstruksi hak cipta, menurut ahli hukum hak kekayaan intelektual (HaKI), Henry Sulisyo Budi, ada tiga skenario hak cipta barang cetakan. Pertama, jika cetakan itu dibuat berdasarkan pesanan, posisi penulis tak lebih dari tukang. Hak ciptanya ada di tangan pemesan.

Bagaimanapun, kata Henry, pemesan pasti mentransformasikan ide pada penulis. ''Penulis hanya mengelaborasi secara detail,'' kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Masyarakat HaKI Indonesia itu.

Kedua, apabila karya cetakan itu dibuat bersama-sama, hak ciptanya pun dipegang bersama-sama. ''Walaupun kontribusi penulis kedua hanya 2%, status hukumnya sama-sama sebagai pencipta,'' kata Henry. Persentase kontribusi tersebut baru diperhitungkan jika kemudian ada keuntungan sebagai dasar bagi hasil.

Ketiga, menurut Henry, jika cetakan itu dibuat dalam rangka dinas. Misalnya, perintah dari atasan terhadap bawahan. ''Di sini status hukumnya sama dengan yang pertama,'' katanya.

Dalam kasus Rektor Unswagati, menurut Henry, yang mungkin terjadi adalah proses penjualan dari penulis kepada kubu Djakaria. ''Pengalihan hak itu harus dilakukan secara notarial,'' ujarnya. Jika itu yang terjadi, secara hukum tidak ada masalah.

Tapi Henry buru-buru mengingatkan, eksesnya akan sangat kompleks. Apalagi, buku yang ditulis Djaslim Saladin sudah dipublikasikan. Dua buku yang sama dengan penulis berbeda itu akan membingungkan masyarakat. ''Apabila ada mahasiswa mengutip buku itu untuk karya ilmiah, bisa-bisa ia digugat karena dianggap keliru mencantumkan nama penulisnya,'' kata Henry.

Pemusnahan secara fisik buku pengarang pertama pun, menurut dia, tidak akan menghilangkan ekses hukum. Karena tidak ada kendali untuk menghindari ekses itu. ''Bikin pengumuman tiap hari pun, akan seberapa efektif?'' katanya. Sebab, secara konseptual, hak cipta itu lahir sejak karya tersebut dilahirkan.

Henry melihat tidak ada kejujuran intelektual dalam kasus ini. Seharusnya, kata dia, kasus itu diakui secara terbuka. Adapun pengakuan Ragil Sugito justru tidak menyelamatkan rektor. ''Dengan begitu, artinya rektor tidak qualified,'' ujarnya.

Akibatnya, tutur Henry, pengangkatan rektor itu bisa batal demi hukum. Karena buku itu hanya dipakai untuk mengejar cum, kata dia, artinya rektor tidak memenuhi syarat sebagai kandidat.

Rita Triana Budiarti & Wisnu Wage Pamungkas
Majalah Gatra edisi 40 / XIII / 22 Agustus 2007