Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Toko Gunung Agung Pelopor Bisnis Buku

Masagung berhasil membangun kerajaan bisnis di bawah bendera Gunung Agung. Usahanya melebar ke proyek mengharumkan Islam setelah menjadi seorang muslim.

Siapa pula yang tak kenal Toko Buku Gunung Agung. Dengan mengusung tag line "Kembali ke Sekolah Kembali ke Gunung Agung", rasanya hampir semua pelajar di kota-kota besar di Indonesia pernah tahu toko ini. Tapi, Tak semua tahu pendiri kerajaan bisnis perbukuan ini adalah Haji Masagung.

Awalnya, di Kramat Bunder, Jakarta Pusat, sebuah toko kecil dibuka pada 1948. Waktu itu Masagung masih menggunakan nama Tjio Wie Tay. Ia berkongsi dengan dua koleganya, Lie Thay San dan The Kie Hoat.

Di bawah bendera Thay San Kongsie, Masagung yang dipercaya menjadi pemimpin usaha pun mulai mengembangkan sayap bisnis ini. Dalam waktu tiga tahun, bisnis perbukuan itu berkembang pesat. Masagung pun mengusulkan penambahan modal dan membentuk sebuah firma.

Sayang, Lie Thay San merasa keberatan dan mundur dari usaha patungan ini. Thay San Kongsie bubar, lalu ia bersama The Kie Hoat merintis usaha baru dengan membuka toko di Jalan Kwitang 13, Jakarta Pusat, kini Gedung Idayu dan Toko Wali Songo.

Naluri bisnis Masagung memang tajam. Ia mengembangkan firma itu menjadi NV Gunung Agung --nama yang diambil dari makna namanya sendiri Tjio Wie Tay. Pada 8 September 1953, ia membuat gebrakan besar: menggelar pameran buku.

Dengan modal sekitar Rp. 500.000, toko ini berhasil memajang sekitar 10.000 buku --jumlah yang luar biasa pada masa itu. Momen inilah yang dicanangkannya sebagai hari lahir Gunung Agung. Kiprah Masagung dengan Gunung Agungnya kala itu menarik perhatian banyak kalangan.

Apalagi, ia kemudian menggandeng beberapa pengarang dan wartawan, selain pengusaha, ke dalam lingkaran bisnisnya. H.B. Jassin, Zuber Usman, Usman Effendi, dan Sutan Muhammad Zain adalah empat nama dari kalangan pengarang yang diajaknya bergabung.

Sedangkan dari kalangan wartawan tercatat nama Adam Malik, Sumanang, Adinegoro, dan Darsjaf Rahman. Dari pengusaha, ia menggandeng Oey Kim Tjiang dan Gouw Ie Liong. Bukan itu saja. Pameran buku pun seakan menjadi tradisi Gunung Agung.

Tahun berikutnya, 1954, Masagung dan kawan-kawan malah mengadakan Pameran Buku Indonesia. Dalam ajang inilah ia bertemu dan berkenalan dengan dwitunggal pemimpin Indonesia yang sangat dikaguminya: Bung Karno dan Bung Hatta. Pameran demi pameran buku terus berlanjut di berbagai kota.

Bahkan, Gunung Agung sempat pula menggelar pameran buku di luar negeri: Singapura dan Malaysia. Seiring dengan perkembangannya, Gunung Agung membuka cabang di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Medan, juga sampai ke Riau dan Irian Barat (kini Papua).

Pada 1965, ia membuka cabang di Tokyo. Ia kemudian membuka cabang di Singapura. Di Jakarta sendiri, pada 1963, Gunung Agung sudah memiliki gedung baru di Jalan Kwitang 6. Jenis usaha yang dirambahnya pun tak lagi sebatas menjual buku. Masagung mengembangkan penerbitan, distribusi, dan percetakan.

Penerbitan di bawah nama PT. Gunung Agung boleh dibilang mencapai puncaknya di tahun 1960-an dan 1970-an. Sayap bisnisnya di tahun-tahun itu kian lebar lewat kerja sama dengan perusahaan lain. Dengan Sarinah, misalnya, ia membangun duty free shop lewat PT. Sari Agung.

Di bawah kepemimpinannya, Gunung Agung berjaya hampir di segala bidang. Bukan sebatas toko buku dan penerbitan, Gunung Agung menjadi distributor terkemuka untuk alat-alat tulis dan perkantoran, juga buku dan majalah asing. Masagung juga kemudian menekuni bisnis money changer lewat PT Ayumas --yang kini kerap jadi rujukan untuk nilai mata uang.

Perdagangan komputer dan perhotelan tak pula lepas dari jangkauannya. Namun, agaknya, Masagung sangat menyadari usianya terbatas, sedangkan usaha harus terus berjalan. Pada 1980-an, ia mulai pelan-pelan mengalihkan bidang usaha ini kepada putra-putranya.

Apalagi, ia sendiri pun mulai menekuni bidang lain, yakni proyek mengharumkan Islam lewat Yayasan Jalan Terang --kemudian Yayasan Masagung. "Saya sudah tua, zamannya sudah lain. Sudah saatnya bisnis diserahkan kepada anak-anak dan orang-orang profesional," katanya suatu ketika pada 1985.

Peralihan bisnis keluarga dari generasi pertama ke generasi kedua boleh dibilang berjalan mulus. Tiada terdengar perebutan kekuasan di antara ketiga putranya: Putra Masagung, Oka Masagung, dan Ketut Masagung. Di tangan generasi penerus, Gunung Agung memang sempat stagnan sejenak.

Ketiganya sibuk dengan urusan masing-masing dan seperti melupakan pada bisnis yang dirintis sang ayah. Tapi, kemudian, mereka sadar, Gunung Agung harus dibangkitkan. Untuk menggairahkan kembali Gunung Agung, pengelolaannya pun diserahkan kepada kaum profesional pada 1989.

Dua tahun kemudian, perusahaan yang kini bernama PT. Toko Gunung Agung ini mencatatkan diri di Bursa Efek Jakarta. Dan, ternyata, siasat bisnis yang diterapkan generasi penerus itu tepat. Kini, usaha dari toko kecil di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, itu sudah beranak-pinak menjadi 29 cabang yang tersebar di Jawa dan Bali.

Riwayat Sang Perintis
Lahir di Jakarta, 8 Oktober 1927, dengan nama Tjio Wie Tay, anak keempat dari lima bersaudara ini sudah jadi anak yatim sejak usia 4 tahun. Darah dagang sudah mengalir dari kedua orangtuanya, pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio. Sang ayah dikenal juga sebagai ahli listrik tamatan Nederlandsch Gelijkgesteld end KWS.

Sepeninggal sang ayah, kehidupan ekonomi keluarga ini jadi tidak keruan. Untuk itu, ibundanya harus membanting tulang mencari nafkah. Otomatis, perhatiannya pada anak-anak pun sangat kurang, sehingga Wie Tay tumbuh menjadi anak nakal.

Setelah masuk sekolah, ia malah suka membolos dan sampai dua kali dikeluarkan karena berkelahi. Dan, ia mengenyam bangku sekolah hanya sampai kelas V. Namun, kenakalan itulah yang rupanya membawa keberuntungan.

Ia tumbuh sebagai bocah pemberani yang senang berkenalan dan bergaul dengan siapa saja. Karena keberanian dan pergaulan itu ia pernah mendapatkan sepeda dari tentara Jepang. Karena sikapnya itu pula ia pernah menjajal beragam profesi, mulai penjual buah keliling, penjual rokok asongan, hingga akhirnya menjadi penjual buku.

Rupanya, Wie Tay memang bertangan dingin di lahan bisnis perbukuan. Nalurinya pun tajam di bidang ini. Ia bersama dua kawannya, Lie Thay San dan The Kia Hoat, mengawali usaha ini pada 1948 di kawasan Kramat Bunder.

Mereka menjual buku-buku berbahasa asing yang didapatkan dari orang-orang Belanda kenalan Wie Tay. Ternyata bisnis buku ini cukup cerah. Sejak itulah mereka berkonsentrasi berjualan buku dan alat tulis. Pada 13 Mei 1951, Wie Tay menikahi seorang gadis pedagang kue keliling bernama Hian Nio.

Pernikahan ini pun membawa berkah. Usahanya di jalur perbukuan setelah itu makin berkembang sampai mereka mendirikan NV Gunung Agung. Perkenalannya dengan banyak tokoh pun ikut mendongkrak perkembangan bisnisnya.

Satu di antara tokoh yang dianggapnya paling berjasa adalah Bung Karno. Presiden pertama itu mempercayakan penerbitan dan pemasaran buku-bukunya kepada Wie Tay. Semua buku tentang Soekarno pun seakan menjadi trade mark Gunung Agung.

Tjio Wie Tay, yang belakangan mengganti namanya menjadi Masagung, pun amat dikenal karena aktivitas sosialnya. Satu di antaranya lewat Yayasan Idayu --meminjam nama ibunda Bung Karno. Nama yayasan ini memang dipilih untuk mematri kedekatan hubungannya dengan Sang Proklamator.

Idayu, yang memiliki sarana perpustakaan dan beragam dokumentasi tentang Indonesia, pada masanya banyak membantu para mahasiswa di bidang perbukuan. Pada 26 Agustus 1963, Wie Tay resmi mengganti namanya menjadi Masagung. Nama itu punya riwayatnya sendiri.

Ide nama itu didapatnya dari Herlina, si ''Pending Emas''. Putri Indonesia yang ikut terjun dalam kancah pembebasan Irian Barat (kini Papua) itu selalu lupa nama Wie Tay. Yang diingatnya hanya pemilik Toko Gunung Agung, sehingga ia selalu memanggil dengan sapaan Mas Agung. Jadilah nama Masagung.

Di mata para karyawannya, Masagung semasa hidupnya adalah sosok teladan. Masagung adalah seorang yang sangat ulet, telaten, pekerja keras, selalu optimistis, sekaligus punya banyak gagasan yang kerap tak terpikirkan oleh orang lain.

Lebih dari itu, "Beliau tak sungkan-sungkan terjun sendiri ke lapangan, bahkan bekerja sampai larut malam sampai pekerjaannya hari itu benar-benar tuntas," ujar Gunawan Adjie kepada Sholla Taufik dari Gatra. Menurut Adjie yang sudah sekitar 30 tahun bergelut di Gunung Agung, cara kerja semacam itu masih terlihat hingga menjelang akhir hayat Masagung.

Kelebihan lainnya adalah kemampuan Masagung mengambil keputusan cepat dan tepat. "Malah, kami boleh menunggu keputusan beliau saat itu juga, dan saya tahu persis apa yang beliau lakukan," katanya. Masagung mulai melirik Islam sejak 1974.

Setahun kemudian, ia resmi menjadi seorang muslim. Sejak itu, perhatiannya pun mulai bercabang sampai akhirnya sepenuhnya menggeluti pengembangan Islam. Lewat Yayasan Masagung, ia membangun Pusat Informasi Islam yang berisi beragam kepustakaan dan dokumentasi Islam.

Malah, ia bercita-cita membangun sebuah Islamic Center di kawasan Citeureup, Bogor, dengan sarana paling lengkap. Sayang cita-cita mulia itu belum sempat terkabul hingga akhir hayatnya pada September 1991. "Dari hasil jerih payahnya, beliau membeli lahan di Citeureup sedikit demi sedikit sampai akhirnya mencapai sekitar 20 hektare," ujar Adjie lagi. Di situlah pulalah sang perintis dimakamkan.

Erwin Y. Salim
Majalah Gatra edisi 49 / XII / 25 Oktober 2006