Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penulis Baru, Buku Baru, Penerbit Baru

Kami waktu itu berempat, di sebuah kamar rumah seorang kawan. Tiga kawan akrab; dua penerjemah yang juga giat menulis dan menghidupkan dunia penerbitan, dan seorang ahli.komputer yang tengah diminta melatih pekerja baru penata letak sebuah penerbit.
 
Minggu sore, hari sempurna untuk bincang-bincang tentang segala hal. Kadang-kadang kawan itu memang terdampar di rumah saya untuk sekadar berbagi cerita dan keakraban bersama sejumlah kawan lain. Di tengah obrolan di sore seperti itu biasanya istri saya tanpa disangka kadang-kadang  menghadiahi sejumlah makanan hasil masakannya. Tapi kali ini tidak, kami semua lelaki, bertemu di sebuah rumah kawan yang masih bujangan. Yang tersedia hanya rangginang, kopi, rokok (dua di antara kami tidak mengisapnya), dan tentu: sebuah tema.isu, persoalan. Istri meminta agar saya tak berlama-lama bertemu dengan kawan sebaya itu.

Waktu itu saya baru saja selesai menjadi pembuat siaran pers untuk Pesta Buku Jakarta 2003 yang diadakan Ikapi Jaya. Bagi saya sendiri, itu adalah peristiwa menyenangkan dan sekaligus memberi kesempatan untuk tahu lebih banyak tentang dunia perbukuan yang ternyata, tanpa pernah saya duga sebelumnya, telah saya akrabi barangkali sekitar enam tahun—dengan sejumlah pasang surutnya. Rasanya setiapsaat dunia saya memang terselap-selip di antara sejumiah tulisan, haiaman buku dan penerbitan, selain ranah NGO dan berbagai ketertarikan lain. Di pesta itu saya menemukan sejumlah buku baru terbitan penerbit baru, ditulis oleh pengarang baru. Peristiwa sekilas itu membekas, membuat saya terus bertanya ingin tuntas: sebenarnya apa yang tengah terjadi dalam ranah perbukuan kita sampai paruh 2004 ini? Penerbit muda muncul di sejumlah kota, bergulat dengan bisnis, mengusung berbagai tema, penulis baru terus-menerus produktif bereksperimen dan mencari beragam kemungkinan dengan bahasa dan karya, sedangkan media ekspresi alternatif seakan-akan tak takut pada budaya massa yang jadi arus utama. Belum lagi.muncul berbagai toko buku baru yang sangat khas dikelola, disertai aktivitas yang rasa-rasanya mustahil bisa dilakukan sukarela oleh penerbit besar mapan. Seakan-akan semua unsur itu menjadi contoh sebuah gerakan baru atau budaya tanding, rnenunjukkan sikap, memperlihatkan pilihan dan wawasan.

Dalam pertemuan itu ada fakta mengasyikkan untuk dijadikan perdebatan, yakni bahwa para penulis muda produktif itu belum semuanya pernah memiliki buku. Meskipun rnereka giat dan tak kenal lelah berkarya dan menulis, tak selamanya tulisan itu bisa "berakhir" menjadi buku, baik sebagai kumpulan tulisan (cerpen, esai, dan lain-lain), atau kajjan utuh yang memang disiapkan sebagai buku. Pentingkah menerbitkan buku bagi seorang penulis? Saya pikir, itu pertanyaan terlalu naif jika harus kembali dipersoalkan. Jadi, apa yang kira-kira sebenarnya terjadi? Menurut saya, selintas saja, ialah penerbit baru temyata kurang "awas" dan perhatian pada lahirnya sejumlah penulis muda. Fakta ini langsung mengemukakan pertanyaan: sebenarnya apa makna istilah "penerbit alternatif" itu? Pertanyaan gagah ini temyata bisa "mentah" jika dihadapkan kepada penerbit baru yang muncul di sejumlah kota dan kadang-kadang tanpa diduga bisa mengeluarkan beberapa judul dalam sebulan. Aneh rasanya penerbit bisa tak jeli melihat fenomena di dunia perbukuan dan literer tempat mereka hidup.

Penerbit itu memang sibuk menawarkan sejumlah buku, tema, pemikiran, pendekatan, serta wawasan baru, tetapi nyaris semuanya merupakan hasil terjemahan. Di lain pihak, perhitungan bisnisnya kadang-kadang tanpa perhitungan atau tanpa strategi jangka panjang matang. Jika sebuah tema sedang diminati, segera muncul buku sejenis dari penerbit lain. Jika seorang penulis (Barat) mampu menciptakan ceruk pasar, tak lama kemudian karya lainnya digarap cepat-cepat, bahkan yang berasal dari internet atau selebaran-selebaran sekalipun. Keberanian menerbitkan seperti itu memang sekali-dua kali menakjubkan, tetapi kemudian menimbulkan pertanyaan: sebenarnya mereka bermaksud apa pada pembaca, pada pasar dan pelayanan? Kenapa mereka tak sekalian menggarap buku babon atau tulisan yang diakui oleh sejumlah kritik memang memiliki nilai atau sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan atau peradaban —bukan semata-mata ketergesaan takut ketinggalan trend dan ceruk pasar.

Kecenderungan itu mengisyaratkan bahwa gairah baru beserta seluruh unsurnya harus dipelihara dan dijalankan secara serius, rasional, penuh perencanaan. Tanpa cara tersebut penerbit muda bisa segera mati muda pula sebab mereka tidak bisa semata-mata menggantungkan pada nasib baik yang tengah lebar-lebar membuka diri di seluruh ranah di Indonesia. Pada akhirnya, kedewasaan diri melihat dan menyikapi fenomena, kebutuhan, dan pilihan terbitan akan menentukan kondisi budaya baca ataupun industri literer di Indonesia. Perhatian ini bukannya tanpa alasan. Jumlah penerbit baru yang terus bisa bertahan atau mengembangkan diri sebagai penerbit dalam masa 10 tahun terakhir sangat sedikit, sementara perkembangan di bisnis buku dan budaya baca ternyata melampaui yang bisa dilakukan banyak penerbit. Akibatnya, fenomena itu memunculkan sejumlah tuduhan serius; bahwa penerbit muda itu bisa naik daun karena sejumlah kesempatan dan abai pada etika ataupun sikap profesional.

Dua kawan saya tersenyum sinis pada keterangan itu, "Tapi harus kamu lihat sisi baiknya. Tanpa penerbit muda, kita tak pernah punya kesempatan membaca atau memahami pemikiran yang sedang berkembang, dibincangkan. Atau mengetahui yang tengah terjadi. Kita berutang budi pada mereka, sebab penerbit besar pasti tak mau melakukan hal serupa itu, yang penuh petualangan, percobaan, melawan gerak yang serba lamban dan penuh kehati-hatian." Saya tertawa, "Sekarang ini justru apa yang tak bisa dilakukan penerbit besar, coba? Mereka justru mampu merencanakan produk dengan lebih baik, mengemasnya, mendistribusikannya, termasuk menjadikan tema tersebut sebagai isu penting." Kawan saya menggugat balik, "Tapi hampir seluruh produk mereka sekarang kekurangan greget, tak ada lagi yang mengejutkan atau mencerahkan, seperti ketika awal-awal mereka muncul. Selalu ada semacam kecenderungan, ketika sudah besar yang mereka lakukan adalah mempertahankan nama besar bukan lagi melayani pembaca. Itu yang sekarang sedang kita buat. Kita merencanakan, mau lebih memperhatikan kebutuhan pembaca, memberi pilihan lebih bagus, bukan selera yang direkayasa begitu rupa." Rupanya mereka memang sedang di puncak semangat.

"Kalau begitu, penerbit muda harus berstrategi berbeda, melakukan sesuatu yang lebih orisinal, kalau bisa membangun generasi baru itu."

"Maksudnya apa?"
 
"Tentu akan lebih baik kalau ada penerbit yang berkonsentrasi pada penulis muda, mempublikasikan karyanya, mengembangkannya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang baru dan berbeda dalam khazanah kepenulisan kita. Jangan setelah "capek" berlatih, bereksplorasi, berkarya, eh... bukunya lantas diterbitkan penerbit lama. Penerbit muda harus mau memperhatikan ini, bahkan kalau bisa berkembang bersama, saling isi."

"Ya, itu persis di lakukan Totem Press Books, yang didirikan LeRoi Jones, yakni khusus menerbitkan karya kawan generasi Beat-nya, seperti Jack Kerouac, Allen Ginsberg, dan William Burroughs, ketika karya mereka tak dapat diakomodasi penerbit yang sudah ada," seorang teman memberi ilustrasi.
 
"Bukannya jumlah penerbit baru sekarang sudah banyak?" seseorang membantah. "Memang," kata saya, "tapi itu bukan jaminan buat banyak penulis muda yang ada."

Sejak keterbukaan menjadi nyata dalam budaya Indonesia dan teknologi informasi merupakan hal biasa bagi siapa saja, kita bisa dengan mudah menyaksikan gairah menulis, membaca, dan mengaji tumbuh di mana-mana di kota Indonesia, nyaris semuanya dilakukan oleh anak muda, berusia awal 20-an hingga awal 30-an. Mereka bersemangat menerbitkan media, mengisinya dengan tulisan karya sendiri, kadang-kadang dengan gaya, cara tak terduga, khas, bahkan berani melanggar aturan baku. Mereka pun menulis di media massa, terutama koran, media komunitas, gaya hidup, internet, komunitas maya seperti web dan mailing list. Mereka seolah-olah ingin menyatakan menulis adalah kegiatan fundamental, sebab mengungkapkan atau mengekspresikan suatu keadaan apa adanya, mengajak bersikap, menjadi diri sendiri. Gairah menulis itu secara sinergis rupanya diikuti upaya menciptakan produksi budayanya, yakni penerbitan dan bisnisnya. Meskipun perkembangan itu kadang-kadang tidak diikuti sikap profesional dan etika, mereka mampu membuktikan bahwa menulis bukan lagi monopoli segelintir kalangan. Kini mudah mencari buku yang menjadi perbincangan massa, sebab berita atau kritik buku bermunculan rutin tiap minggu atau bulan, jadi bahan obrolan kelompok kajian atau klub baca.

Sejumlah kekurangan dalam gairah itu pastilah lama-lama dapat diperbaiki seiring waktu menjalani bisnis, sebab sebagian dari mereka bukan amatir atau oportunis, mau belajar memperbaiki kualitas dan layanan. Meskipun bagi sebagian pembaca kekurangan itu berupa detail penerbitan, bagi penikmat lain, layanan itu merupakan standar yang harus dipenuhi untuk menunjukkan sikap profesional bahwa sebuah buku memang wajib disiapkan secara baik, hati-hati, dan menawan. Detail seperti indeks, catatan (kaki), kepustakaan (bibliografi), biografi penulis, halaman hak cipta, ISBN, penyuntingan yang cermat, kerap diabaikan penerbit muda; selain penintaan yang kerap terasa terlalu tebal, sehingga memberi kesan kotor halaman —terutama dilakukan penerbit Yogja. Langkah canggih kini malah selalu dilakukan penerbit kawakan lebih dulu, misalnya penggunaan barcode, kode produksi EAN13.

Jeroen Peeters, dalam artikelnya "Islamic Book Publisher in Indonesia: A Social Network Analysis", menganggap bahwa penggarapan detail yang sempurna akan memberi kesan bergengsi, bercitra intelektual—sebuah kesan yang justru sedang dikejar penerbit muda. Keseriusan dan upaya memperbaiki kualitas layanan itu hanya akan dilakukan oleh penerbit yang mau belajar. Ciri khas paling mencolok penerbit muda memang masih dalam upaya menampilkan sampul yang imajinatif, namun hal serupa segera dapat dilakukan pula dengan mudah oleh penerbit kawakan yang tak mau tertinggal. Penerbit kawakan kadang-kadang kerap menarik minat pembaca dengan menghadirkan sejumlah kata pengantar dari para ahli, memberi endorsement (dukungan, pujian). Justru agak aneh bahwa sinopsis, yang bagi penerbit kawakan merupakan bagian penting promosi dan cermin keterangan isi, kerap diubah pendekatannya oleh penerbit muda, tetapi kerap tak jelas maunya, atau sama sekali diabaikan begitu saja.

Semangat dan keberanian memasuki industri buku tentu patut dihargai. Namun, untuk mampu bertahan dan berkembang membutuhkan strategi yang cermat, memilih pembaca sasaran, memelihara citra, dan meningkatkan mutu terus-menerus. Dengan begitu, pangsa pasar dapat diluaskan, menjangkau sebanyak mungkin kalangan. Sebenarnya hal itu dapat diawali dengan langkah sederhana, misalnya memperhatikan detail perwajahan, tata letak, dan memperbaiki kualitas penyuntingan. Jika berhasil, mereka menampilkan buku asyik dalam kemasan elok. Baru sedikit penerbit muda mau melakukan langkah itu —meskipun harus diperhatikan bahwa kondisi penerbit muda memang berbeda-beda. Penerbit muda dengan dukungan finansial kuat berani memilih kertas istimewa, mendesain mendekati sempurna, mencetak berkualitas tinggi dan melakukan promosi dengan maksimal, sementara yang pas-pasan mencetak buku sebisa mungkin agar tak sampai mengecewakan pembaca. Yang sama cuma satu, yakni semangat dan upaya menghadirkan karya kepada pembaca.

Sampai pertengahan 2004 ini generasi baru penulis, penerbit, serta komunitas buku terus bermunculan. Fakta ini tentu didukung dan dikuatkan oleh beragam penentu khusus yang bisa jadi berbeda dengan gejala pada generasi sebelumnya. Penguasaan teknologi informasi memungkinkan terbentuknya komunitas maya dengan anggota fanatik pasti merupakan hal yang tak terjadi 6-8 tahun lalu; di sana para penulis bisa belajar dan berinteraksi dengan sangat mudah. Mereka bahkan bisa mempublikasikan lebih dahulu karya mereka di kalangan khalayak tertentu, diuji, dikritik, dikomentari oleh kawan sebaya. Eksponennya bisa berganti-ganti peran menjadi penulis, penyunting, pengkritik. Mereka mungkin bahkan tak memerlukan kertas untuk bisa menghasilkan karya. Sementara media ekspresi juga menyebar, dengan ketertarikan tema dan kekhasan masing-masing, pilihan jadi sangat beragam, dari yang indie hingga media massa. Mereka tak membutuhkan pengakuan atau pentasbihan siapa pun untuk diakui sebagai penulis yang andal. Cukup karya yang mampu mereka produksi, intensitas menulis, keseriusan berusaha, untuk kemudian diserahkan kepada publik.

Penulis bisa muncul dari mana saja; dari komunitas tertentu yang tumbuh bersama atau soliter, yang diam-diam berlatih dan berkarya sendirian, nyaris tanpa mentor dan kawan. Cara mereka memandang, menyikapi, mengungkapkan sesuatu pun tampaknya baru, individual; barangkali karena kubu-kubuan berbasis politik praktis lenyap sama sekali. Yang tersisa adalah upaya personal memperlihatkan pencapaian, menunjukkan idealitas, Tema yang diusung juga tak terbatas, dari yang tabu hingga kontroversial, dalam bahasa yang tak ragu dan tak memiliki batas. Dari sini menarik untuk diselidiki, apakah keterampiian berbahasa dan eksplorasi itu dipengaruhi oleh sejumlah terjemahan yang sangat banyak di awal tumbuhnya industri buku baru itu? Atau mereka adalah generasi yang memang telah terbiasa dengan bacaan bahasa Inggris?

"Dari tadi rasanya kok tdidak terucap seorang pun nama penulis untuk disebutkan sebagai contoh, ya?" tiba-tiba kawan saya seakan-akan mengingatkan. "Wah," sergah seorang kawan cepat, "tak perlu itu. Contohnya banyak sekali. Perhatikan saja di toko buku, di perpustakaan tertentu, atau klub baca; siapa penulis muda yang sudah punya buku dan tidak. Kejelian pembaca sendiri yang menentukan, sebab penulis itu sudah berusaha mendekatkan diri pada komunitas intinya. Tinggal bagaimana caranya menyebar ke wilayah lain. Tapi satu hal, ada atau belum ada buku, semangat menulis mereka tetap tinggi. Atau yakinlah, muaranya pasti ke sana. Itu yang paling pantas untuk kita hargai."
 
"Begitu ya?" tanya saya. "Bisa jadi. Setidaknya dari gejala-gejala kecil itu kita bisa lihat adanya perubahan cukup signifikan dalam khazanah buku dan sastra di Indonesia. Mungkin belum terasa betul sekarang, atau masih dalam proses pembentukan. Tapi barangkali dalam tahun-tahun mendatang semoga saja gejala itu menjadi fenomena, mewujud, terasa dampaknya."

Di akhir pertemuan itu saya terdiam. Teringat sejumlah buku baru yang tengah saya baca satu demi satu, karya mereka yang seusia sebaya. Saya ingin tahu betulkah ada sesuatu yang luar biasa atau berbeda dari zaman saya itu. Sebuah zaman baru yang ternyata tanpa henti dibentuk, diwarnai, diisi, oleh para perajin kata-kata, oleh mereka yang percaya pada kata-kata. Semuanya masih serba muda. (Terima kasih kepada Ignatius Haryanto atas bincang-bincangnya.)

Anwar Holid, pembaca buku.
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 12 / Agustus 2003