Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pajak Royalti Tidak Adil bagi Penulis

Dalam artikel bertajuk "Balada Seorang Penulis" (Matabaca Vol.1/No.8/April 2003) saya mencoba menunjukkan bahwa profesi penulis di Indonesia tidak menjanjikan secara finansial, kurang dihargai secara sosial dan berisiko secara politis. Berdasar pengalaman pribadi, penulis Melayu juga diremehkan. Ada satu bukti tambahan untuk yang saya sebutkan terakhir: menurut sebuah sumber, orang nomor satu di Republik ini sekarang sedang mempekerjakan seorang ekspat untuk menulis buku tentang Bali yang honornya setara dengan penulis pribumi yang menulis 100 judul buku yang masing-masing dicetak sebanyak 3.000 eksemplar laku semua.

Ada satu hal lagi yang belum terungkap dalam artikel tersebut: diperlakukan tidak adil oleh petugas pajak. Ada tiga hal yang membuat saya merasa diperlakukan tidak adil oleh petugas pajak.

Pertama. berdasar Pasal 4 UU No.17/2000 tentang Pajak Penghasiian, dan UU yang digantikannya, royalti yang diterima penulis termasuk subjek pajak. Selanjutnya, Pasal 23 UU No.17/2000 tersebut menyatakan bahwa besarnya pajak atas royalti sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final. Bagi saya, ini tidak memenuhi salah satu syarat pemungutan pajak, yakni syarat keadilan. Alasan utamanya, royalti dikenai pajak, sedangkan pendapatan dari bunga dan diskonto obligasi, yang dibeli melalui reksadana dan dana pensiun, tidak dikenai pajak. Padahal, pemodal di reksadana kebanyakan orang kaya. Terbukti bahwa rata-rata investasi per rekening reksadana per akhir 2002 sebesar Rp371 juta. Siapa yang bisa berinvestasi di satu jenis instrumen dengan jumlah sebesar itu? Selain itu, reksadana tersebut berinvestasi kebanyakan di obligasi pemerintah yang penerbitannya terkait dengan program rekapitalisasi perbankan. Dengan demikian, bunga obligasi tersebut dibayarkan dari uang rakyat yang diambil dari APBN. Penerima manfaat program rekapitalisasi pun orang kaya yang simpanannya di bank tidak bisa ditarik dengan cepat. Dengan kata lain, orang kaya sudah dilindungi kekayaannya masih diberi fasilitas.

Kedua, petugas pajak tidak menghargai buku dan industri buku. Fasilitas bebas pajak ini digunakan sebagai insentif guna mengambangkan pasar obligasi, yang memang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia (kalau obligasi diterbitkan perusahaan atau pemerintah untuk membiayai proyek tertentu yang produktif, bukan menutup utang konglomerat). Dengan tidak memberikan insentif perpajakan bagi penulis, berarti petugas pajak beranggapan bahwa industri buku tidak bisa menggairahkan ekonomi sebagaimana yang bisa dilakukan industri pasar modal. Selain itu, bukankah buku adalah media untuk mendidik bangsa sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang andal.

Ketiga, tarif pajak atas royalti bersifat final. Hal ini membuat penulis membayar pajak lebih besar daripada seharusnya. Penetapan pajak final berarti tidak memperhitungkan status penghasilan wajib pajak secara keseluruhan. Dengan demikian, berapapun besarnya royalti yang penulis terima besarnya pajak yang harus ia bayar adalah sama. Jadi, kalau penulis menerima royalti Rp. 8 juta setahun, pajak yang harus ia bayar adalah 15%. Kalau Anda penulis dan penyanyi yang menerima royalti miliaran rupiah tarif pajaknya juga sama, 15%. Padahal kalau royalti penulis dimasukkan dalam penghitungan pajak penghasilan, penulis tersebut akan masuk lapisan wajib pajak dengan tarif pajak 5%, yakni dengan penghasilan kena pajak yang jumlahnya tidak lebih dari Rp. 25 juta.

Mengapa kebijakan perpajakan di Tanah Air menguntungkan orang kaya? Mengapa pejabat perpajakan kurang peduli soal penulis dan perbukuan? Saya mempunyai teori untuk menjelaskan kondisi tersebut. Pertama, para pembuat kebijakan pajak ini sebagian besar orang kaya. Menurut Kompas (5 Juni 2001, him, 5), ada 65.000 orang di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas USS 1 juta (atau sekitar Rp. 8 miliar). Di sisi lain, ada 42.500 pejabat penyelenggara negara yang enggan menyerahkan daftar kekayaan mereka ke KPKPN. Hal ini bisa diartikan bahwa para penyelenggara negara membuat keputusan yang menguntungkan diri dan kelompoknya sendiri.

Selain itu, tidak banyak —mungkin tidak ada— penyeienggara negara yang berbisnis di bidang perbukuan, Kalau ada, dan cukup banyak jumlahnya, kemungkinan besar akan lahir kebijakan industri dan pajak yang menguntungkan industri buku. Bahkan bisa jadi para penyelenggara negara berkepentingan agar masyarakat tetap bodoh sehingga bisa dibodohi.

Teori saya masih perlu diuji dan dibuktikan, tetapi bukan tidak berdasar sama sekali, Simak pengakuan Syahril Sabirin, (mantan) Gubernur Bank Indonesia, dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar bertema "Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah melalui Penerbitan Obligasi Daerah dan Menyongsong Pembentukan DPD", yang diselenggarakan oleh Fraksi Utusan Daerah MPR-RI, di Jakarta, 31 Januari 2003. "Selama lima tahun menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, saya telah merasakan suka dukanya bekerja sama dengan empat presiden lima menteri koordinator bidang perekonomian, dan tujuh menteri keuangan, Dengan pengalaman tersebut, rasanya tidaklah berlebihan apabila saya menyimpulkan bahwa kurangnya komitmen kepada kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok dalam beberapa waktu telah menjadi salah satu faktor penyebab utama lambatnya proses pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis yang berkepanjangan ini." Kutipan ini dikopi dari situs www.bi.go.id.

Selain itu, riset saya tentang industri properti mendukung teori saya tersebut. Sekarang ini, ada sekitar 70 orang pengusaha di sektor real estate yang menjadi anggota DPR. Dulu, banyak anggota Real Estate Indonesia (REI) sebagai bendahara partai politik yang berkuasa. Akibatnya, banyak kebijakan di industri properti yang menguntungkan diri mereka dan merugikan rakyat dan negara. Anda dapat membaca kesimpulan Iebih lanjut dalam buku saya, Rumahku Idamanku, yang diterbitkan oleh Elex Media, April 2003.

Pengamatan saya atas industri jasa keuangan memberi banyak informasi bahwa sebagian besar pejabat atau mantan pejabat di industri keuangan yang berbisnis di bidang ini sehingga mereka membuat kebijakan yang menguntungkan opisisi mereka. Barangkali ini sebabnya hanya Kwik Kian Gie yang menentang penyelesaian obligasi rekapitalisasi secara tunai. Padahal obligasi rekapitalisasi bisa diselesaikan dengan rekayasa keuangan lain sebagaimana dulu obligasi tersebut diciptakan, Apalagi tuan-tuan di Dana Moneter Internasional menyetujui adanya rekayasa keuangan untuk menyelesaikan obligasi rekapitalisasi. Dengan diselesaikan secara tunai, orang kaya dapat menikmati bunga yang sebenarnya merupakan "darahnya masyarakat", bank dan perusahaan efek dapat menikmati fee.

Ada dalil dalam kehidupan politik yang perlu diingat pelaku di jndustri perbukuan: Orang tidak akan menyerahkan kekuasaannya secara sukarela. Kalau industri buku ingin berkembang, para pelaku di industri ini harus memberi tekanan kepada para pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan yang kondusif bagi perbukuan, bukan dengan meminta dan menunggu.

Jaka Eko Cahyono, penulis dan penerjemah buku ekonomi.
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 12/Agustus 2003.