Naskah Islam di Perpustakaan Princeton University
Diam-diam, belakangan ini ada perkawinan akbar di Princeton University, New Jersey, Amerika Serikat. Tapi ini bukan pernikahan sepasang manusia, melainkan antara teknologi dunia maya dan naskah-naskah kuno Islam. Hasilnya, tak lama lagi, teks-teks dan buku-buku yang terpendam selama berabad-abad bisa diakses lewat internet.
Ini tentu berita gembira bagi umat Islam. Ketua Dewan Masjid New Jersey, Yaser El-Menshawy, mengacungkan jempol atas upaya universitas itu. "Layanan ini mempercepat proses kita mencari satu topik dalam naskah kuno yang kita perlukan," ujar El-Menshawy, seperti dikutip Associated Press.
Selama ini, lebih dari 10.000 teks kuno Islam memang tersimpan di universitas tersebut. Koleksi itu berupa buku, naskah, dan dokumen tulisan tangan peninggalan dari abad ke-9 hingga ke-20. Jumlah itu terhitung koleksi terbanyak dibandingkan dengan milik perpustakaan lain di Amerika.
Menampilkan teks kuno di layar komputer memang sebuah kerja besar. Ini diakui Don C. Skemer, Kepala Departemen Buku, Naskah, dan Dokumen Kuno Perpustakaan Princeton University. Tahap pertama proyek ini diperkirakan makan waktu empat tahun. Itu pun baru mencakup kategorisasi, digitalisasi, dan post-online 200 naskah.
Dokumen-dokumen yang masuk proses pemindaian itu meliputi naskah berikut tafsir Al-Quran dari abad ke-9, tafsir hukum Islam, karya-karya filsafat, seni, sains, sejarah, dan ilmu pengobatan. Ada lagi naskah botani dari abad ke-15, yang berisi gambar-gambar dan ulasan tentang berbagai jenis daun serta tumbuh-tumbuhan. "Naskah-naskah lama itu sangat rapuh, dan tinta yang dipakai pun mudah terhapus," kata Skemer.
Itu sebabnya, proyek ini digarap ekstra hati-hati. Untuk proses digitalisasi, digunakan kamera khusus untuk menjaga agar kertas dan tinta pada tiap naskah tidak rusak. Dalam satu jam, kamera itu hanya mampu memindai 4-5 halaman karena setiap file-nya besar. "Ini butuh kecermatan tinggi, dan hasilnya harus sekali jadi. Prosesnya tak boleh berulang, karena kami khawatir bisa merusak naskah kuno ini," ujar Skemer lagi.
Proyek digitalisasi naskah kuno ini memang dikerjakan secara berangsur. Pada tahap empat tahun berikutnya, akan digarap 200 naskah lainnya sampai tampil online. Menurut Skemer, setelah semua naskah itu bisa ditampilkan di internet, pihaknya berencana tidak mengenakan biaya apa pun untuk mengaksesnya. "Kami kan tidak menghadapi masalah hak cipta, dan ini merupakan warisan milik dunia. Jadi, semua orang bebas mengakses," katanya.
Bagi dunia Islam, kerja akbar di Princeton University ini tentu sangat bermanfaat. Setidaknya bagi umat yang senang berselancar di dunia maya. Lebih khusus lagi bagi para cendekiawan muslim. Menurut catatan PBB, seperti dikutip The Guardian, hanya sekitar 1% dari satu milyar umat Islam dunia yang menggunakan jasa internet.
Walau demikian, sudah beberapa tahun belakangan dunia Islam sendiri sudah memanfaatkan kemajuan di dunia maya dan teknologi digital untuk beragam tujuan. Hal ini dicatat oleh pengamat dunia Islam, Gary Bunt. Penulis buku Islam in the Digital Age ini melihat kecenderungan besar ke arah itu dalam lima tahun terakhir.
Bunt yang mengajar teologi di Lampeter University di Wales, Inggris, memang melakukan studi khusus tentang pemanfaatan internet oleh dunia Islam. Ia melihat kecenderungan masuknya dunia Islam ke dalam ruang maya melesat sejak 2001. Pemanfaatan internet ini, menurut dia, terfokus pada dua aspek: jihad elektronik (e-jihad) dan online fatwa.
Pada aspek e-jihad, ia mencatatnya sebagai bentuk lain perlawanan warga Palestina terhadap Israel. Efektivitas propaganda lewat dunia maya ini tampak jelas pada tahun 2000. Saat itu, mereka menebarkan berita penembakan seorang bocah Palestina, Muhammad al-Durrah, oleh tentara Israel. "Gambar peristiwa ini cepat sekali tersebar dan ditayangkan oleh banyak sekali situs internet," katanya, seperti dikutip The Guardian.
Selain itu, teknologi ini juga dimanfaatkan sebagai alat penyampai pesan kelompok-kelompok ekstrem, seperti Al-Qaeda. Kelompok-kelompok ini membuat situs sendiri. Bahkan ada yang bertujuan menyusup, lalu mengacaukan situs milik kelompok yang dianggap sebagai musuh Islam.
Ia mencontohkan kelompok hacker asal Pakistan yang berhasil menerobos situs milik Komite Urusan Publik Israel-Amerika. Bunt menilai, penyusupan di dunia maya ini dilakukan lebih karena berlatar pamer penguasaan teknologi ketimbang tujuan keagamaan atau politik.
Pada aspek lain, Bunt melihat pemanfaatan yang lebih positif dalam kategori online fatwa. Ia memberi contoh situs Fatwa-Online dan Islam-Online yang menyebarkan perspektif pandangan kelompok Sunni. Dan hampir semua aliran lain dalam Islam memiliki situs sendiri.
Banyak di antara situs itu yang menawarkan fasilitas sesuai kemajuan di dunia maya dan teknologi digital. Lihat saja situs Altafsir yang dibuat Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought yang berbasis di Amman, Yordania. Situs ini memuat ajaran lengkap semua mazhab dalam Islam yang bisa diakses secara cuma-cuma.
Basis datanya mencakup hampir semua bidang ilmu Islam, mulai tafsir, ilmu Al-Quran, hingga karya-karya ilmiah dan filsafat. Situs ini pun disebut-sebut sebagai pelopor yang menyajikan perbandingan langsung mazhab-mazhab dalam fikih dalam satu layar. Kemajuan teknologi digital dimanfaatkan untuk menampilkan sekaligus perbandingan itu hingga kata demi kata.
Semua teks dan dokumen dalam situs ini tak hanya ditampilkan dalam bahasa Arab, melainkan juga bahasa Inggris. Malah sebuah kerja besar yang tengah dilakukan pengelola situs ini adalah upaya menampilkan basis data dalam 12 bahasa lain di dunia Islam.
Fasilitas lain yang tersedia adalah pelajaran membaca Al-Quran yang tampil dengan format audio-visual. Para pengunjung situs ini bisa menikmati kajian dan perbandingan model pembacaan Al-Quran dan tajwidnya dengan fasilitas tersebut. Ini tentu sangat memudahkan pengguna internet mempelajari bacaan Al-Quran dengan benar.
50 Mil Buku Princeton
Usianya belum tua benar. Perpustakaan induk milik Princeton University, New Jersey, ini pertama kali dibuka pada 1948. Terkenal dengan nama Harvey S. Firestone Memorial Library, bangunan dan fasilitas perpustakaan ini diperluas pada 1971 seiring pertambahan koleksinya. Perluasan itu dilakukan sekali lagi pada 1988.
Dilihat dari luar, gedungnya sendiri tampak seperti tak terlalu besar. Tapi koleksi buku, naskah, dan dokumen yang tersimpan di dalamnya mencapai jutaan judul. Terkabar, bila buku koleksinya dijejer, panjangnya bisa mencapai lebih dari 50 mil. Semua tersebar di bangunan tiga lantai yang mengelilingi gedung utamanya.
Departemen Buku, Naskah, dan Dokumen Kuno yang dikepalai Don C. Skemer merupakan satu dari enam departemen yang ada di sana. Ada juga departemen lain yang menyediakan referensi khusus bidang seni. Tak ketinggalan pula departemen yang menyediakan fasilitas untuk bidang sains.
Perpustakaan ini merupakan salah satu dari beberapa perpustakaan terbesar di Amerika Serikat. Konon, dibandingkan dengan universitas lain di sana, Firestone Memorial Library memiliki ketersediaan koleksi buku paling banyak untuk setiap mahasiswanya. Kehadiran perpustakaan ini jadi kebanggaan warga New Jersey.
Erwin Y. Salim
Majalah Gatra edisi 16 / XII / 4 Maret 2006
Ini tentu berita gembira bagi umat Islam. Ketua Dewan Masjid New Jersey, Yaser El-Menshawy, mengacungkan jempol atas upaya universitas itu. "Layanan ini mempercepat proses kita mencari satu topik dalam naskah kuno yang kita perlukan," ujar El-Menshawy, seperti dikutip Associated Press.
Selama ini, lebih dari 10.000 teks kuno Islam memang tersimpan di universitas tersebut. Koleksi itu berupa buku, naskah, dan dokumen tulisan tangan peninggalan dari abad ke-9 hingga ke-20. Jumlah itu terhitung koleksi terbanyak dibandingkan dengan milik perpustakaan lain di Amerika.
Menampilkan teks kuno di layar komputer memang sebuah kerja besar. Ini diakui Don C. Skemer, Kepala Departemen Buku, Naskah, dan Dokumen Kuno Perpustakaan Princeton University. Tahap pertama proyek ini diperkirakan makan waktu empat tahun. Itu pun baru mencakup kategorisasi, digitalisasi, dan post-online 200 naskah.
Dokumen-dokumen yang masuk proses pemindaian itu meliputi naskah berikut tafsir Al-Quran dari abad ke-9, tafsir hukum Islam, karya-karya filsafat, seni, sains, sejarah, dan ilmu pengobatan. Ada lagi naskah botani dari abad ke-15, yang berisi gambar-gambar dan ulasan tentang berbagai jenis daun serta tumbuh-tumbuhan. "Naskah-naskah lama itu sangat rapuh, dan tinta yang dipakai pun mudah terhapus," kata Skemer.
Itu sebabnya, proyek ini digarap ekstra hati-hati. Untuk proses digitalisasi, digunakan kamera khusus untuk menjaga agar kertas dan tinta pada tiap naskah tidak rusak. Dalam satu jam, kamera itu hanya mampu memindai 4-5 halaman karena setiap file-nya besar. "Ini butuh kecermatan tinggi, dan hasilnya harus sekali jadi. Prosesnya tak boleh berulang, karena kami khawatir bisa merusak naskah kuno ini," ujar Skemer lagi.
Proyek digitalisasi naskah kuno ini memang dikerjakan secara berangsur. Pada tahap empat tahun berikutnya, akan digarap 200 naskah lainnya sampai tampil online. Menurut Skemer, setelah semua naskah itu bisa ditampilkan di internet, pihaknya berencana tidak mengenakan biaya apa pun untuk mengaksesnya. "Kami kan tidak menghadapi masalah hak cipta, dan ini merupakan warisan milik dunia. Jadi, semua orang bebas mengakses," katanya.
Bagi dunia Islam, kerja akbar di Princeton University ini tentu sangat bermanfaat. Setidaknya bagi umat yang senang berselancar di dunia maya. Lebih khusus lagi bagi para cendekiawan muslim. Menurut catatan PBB, seperti dikutip The Guardian, hanya sekitar 1% dari satu milyar umat Islam dunia yang menggunakan jasa internet.
Walau demikian, sudah beberapa tahun belakangan dunia Islam sendiri sudah memanfaatkan kemajuan di dunia maya dan teknologi digital untuk beragam tujuan. Hal ini dicatat oleh pengamat dunia Islam, Gary Bunt. Penulis buku Islam in the Digital Age ini melihat kecenderungan besar ke arah itu dalam lima tahun terakhir.
Bunt yang mengajar teologi di Lampeter University di Wales, Inggris, memang melakukan studi khusus tentang pemanfaatan internet oleh dunia Islam. Ia melihat kecenderungan masuknya dunia Islam ke dalam ruang maya melesat sejak 2001. Pemanfaatan internet ini, menurut dia, terfokus pada dua aspek: jihad elektronik (e-jihad) dan online fatwa.
Pada aspek e-jihad, ia mencatatnya sebagai bentuk lain perlawanan warga Palestina terhadap Israel. Efektivitas propaganda lewat dunia maya ini tampak jelas pada tahun 2000. Saat itu, mereka menebarkan berita penembakan seorang bocah Palestina, Muhammad al-Durrah, oleh tentara Israel. "Gambar peristiwa ini cepat sekali tersebar dan ditayangkan oleh banyak sekali situs internet," katanya, seperti dikutip The Guardian.
Selain itu, teknologi ini juga dimanfaatkan sebagai alat penyampai pesan kelompok-kelompok ekstrem, seperti Al-Qaeda. Kelompok-kelompok ini membuat situs sendiri. Bahkan ada yang bertujuan menyusup, lalu mengacaukan situs milik kelompok yang dianggap sebagai musuh Islam.
Ia mencontohkan kelompok hacker asal Pakistan yang berhasil menerobos situs milik Komite Urusan Publik Israel-Amerika. Bunt menilai, penyusupan di dunia maya ini dilakukan lebih karena berlatar pamer penguasaan teknologi ketimbang tujuan keagamaan atau politik.
Pada aspek lain, Bunt melihat pemanfaatan yang lebih positif dalam kategori online fatwa. Ia memberi contoh situs Fatwa-Online dan Islam-Online yang menyebarkan perspektif pandangan kelompok Sunni. Dan hampir semua aliran lain dalam Islam memiliki situs sendiri.
Banyak di antara situs itu yang menawarkan fasilitas sesuai kemajuan di dunia maya dan teknologi digital. Lihat saja situs Altafsir yang dibuat Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought yang berbasis di Amman, Yordania. Situs ini memuat ajaran lengkap semua mazhab dalam Islam yang bisa diakses secara cuma-cuma.
Basis datanya mencakup hampir semua bidang ilmu Islam, mulai tafsir, ilmu Al-Quran, hingga karya-karya ilmiah dan filsafat. Situs ini pun disebut-sebut sebagai pelopor yang menyajikan perbandingan langsung mazhab-mazhab dalam fikih dalam satu layar. Kemajuan teknologi digital dimanfaatkan untuk menampilkan sekaligus perbandingan itu hingga kata demi kata.
Semua teks dan dokumen dalam situs ini tak hanya ditampilkan dalam bahasa Arab, melainkan juga bahasa Inggris. Malah sebuah kerja besar yang tengah dilakukan pengelola situs ini adalah upaya menampilkan basis data dalam 12 bahasa lain di dunia Islam.
Fasilitas lain yang tersedia adalah pelajaran membaca Al-Quran yang tampil dengan format audio-visual. Para pengunjung situs ini bisa menikmati kajian dan perbandingan model pembacaan Al-Quran dan tajwidnya dengan fasilitas tersebut. Ini tentu sangat memudahkan pengguna internet mempelajari bacaan Al-Quran dengan benar.
50 Mil Buku Princeton
Usianya belum tua benar. Perpustakaan induk milik Princeton University, New Jersey, ini pertama kali dibuka pada 1948. Terkenal dengan nama Harvey S. Firestone Memorial Library, bangunan dan fasilitas perpustakaan ini diperluas pada 1971 seiring pertambahan koleksinya. Perluasan itu dilakukan sekali lagi pada 1988.
Dilihat dari luar, gedungnya sendiri tampak seperti tak terlalu besar. Tapi koleksi buku, naskah, dan dokumen yang tersimpan di dalamnya mencapai jutaan judul. Terkabar, bila buku koleksinya dijejer, panjangnya bisa mencapai lebih dari 50 mil. Semua tersebar di bangunan tiga lantai yang mengelilingi gedung utamanya.
Departemen Buku, Naskah, dan Dokumen Kuno yang dikepalai Don C. Skemer merupakan satu dari enam departemen yang ada di sana. Ada juga departemen lain yang menyediakan referensi khusus bidang seni. Tak ketinggalan pula departemen yang menyediakan fasilitas untuk bidang sains.
Perpustakaan ini merupakan salah satu dari beberapa perpustakaan terbesar di Amerika Serikat. Konon, dibandingkan dengan universitas lain di sana, Firestone Memorial Library memiliki ketersediaan koleksi buku paling banyak untuk setiap mahasiswanya. Kehadiran perpustakaan ini jadi kebanggaan warga New Jersey.
Erwin Y. Salim
Majalah Gatra edisi 16 / XII / 4 Maret 2006