Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kitab Suci Pelestari Bahasa Ibu

Ahmad Tohari, sastrawan nasional dari Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah mengaku kebingungan mencari padanan kata pengganti sodomi dalam bahasa Banyumasan. Dia tidak tengah mengarang novel bahasa daerah, tetapi sedang menerjemahkan Al-Quran dalam bahasa Banyumasan. Saat menerjemahkan perilaku menyimpang kaum Nabi Luth AS, Ahmad Tohari pun kesandung ''sodomi.''

Dia lalu berupaya mencari tahu, namun tidak ada orang Banyumas yang ingat istilah khusus untuk homoseks atau sodomi. Akhirnya, penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala) itu menemukannya. ''Misalnya, sodomi itu punya istilah khusus, yaitu njambu. Mungkin karena bentuknya seperti jambu. Adapun lesbian disebut dengan gerlus lumpang,'' katanya. Menurut dia, istilah gerlus lumpang pun orang Banyumas sudah banyak yang lupa.

Al-Quran terjemahan bahasa Banyumasan itu diluncurkan di Auditorium HM Rasjidi, Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Kamis pekan lalu. Selain Banyumas, juga diluncurkan terjemahan bahasa Minang, dan Dayak. Penyusunan terjemahan Al-Quran itu memakan waktu sekitar dua tahun. Dalam proses pengerjaannya, Kemenag tidak bekerja sendirian. Ada 11 orang yang terdiri dari kiai yang hafiz, akademisi, dan budayawan. Nah, dalam tim itulah Ahmad Tohari bergabung.

"Saya bertanggung jawab terhadap masalah bahasa Banyumas dan kebudayaannya," katanya. Dia senang turut membidani penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa ibu yang hampir punah. Menurutnya, Kemenag juga melihat aspek konservasi bahasa lokal. ''Bahasa Banyumas pun peminatnya mulai berkurang. Anak-anak mulai tergerus cintanya pada bahasa ibu. Sekarang memang masih digunakan lebih 10 juta orang, tetapi trennya makin berkurang," katanya.

Tohari memperhatikan ketika bahasa ibu membawa bahasa langit (firman Tuhan), bahasa itu akan lebih awet dan abadi. Pasalnya, semua orang Islam akan menjaga kalimat-kalimat yang tertulis dalam terjemahan. "Seperti Al-Quran menjaga bahasa Arab," katanya. Tohari bercerita bahwa ide penerjemahan ini datang dari pihak Kemenag.

Ia kemudian berdialog dengan para pejabat Kemenag. Mereka pun menemukan titik temu, yaitu membumikan Al-Quran dengan bahasa ibu masing-masing daerah di Nusantara. Sasarannya adalah masyarakat awam berbahasa Arab, bahkan berbahasa Indonesia. "Tenyata banyak masyarakat awam yang tidak mengenal bahasa Arab, susah berbahasa Indonesia. Bahkan berbahasa jawa yang standar saja sulit. Jadi, ini harus ada keistimewaan," paparnya.

Pemilihan bahasa ngapak Banyumasan memang cukup mencuri perhatian. Sebab, di Jawa yang lebih dominan digunakan adalah bahasa Jawa. Tohari mengklaim bahwa bahasa Banyumasan lebih tua daripada bahasa Jawa. ''Bahasa Banyumasan itu lebih tua ketimbang Bahasa Jawa yang sekarang dipakai,'' katanya. Menurut dia, bahasa Banyumasan ada sejak abad ke-7. Di abad ke-16 mulai dipolitisasi pendiri Kerajaan Mataram dengan mengubah bahasa kuno tersebut melalui penerapan strata (tingkatan) bahasa.

Banyak yang tidak tahu bahwa bahasa ini sebenarnya adalah bahasa asli masyarakat Jawa sebelum munculnya Kerajaan Mataram. Dia menambahkan bahwa penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa daerah ini tidak akan mengurangi kesucian Al-Quran. Penerjemahan ini justru akan menambah sisi emosional masyarakat lokal. ''Sudah saatnya melestarikan bahasa ibu yang demokratis tanpa strata itu,'' dia menjelaskan.

Litbang Lektur dan Khazanah Kementerian Agama hanya bertugas membuat model. Sebanyak 5.000 sudah dicetak sebagai contoh. Selanjutnya, model ini dibagikan ke daerah dan Direktorat Bimas Agama di Kemenag. "Yang memperbanyak mereka. Kita hanya contohnya dulu yang kita launching resmi," kata Kepala Litbang dan Diklat Kemenag, Abdurrahman Mas'ud.

Mas'ud mengatakan pihaknya belum mengkaji respons publik atas terjemahan sebelumnya. Namun masyarakat dan pemuka agama lokal memberikan sambutan yang sangat positif. Hal yang sama disampaikan Tohari. Untuk terjemahan Banyumasan yang baru dirilis ini, respons publik luar biasa. Bahkan ada tokoh daerah yang ingin ikut membiayai pencetakannya. ''Mudah-mudahan dia serius,'' katanya.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, dalam sambutan peluncuran mengatakan sudah ada sembilan bahasa daerah yang diterjemahkan, yakni bahasa Makassar (Sulawesi Selatan), bahasa Kaili (Sulawesi Tengah), bahasa Sasak (Nusa Tenggara Barat), bahasa Dayak Kanayan (Kalimantan Barat), bahasa Minang (Sumatra Barat), bahasa Jawa dialek Banyumasan (Jawa Tengah), bahasa Batak Angkola (Sumatra Utara), bahasa Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara), dan bahasa Toraja. Penerjemahan itu sejak 2011. Tujuannya, memudahkan masyarakat yang masih menggunakan bahasa daerahnya, sekaligus upaya pelestarian bahasa yang nyaris punah. ''Kami lestarikan, konservasi dengan cara menerjemahkan ke bahasa daerah. Dan tiga bahasa daerah lain akan kami terjemahkan di tahun akan datang," katanya.

Adapun yang diluncurkan pada 2015 ialah Al-Quran terjemahan bahasa Minang, Dayak Kanayan, dan Jawa dialek Banyumasan. Bahasa Dayak Kanayan dipilih karena pertimbangan pada kemiripan kata, dan mudah dimengerti ke dalam bahasa Dayak lainnya. Suku Dayak Kanayan secara geografis juga tersebar di berbagai daerah di Kalimantan Barat.

Seusai pidato peluncuran, Menteri Agama menyerahkan Al-Quran terjemahan secara simbolis kepada Wali Kota Padang, perwakilan Pemprov Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat. Selain Al-Quran, Kemenag juga meluncurkan Kamus Istilah Keagamaan (KIK). KIK ini memuat istilah-istilah yang berkaitan dengan ajaran keagamaan. Hanya mencakup agama-agama yang diakui negara. Tak mengherankan jika terlihat berbagai para pemuka agama selain Islam menghadiri peluncuran tersebut.

''Untuk KIK, kamus istilah keagamaan tersebut memiliki 9.314 istilah. Semoga dapat mencerdaskan masyarakat Indonesia dari istilah keagamaan yang ada,'' kata Menteri Agama. KIK memuat laman (entri) semua agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. KIK diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat dalam memahami kata, istilah, atau konsep yang terkait dengan masalah keagamaan. Sehingga dapat mereduksi, mengeliminasi, atau menghindari terjadinya kesalahpahaman antarpemeluk agama.

''Dengan kata lain, KIK yang multikultur ini diharapkan dapat menjadi media komunikasi umat beragama untuk menghindari perselisihan yang bersumber dari perbedaan pemahaman terhadap konsep ajaran agama,'' katanya. Selain menjadi medium penguat persaudaraan antarumat, KIK bisa menjadi media pendidikan masyarakat. ''KIK dapat berfungsi sebagai buku rujukan dalam penulisan buku, baik buku pelajaran pada lembaga-lembaga pendidikan maupun buku bacaan umum,'' katanya.

Rohmat Haryadi & Putri Kartika Utami
Majalah Gatra edisi  7 / XXII / 23 Desember 2015