Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah si Lupus dan Balada si Roy

Hilman Hariwijaya (lahir 1964) dan Gola Gong (lahir 1963) adalah dua orang penulis fiksi remaja yang paling dikenai dalam khazanah sastra pop atau genre sastra ABG (Anak Baru Gede) —untuk meminjam istilah Krishna Sen dan David T. Hill (2001: 40)— di Indonesia pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an—bahkan hingga kini pada saat mereka sudah tidak remaja lagi. Hilman Hariwijaya dikenal luas lewat serial Lupus, sedangkan Gola Gong mencapai popularitasnya melalui serial Balada si Roy. Kebetulan kedua serial in! sama-sama dipublikasikan untuk pertama kalinya di majalah Hai. sebuah majalah populer untuk para remaja perkotaan milik Kelompok Gramedia,

Melihat antusiasme pembaca-remaja terhadap kedua serial tni, Penerbit Gramedia Pustaka Utama tertarik untuk menerbitkannya dalam bentuk buku pada 1986 dan 1989 —dan langsung meledak di pasaran. Buku Lupus diterbitkan dalam dua puluh lima judul: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak (cet. ke-13), Cinta Olimpiade (cet. ke-12), Makhluk Manis dalam Bis (cet. ke-11), Tragedi Sinemata (cet. ke-9), Topi-topi Centil (cet. ke-12), Bangun Dong, Lupus (cet. ke-11), Sandal Jepit (cet. ke-10), Ih, Syereem! (cet. ke-8), Idih, Udah Gede! (cet. ke-10), Drakuli Kuper (cet. ke-6), Lupus'N Works (cet. ke-4), Interview with the Nyamuk (cet. ke-7), Yang Paling Oke (cet. ke-6), Cowok Matre (cet. ke-7), Mission Muke Tebel (cet, ke-4), Gone with the Gosip (cet, ke-4), The Lost Boy-Salah Culik (cet, ke-5), Kutukan Bintikan Merah (cet. ke-4), Krismon (cet. ke-3), Boys Don't Cry (cet. ke-2), Bunga untuk Poppi (cet. ke-2), Candlelight Dinner (cet. ke-2), Lupus Milenia 1: Boneka di Taman Sekolah, Lupus Milenia 2: Bete. Sementara buku Balada si Roy diterbitkan dalam sepuluh judul: Joe (cet. ke-4), Avonturir (cet ke-4), Rendez-vous (cet. ke-3), Bad Days (cet. ke-4), Blue Ransel, Solidarnos. Telegram, Kapal, Traveler, Epilog.

Lupus: Tiada Hari Ceria Tanpa Kehadiran Dirinya
Menyimak deretan panjang judul buku Lupus dan kesuksesannya menuai cetak ulang sudah lebih dari cukup untuk menyebut Lupus sebagai "Sang Fenomenal" dalam dunia perbukuan, khususnya dalam kategori buku fiksi untuk remaja dan anak-anak, di Tanah Air —dan kita tak perlu terkejut bila membaca tulisan di bawah sampul belakang buku Lupus yang berjudul Lupus Milenia 2: Bete, "lebih dari 2.654.000 eksemplar bukunya sudah beredar di pasaran". Oleh sebab itu, menjadi tidak berlebihan bila Hilman dijuluki sebagai "jago ngocol se-lndonesia" atau "tukang cerita profesional dan ahli 'membual' atau 'banyak omong' (ngocol) yang piawa".

Maka wajarlah bila Hilman selalu berpromosi: "Read my stories and you'll ngocol forever", sebagaimana yang dapat kita temui di buku Lupus yang berjudul Interview with the Nyamuk.

Kita mungkin bisa bertanya: apa sih keistimewaan yang dimiliki Lupus, sehingga ia laris manis bagai kacang goreng dan menjadi idola remaja di negeri ini? Jawaban Hilman, sebagaimana bisa kita baca di sampul belakang buku Lupus yang berjudul Tragedi Sinemata, sederhana saja: "Ah, itu kan cuma karena selera saya memang sama dengan selera remaja pada umumnya. Jadi, apa yang disukai remaja, biasanya saya juga suka." Tapi, apa yang kemudian terjadi adalah Lupus-lah yang menciptakan selera bagi para remaja di Tanah Air.

Kita mungkin belum lupa dengan tren permen karet, baju dombrang, dan rambut gondrong ala John Taylor (Duran-Duran). Inilah tren yang ditularkan Lupus kepada para remaja di Indonesia pada dua dasawarsa lalu. Dengan ini, menjadi tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Lupus telah menggiring para remaja di negeri ini untuk menyesuaikan sekaligus menyeragamkan diri dengan selera dan citra rekaan. Dengan kata lain, sekalipun tak berpretensi untuk menjadi sungguhan: Lupus telah memaujud (exist) dan menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup para remaja di Indonesia.

Mungkin itu sebabnya Hilman dalam prolog buku Lupus ke-4 yang berjudul Tragedi Sinemata (2000: 7) perlu berbasi-basi memperkenalkan Lupus dan teman-teman dekatnya: seperti Gusur, Boim, dan Fifi Alone untuk: "Ya, kali-kali aja sewaktu-waktu —selagi je je es (jalan-jalan sore)— kamu ketemu sama mereka yang lagi ngeceng di jalanan. Jadi, kan bisa saling berhalo-halo." Dan untuk lebih mengukuhkan eksistensinya itu Lupus diangkat ke layar lebar dan sinetron, yang sejak awal 1990-an sampai saat ini masih disiarkan di salah satu televisi swasta.

Memang ada perbedaan karakter antara Lupus versi buku dan Lupus versi sinetron, Dalam versi buku, Lupus digambarkan sebagai —saya kutip langsung kata-kata Hilman: "Anaknya lumayan kece, punya rambut kayak John Taylor, kurus dan rada tinggi. Gaya bicaranya juga suka seenaknya. Cuwek dan polos. Tapi dia itu sebetulnya baik hati, walau kadang-kadang suka ngeselin. Tidak pantangan naksir cewek kece, meski sudah ada Poppi di sisinya, Dia juga paling demen ngeledekin teman-teman dekatnya seperti Gusur, Boim atau Fifi Alone. Satu yang perlu kamu perhatikan, Lupus tuh paling suka permen karet yang bekasnya ditempelkan di mana dia mau. Gemar naik bis yang penuh sesak, dan pake baju kedombrangan. Kerja sampingan, selain sekolah kelas dua di SMA Merah Putih, dia juga wartawan gadungan majalah Hai." Sementara dalam versi sinetron, terutama yang diputar tiga tahun belakangan ini, Lupus berpenampilan lebih modis dengan kaos oblong, rambut yang dipangkas rapi, berpostur tubuh rata-rata orang Indonesia, jarang mengunyah permen karet, dan ke mana-mana mengendarai vespa antik keren berwarna kuning. Rupanya, penampilan baru Lupus ini sekadar mengikuti "metamorfosa" Lupus dalam versi buku yang ditulis Hilman memasuki alaf baru ini.

Saya kira, perbedaan dan "metamorfosa" ini merupakan cara penyesuaian selera (juga cara pemasaran) untuk memuaskan pembaca dan penonton remaja di alaf baru ini —dan lebih dari itu, agar Lupus dapat diterima oleh "generasi baru" yang berbeda selera dengan "generasi lama" ketika buku Lupus pertama kali diterbitkan. Terbukti, buku-buku Lupus (juga sinetronnya) tetap disukai dan digemari para remaja di Indonesia saat ini, sekalipun tak lagi mampu menularkan tren gaya hidup seperti dua dasawarsa lalu —dan ini tak perlu dijelas-jelaskan di sini. "Yang jelas tiada hari ceria tanpa kehadiran dirinya. Tiada rindu tanpa canda ria bersamanya", demikian kata para remaja seperti dikutip dalam tulisan di sampul belakang buku Lupus yang berjudul Tragedi Sinemata.

Roy: Puisi Kehidupan Seorang Remaja
Roy memang tak sefenomenal Lupus, Tapi kehadirannya dalam dunia fiksi remaja di Tanah Air boleh dibilang merupakan sebuah bacaan alternatif bagi para remaja untuk mendapatkan gambaran imajinatif "yang lain" tentang sosok remaja yang layak iktibar untuk bercermin —dan bila selama kurang lebih dua dasawarsa terakhir ini Balada si Roy masih digemari para remaja, itu berarti misi Gola Gong "agar orang-orang yang mencintai kehidupan bisa bercermin lewat kisah ini", sebagaimana bisa kita baca dalam sekapur sirih buku Balada si Roy yang berjudul Joe (hlm. 9), untuk sementara ini boleh dikata berhasil.

Saya kira, misi Gola Gong itu terbilang idealis dan "suci" —dan sesuatu yang idealis dan "suci" itu ternyata dekat dengan kehidupan para remaja, Si Roy memang sosok remaja idealis. Sensitivitas sosialnya tinggi, kuriositasnya tak terbilang, bahkan menggebu-gebu sebagaimana galibnya remaja, dan pintar menulis sajak dan cerita, sesuatu yang tak setiap remaja bisa melakukannya. Kendati demikian, kehidupan Roy tak berbeda dengan kehidupan remaja pada umumnya. Ia seorang pelajar, tergolong bandel, suka ngeceng dan menggoda cewek-cewek kece, sekalipun ini diam-diam mereka sukai juga karena "Roy memang keren. Badannya jangkung atletis. Tampan tapi tidak kolokan. Berbeda dengan orang kebanyakan. Alis matanya tebal memayungi mata hitam berkilat ibarat menikam buruannya. Tapi kadang juga teduh seperti telaga di rimba belantara. Dan senyumnya memang memabukkan, nakal, dan khas berandalan" (Balada si Roy 1: Joe, hlm. 16). Selain itu, sama seperti Lupus, Roy adalah anak yatim, tapi bisa mengatasi kehilangan itu bersama ibunya, "wanita yang sabar, setia, bijaksana, dan penuh kasih sayang" (Balada si Roy 1: Joe, hlm. 57). Tak kurang dari itu, Roy mampu mengatasi kehilangan itu dengan tadabur alam atau avonturir, sekalipun ini harus mengorbankan masa sekolahnya. Katanya dalam Balada si Roy 2: Avonturir (hlm. 16): "menjadi petualang memang mengasyikkan. Semakin berat tantangannya, malah semakin asyik. Jiwa kita kadangkala merasa kerdil kalau disiksa oleh alam. Tapi, coba kalau kita berhasil mengatasinya, oh, betapa pongahnya kita bertepuk dada dan berteriak kepada orang-orang, ini dadaku, mana dadamul". Pengalaman-pengalaman masa petualangan inilah yang banyak dijadikannya pelajaran hidup dan bahan untuk menulis sajak dan cerita yang biasa ia kirim ke majalah Hai. Dengan cara seperti ini, Roy mampu mengatasi kekurangan keuangannya —dan lebih dari itu, katanya dalam Balada si Roy 1: Joe (hlm. 52): "menulis sudah menjadi kebutuhannya. Dari honorarium ala kadarnya, dia bisa ikut bantu-bantu meringankan beban mamanya". Sikap ini kurang lebih sama dengan sikap Lupus dalam menyikapi keterbatasan finansialnya. Katanya dalam Lupus: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak (hlm. 10): "Dia juga suka menulis artikel dan kadang juga cerpen di majalah remaja, Keahlian ini mungkin satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari dirinya, Karena dengan begitu, dia tak pernah minta uang dari ibunya kecuali kalau terpaksa (malangnya, dia justru sering berada dalam keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya). Tapi ibunya yang baik hati itu tak pernah kesal. Sebab kalau lagi punya uang banyak, Lupus sering memberikan sebagian kepada ibunya."

Di sinilah, saya kira, pelajaran penting yang bisa dipetik para remaja dari cerita Balada si Roy (juga serial Lupus). Bahwa kebanggaan eksistensial seorang remaja sesungguhnya berasal atau datang dari dalam dirinya, dan itu adalah keahlian yang diasahnya sendiri, bukan materi semu yang mengalir dari kantong orang tua. Dengan keahlian seperti itu, saya mendapat kesan bahwa Gola Gong (juga Hilman) ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada para remaja tentang cara-cara yang bermanfaat untuk mengisi kehidupan mereka: ngeceng itu menyenangkan, petualangan itu mengasyikkan, tapi menulis itu jauh lebih menyenangkan, mengasyikkan, dan indah sebagaimana puisi kehidupan remaja yang memang indah itu, sekalipun terkadang ada aral melintang, tapi bagi Lupus: "Semua masalah pasti ada jalan keluarnya" (Lupus; Tragedi Sinemata, hlm. 128), sedangkan bagi Roy: "Dia membutuhkan seseorang yang mau betul mengerti tentang jiwanya. Jiwa seorang petualang, yang sangat sukar untuk dimengerti" (Balada si Roy 4: Bad Days, hlm, 120).

Wahyudin, penggiat Lingkar Studi Seni Rupa Yogyakarta.
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 11 /Juli 2003