Cak Tarno, Berkat Buku Mendobrak Strata
Menghadap ke payung-payung kantin sastra (Kansas), Sutarno duduk bersila sambil mengecek telepon genggamnya. Kamis sore beberapa pekan lalu saat Gatra mengunjunginya, ia baru selesai menjamu dua-tiga orang yang mampir ke kios bukunya di gedung VIII, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI). Dahulu kios bukunya terletak di Gang Sawo, Jalan Margonda, Depok. Di ruangan seluas 5 x 2,60 meter, pria yang biasa disapa Cak Tarno itu berdiskusi dan bertukar ilmu pengetahuan dengan para pengunjung.
Berbagai mahasiswa dan dosen senang berkunjung ke kios bukunya. Tak sekadar mencari buku, mereka gemar berlama-lama di sana sambil berdiskusi atau mencari bimbingan akademis informal. Yang senang berkunjung ke kios Cak Tarno tak cuma warga UI, tetapi juga mahasiswa universitas sekitar hingga universitas di Ternate dan berbagai daerah lain.
Kios buku yang sudah ada sejak 2002 ini bahkan memiliki forum diskusi sabtuan. Tiap Sabtu pukul 14.00, bertempat di warung makan Nissa di Jalan Cengkeh, Margonda, Depok, diskusi biasa digelar. Tema yang dibahas beragam mulai dari filsafat, sastra, budaya, agama, sosial, dan sebagainya. Nama-nama yang pernah mengisi diskusi "sabtuan" ini di antaranya Thamrin Tomagola, Bagus Takwin, Indra Jaya Piliang, E.S. Ito, Adhie Massardi, dan Scott Cunliffe.
Diskusi sabtuan yang mulai digelar sejak 2005 inilah yang menjadi cikal-bakal Cak Tarno Institute (CTI). Awalnya, karena banyak orang berdiskusi tiap hari di kios buku Cak Tarno, lambat laun diskusi dibuat lebih sistematis dengan penyajian makalah. Nama CTI sendiri terbit begitu saja saat Tony Doludea, penggiat filsafat kebudayaan, menulis dalam makalahnya disampaikan dalam diskusi sabtuan di Cak Tarno Institute.
Bukan hanya diskusi. Pun demikian dengan akademisi yang tengah menempuh tugas akhir, seperti skripsi, tesis, hingga disertasi. CTI bisa disebut sebagai oase untuk mempresentasikan hal yang ingin ditulis. ''Jadi ajang menguji diri sendiri sebelum berhadapan dengan itu semua. Kita sih menyebutnya komunitas pikiran,'' ungkap dosen dan peneliti politik UI, Daniel Hutagalung.
Suasana yang dihadirkan dalam ruang diskusi CTI, bagi Daniel, jauh lebih egaliter ketimbang suasana perkuliahan formal. Siapa saja bebas bertanya tanpa ada risiko dinilai jelek dan semacamnya. Ini membuat orang yang hadir lebih bebas mengemukakan pendapat. ''Tapi substantif keilmuan yang didapat secara akademik bisa jadi lebih baik ketimbang di kelas,'' kata Daniel.
Cak Tarno bukanlan orang dengan titel berjejer di belakang namanya. Ia hanya lulusan SMP. Kemampuan menyejajarkan diri dengan para intelektual kampus, menurut Daniel, merupakan pencapaian yang luar biasa. Cak Tarno juga diakui Daniel mampu menjadi penggerak banyak orang untuk berdiskusi. ''CTI jangan-jangan kalau legal, bisa lebih dari UI tuh,'' ia berkelakar.
Pria lulusan SMP Islam Dinoyo ini oleh kawan-kawan CTI didaulat menjadi "rektor". Sebutan rektor CTI bagi Cak Tarno, diungkapkan Daniel, berawal dari candaan kawan-kawan. Meski demikian sebutan rektor itu juga menyimpan makna tertentu. Karena bentuk CTI diibaratkan tempat produksi pengetahuan, maka sebagai kepala lembaga pendidikan informal tersebut Cak Tarno didaulat sebagai rektor.
Cak Tarno bercerita bahwa sejak kecil ia sudah sering dirundung oleh kawan-kawannya. Salah satu sebabnya karena ia baru fasih membaca pada kelas empat SD. Selain itu, anak kedua dari dua bersaudara ini bukan dari keluarga berada. Supi'i dan Ten Narsinah, kedua orangtuanya, hanya buruh tani di Mojokerto, Jawa Timur. ''Nilai saya juga nggak pernah bagus. Karena bapak lebih mengenalkan saya kepada arit dan pacul ketimbang buku,'' cerita pria yang pernah bekerja sebagai penambang batu, kuli bangunan, hingga penarik kabel listrik.
Pada 1997, Cak Tarno ikut Yusuf Agency menjual buku di stasiun UI. Yusuf adalah kawan kecilnya yang sudah lebih dulu merantau ke Jakarta dan sukses menjadi juragan buku di sekitar Senen. Cak Tarno hanya setahun ikut dengan Yusuf. Musababnya, Yusuf tak lagi melanjutkan jual buku di Stasiun UI.
''Saya pikir sayang kalau nggak dilanjutkan. Sebab, potensinya ada,'' kata pria kelahiran 16 April 1970 itu. Pada 1999, ia mencoba membuka kios buku dengan modal sendiri. Saat itu modalnya hanya Rp 250.000. Pada waktu itu yang ia jual masih buku bajakan dan buku bekas. Ia mencari dari lapak-lapak abu gosok dari Pasar Minggu hingga Depok. Selain buku, Tarno juga berdagang kaus dan celana.
Kemudian muncul kompetitor lain dengan modal yang lebih besar, dan membuat kios buku Cak Tarno goyah. Pada 2002, ia bertemu Gorys Ginggur, seorang distributor buku. Nama terakhir ini mengenalkan Cak Tarno pada ilmu-ilmu sosial dan budaya. Dari situ, buku-buku jualannya bertransformasi. Tarno mulai fokus menjual buku-buku sosial, filsafat, budaya, dan lainnya.
Tak hanya itu, Cak Tarno yang memang menyenangi isu sosial mulai gemar membaca buku-buku dagangannya. Paling tidak, ia mesti membaca pengantar, daftar isi, dan indeks, untuk mengetahui secuplik isi buku. Sedikit pengetahuan ini ia gunakan untuk menggaet konsumen yang datang ke kios bukunya. Lambat laun, kios bukunya tak hanya dikenal menjual buku sosial, melainkan tempat berdiskusi. ''Dagangnya ngoceh-ngoceh aja. Speak-speak filosofis,'' imbuh Tarno diselingi tawa.
Meski mengaku omzet yang didapat dari berjualan buku tak tentu, Tarno amat menikmati hidupnya. ''Kadang saya cuma dapat Omzet Rp 300.000 per hari. Kadang cuma jual dua buku, kadang nggak sama sekali.'' Tapi, lanjutnya, walau tak kaya raya, keadaan ekonominya sekarang jauh lebih baik dibandingkan di masa lalu ketika menjadi buruh.
Selain menjual buku, Cak Tarno juga gemar mem-posting barang dagangannya ke Facebook. Ia memang sebatas menggunakan Facebook saja sebagai media digital jualannya. ''Kalau media lain nggak sanggup saya. Nggak jago teknologi,'' akunya.
Salah satu kegemaran lain Cak Tarno adalah bersilahturahmi. Sebelum berangkat ke kios bukunya, Tarno sering berkunjung ke rumah sahabat-sahabatnya. Di antaranya ke rumah Bagus Takwin, Damhuri Muhammad, Daniel Hutagalung, Rieke Dyah Pitaloka. ''Pokoknya siapa saja yang dalam hati saya lagi kepingin saya datangi, saya datang. Silaturahmi dapat memperpanjang berkah,'' katanya.
Kiprahnya sebagai penjual buku dan rektor CTI, membuatnya diundang sebagai dosen tamu dalam kuliah psikologi intervensi sosial Maret lalu. Ia diminta oleh Sarlito Wirawan Sarwono sebagi pembicara dalam tema diskusi: ''Bagaimana Buku Membentuk Komunitas''. Ia pernah masuk salah satu tokoh revolusi mental. ''Buku adalah pacar saya,'' kata suami Erna Hendrayana itu.
Jika di waktu menjadi buruh Cak Tarno harus menunduk di hadapan pemilik tanah, lewat buku kini ia setara saat mengobrol dengan profesor sekalipun. Ia tak merasa ada sekat akademis maupun sosial saat berdiskusi dengan orang-orang cerdas tersebut. ''Dengan buku, saya sama profesor atau dekan jadi sahabat. Buku pada akhirnya membebaskan saya dari masalah strata sosial,'' katanya.
Fitri Kumalasari
Berbagai mahasiswa dan dosen senang berkunjung ke kios bukunya. Tak sekadar mencari buku, mereka gemar berlama-lama di sana sambil berdiskusi atau mencari bimbingan akademis informal. Yang senang berkunjung ke kios Cak Tarno tak cuma warga UI, tetapi juga mahasiswa universitas sekitar hingga universitas di Ternate dan berbagai daerah lain.
Kios buku yang sudah ada sejak 2002 ini bahkan memiliki forum diskusi sabtuan. Tiap Sabtu pukul 14.00, bertempat di warung makan Nissa di Jalan Cengkeh, Margonda, Depok, diskusi biasa digelar. Tema yang dibahas beragam mulai dari filsafat, sastra, budaya, agama, sosial, dan sebagainya. Nama-nama yang pernah mengisi diskusi "sabtuan" ini di antaranya Thamrin Tomagola, Bagus Takwin, Indra Jaya Piliang, E.S. Ito, Adhie Massardi, dan Scott Cunliffe.
Diskusi sabtuan yang mulai digelar sejak 2005 inilah yang menjadi cikal-bakal Cak Tarno Institute (CTI). Awalnya, karena banyak orang berdiskusi tiap hari di kios buku Cak Tarno, lambat laun diskusi dibuat lebih sistematis dengan penyajian makalah. Nama CTI sendiri terbit begitu saja saat Tony Doludea, penggiat filsafat kebudayaan, menulis dalam makalahnya disampaikan dalam diskusi sabtuan di Cak Tarno Institute.
Bukan hanya diskusi. Pun demikian dengan akademisi yang tengah menempuh tugas akhir, seperti skripsi, tesis, hingga disertasi. CTI bisa disebut sebagai oase untuk mempresentasikan hal yang ingin ditulis. ''Jadi ajang menguji diri sendiri sebelum berhadapan dengan itu semua. Kita sih menyebutnya komunitas pikiran,'' ungkap dosen dan peneliti politik UI, Daniel Hutagalung.
Suasana yang dihadirkan dalam ruang diskusi CTI, bagi Daniel, jauh lebih egaliter ketimbang suasana perkuliahan formal. Siapa saja bebas bertanya tanpa ada risiko dinilai jelek dan semacamnya. Ini membuat orang yang hadir lebih bebas mengemukakan pendapat. ''Tapi substantif keilmuan yang didapat secara akademik bisa jadi lebih baik ketimbang di kelas,'' kata Daniel.
Cak Tarno bukanlan orang dengan titel berjejer di belakang namanya. Ia hanya lulusan SMP. Kemampuan menyejajarkan diri dengan para intelektual kampus, menurut Daniel, merupakan pencapaian yang luar biasa. Cak Tarno juga diakui Daniel mampu menjadi penggerak banyak orang untuk berdiskusi. ''CTI jangan-jangan kalau legal, bisa lebih dari UI tuh,'' ia berkelakar.
Pria lulusan SMP Islam Dinoyo ini oleh kawan-kawan CTI didaulat menjadi "rektor". Sebutan rektor CTI bagi Cak Tarno, diungkapkan Daniel, berawal dari candaan kawan-kawan. Meski demikian sebutan rektor itu juga menyimpan makna tertentu. Karena bentuk CTI diibaratkan tempat produksi pengetahuan, maka sebagai kepala lembaga pendidikan informal tersebut Cak Tarno didaulat sebagai rektor.
Cak Tarno bercerita bahwa sejak kecil ia sudah sering dirundung oleh kawan-kawannya. Salah satu sebabnya karena ia baru fasih membaca pada kelas empat SD. Selain itu, anak kedua dari dua bersaudara ini bukan dari keluarga berada. Supi'i dan Ten Narsinah, kedua orangtuanya, hanya buruh tani di Mojokerto, Jawa Timur. ''Nilai saya juga nggak pernah bagus. Karena bapak lebih mengenalkan saya kepada arit dan pacul ketimbang buku,'' cerita pria yang pernah bekerja sebagai penambang batu, kuli bangunan, hingga penarik kabel listrik.
Pada 1997, Cak Tarno ikut Yusuf Agency menjual buku di stasiun UI. Yusuf adalah kawan kecilnya yang sudah lebih dulu merantau ke Jakarta dan sukses menjadi juragan buku di sekitar Senen. Cak Tarno hanya setahun ikut dengan Yusuf. Musababnya, Yusuf tak lagi melanjutkan jual buku di Stasiun UI.
''Saya pikir sayang kalau nggak dilanjutkan. Sebab, potensinya ada,'' kata pria kelahiran 16 April 1970 itu. Pada 1999, ia mencoba membuka kios buku dengan modal sendiri. Saat itu modalnya hanya Rp 250.000. Pada waktu itu yang ia jual masih buku bajakan dan buku bekas. Ia mencari dari lapak-lapak abu gosok dari Pasar Minggu hingga Depok. Selain buku, Tarno juga berdagang kaus dan celana.
Kemudian muncul kompetitor lain dengan modal yang lebih besar, dan membuat kios buku Cak Tarno goyah. Pada 2002, ia bertemu Gorys Ginggur, seorang distributor buku. Nama terakhir ini mengenalkan Cak Tarno pada ilmu-ilmu sosial dan budaya. Dari situ, buku-buku jualannya bertransformasi. Tarno mulai fokus menjual buku-buku sosial, filsafat, budaya, dan lainnya.
Tak hanya itu, Cak Tarno yang memang menyenangi isu sosial mulai gemar membaca buku-buku dagangannya. Paling tidak, ia mesti membaca pengantar, daftar isi, dan indeks, untuk mengetahui secuplik isi buku. Sedikit pengetahuan ini ia gunakan untuk menggaet konsumen yang datang ke kios bukunya. Lambat laun, kios bukunya tak hanya dikenal menjual buku sosial, melainkan tempat berdiskusi. ''Dagangnya ngoceh-ngoceh aja. Speak-speak filosofis,'' imbuh Tarno diselingi tawa.
Meski mengaku omzet yang didapat dari berjualan buku tak tentu, Tarno amat menikmati hidupnya. ''Kadang saya cuma dapat Omzet Rp 300.000 per hari. Kadang cuma jual dua buku, kadang nggak sama sekali.'' Tapi, lanjutnya, walau tak kaya raya, keadaan ekonominya sekarang jauh lebih baik dibandingkan di masa lalu ketika menjadi buruh.
Selain menjual buku, Cak Tarno juga gemar mem-posting barang dagangannya ke Facebook. Ia memang sebatas menggunakan Facebook saja sebagai media digital jualannya. ''Kalau media lain nggak sanggup saya. Nggak jago teknologi,'' akunya.
Salah satu kegemaran lain Cak Tarno adalah bersilahturahmi. Sebelum berangkat ke kios bukunya, Tarno sering berkunjung ke rumah sahabat-sahabatnya. Di antaranya ke rumah Bagus Takwin, Damhuri Muhammad, Daniel Hutagalung, Rieke Dyah Pitaloka. ''Pokoknya siapa saja yang dalam hati saya lagi kepingin saya datangi, saya datang. Silaturahmi dapat memperpanjang berkah,'' katanya.
Kiprahnya sebagai penjual buku dan rektor CTI, membuatnya diundang sebagai dosen tamu dalam kuliah psikologi intervensi sosial Maret lalu. Ia diminta oleh Sarlito Wirawan Sarwono sebagi pembicara dalam tema diskusi: ''Bagaimana Buku Membentuk Komunitas''. Ia pernah masuk salah satu tokoh revolusi mental. ''Buku adalah pacar saya,'' kata suami Erna Hendrayana itu.
Jika di waktu menjadi buruh Cak Tarno harus menunduk di hadapan pemilik tanah, lewat buku kini ia setara saat mengobrol dengan profesor sekalipun. Ia tak merasa ada sekat akademis maupun sosial saat berdiskusi dengan orang-orang cerdas tersebut. ''Dengan buku, saya sama profesor atau dekan jadi sahabat. Buku pada akhirnya membebaskan saya dari masalah strata sosial,'' katanya.
Fitri Kumalasari
Majalah Gatra edisi 29 / XXII / 25 Mei 2016